Wednesday, December 18, 2013

Health Talk TPK KOJA: KOLESTEROL



Health Talk TPK KOJA
HIDUP SEHAT DENGAN
MENGENDALIKAN KOLESTEROL


31 Oktober 2013




Tuesday, December 17, 2013

Health Talk Mandiri Club, 18 Desember 2013


MENGENAL DIABETES


MATERI HEALTH TALK AWAM
RS TEBET - INHEALTH - BANK MANDIRI
Rabu, 18 Desember 2013



Saturday, October 12, 2013

Suzanna Ndraha Penelitian: Kadar Amonia Darah pada Pasien Sirosis Hati dengan Ensefalopati di RSUD Koja






KADAR AMONIA DARAH

PADA PASIEN SIROSIS HATI DENGAN ENSEFALOPATI
DI RSUD KOJA

Suzanna Ndraha, Fendra Wician, Mardi Santoso
Staf Pengajar SMF Penyakit Dalam FK UKRIDA

Alamat Korespondensi Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Abstrak

Latar belakang. Peningkatan pembentukan amonia banyak diyakini sebagai faktor utama dalam patogenesis ensefalopati hepatikum (EH). Namun di RSCM dan RSUD Koja belum pernah diteliti apakah pada pasien sirosis hati dengan ensefalopati memang ditemukan peningkatan kadar amonia darah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kadar amonia darah pada pasien sirosis hati dengan ensefalopati. Tujuan kedua adalah menilai presisi alat Ammonia checker kit II.

Metoda. Semua pasien sirosis hati yang berkunjung ke RSCM dan RSUD Koja dalam periode Juni-Agustus 2009 dievaluasi. Kriteria inklusi adalah sirosis hati dengan ensefalopati, yang diukur dengan tes critical flicker frequency (CFF). Nilai CFF <39 Hz dinyatakan sebagai ensefalopati. Kadar amonia darah diukur dengan Ammonia checker kit II. Nilai normal adalah < 54 mol/L. Presisi alat Ammonia checker II dinilai dengan memeriksa 10 pasien sirosis hati sebanyak masing-masing 2 kali pemeriksaan
Hasil. Didapatkan 28 orang penderita sirosis hati, 26 (92,9%) laki-laki dan 2 (7,1%) perempuan yang memenuhi kriteria ensefalopati dan bersedia diperiksa kadar amonia darahnya. Sebagian besar (67,9%) berusia 40-60 tahun, dan hampir semua (92,9%) child B. Hasil amonia darah semua diatas normal, bervariasi antara 87- 205 mol/L dengan rata-rata 133,7 32,2 mol/L. Hasil uji presisi terhadap 10 pasien sirosis adalah kedua hasil berkorelasi signifikan (p=0,037, r=0.439).

Kesimpulan: Didapatkan peningkatan amonia darah pada semua pasien dengan ensefalopati (tes CFF <39 Hz). Presisi ammonia checker II terhadap 10 pasien sirosis hati adalah baik (p<0.05)

Keywords: Sirosis hati, ensefalopati, tes critical flicker frequency, kadar amonia, Ammonia checker kit II

Abstract

Background. The elevation of ammonia as a result of poor hepatic function and portosystemic shunting, has been considered to have an important role in the pathogenesis of hepatic encephalopathy. However, in Ciptomangunkusumo hospital and Koja hospital no study had been conducted to evaluate whether blood ammonia increase in liver cirrhosis with encephalopathy. Aim of this study was to investigate blood ammonia level in liver cirrhosis patients with encephalopathy. The second aim was to evaluate the precision of Ammonia checker kit II.

Method. All liver cirrhosis patients attending Ciptomangunkusumo hospital and Koja hospital during June-Agust, 2009 was evaluated. The inclusion criteria was liver cirrhosis with encephalopathy, measured with critical flicker frequency (CFF) test. The CFF below 39 Hz was considered to be encephalopathy. Blood ammonia level was measured with Ammonia checker kit II. The normal value was < 54 mol/L. The precision of Ammonia checker II was evaluate by performing the test to 10 liver cirrhosis patients 2 times for each patients.

Result. There were 28 liver cirrhosis patients, 26 (92,9%) male and 2 (7,1%) female fulfilled the inclusion criteria. Almost all patients (92,9%) were Child Pugh B, and 67,9% were 40-60 years old. All of the blood ammonia level increases, ranging from 87- 205 mol/L with mean 133,7 32,2 mol/L. The precision test for the 10 liver cirrhosis patients revealed significant correlation (p=0,037, r=0.439).
Conclusion: There was an elevation of blood ammonia level in liver cirrhosis patients with encephalopathy. Precision of ammonia checker II for 10 liver cirrhosis patients was moderately good (p<0.05) .

Keywords: liver cirrhosis, encephalopathy, critical flicker frequency test, blood ammonia level, Ammonia checker kit II

Pendahuluan

Ensefalopati hepatik (EH) adalah sindrom disfungsi neuropsikiatri yang disebabkan oleh portosystemic venous shunting, dengan atau tanpa penyakit intrinsik liver. Pasien dengan EH sering menunjukkan perubahan status mental mulai dari kelainan psikologik ringan hingga koma dalam.1 Amonia adalah neurotoksin yang pada dosis tinggi menimbulkan kejang dan kematian. Kadar amonia dalam otak, cairan serebrospinal dan arteri berkorelasi baik dengan stadium klinik EH.2 Peningkatan amonia dapat terjadi akibat peningkatan pembentukan amonia, menurunnya kemampuan detoksifikasi hati akibat hipoksia hepatik, dan peningkatan difusi amonia yang melalui sawar darah otak.1,3

Peningkatan pembentukan amonia dapat terjadi akibat tingginya asupan protein, konstipasi, perdarahan saluran cerna, infeksi, azotemia, hipokalemia. Dehidrasi, hipotensi arteri, hipoksemia, anemia, menurunkan kemampuan detoksifikasi hati karena hipoksia hepatik. Progresivitas penyakit hati dan degenerasi hepatoma menurunkan kemampuan metabolisme toksin oleh hati karena penurunan fungsi cadangan hati. Perlambatan transit orosekal dilaporkan sering terjadi pada sirosis hati, dan ini membuat protein usus lebih terpapar dengan bakteri sehingga produksi amonia meningkat.4
Peningkatan amonia menimbulkan deplesi glutamat otak, padahal glutamat adalah neurotransmiter eksitatori utama di otak. Hiperamonemia juga menimbulkan stres oksidatif di mitokondria. Stres oksidatif ini mengaktifkan nuclear factor kappa B, yang kemudian mengaktifkan iNOS (inducible nitric oxide synthase), lalu menghasilkan nitric oxide, yang akhirnya menyebabkan disfungsi astrosit.5,6

Di RSUD Koja belum pernah diteliti apakah pada pasien sirosis hati dengan ensefalopati memang ditemukan peningkatan kadar amonia darah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kadar amonia darah pada pasien sirosis hati dengan ensefalopati. Tujuan kedua adalah menilai presisi alat Ammonia checker kit II.

Bahan dan cara

Penelitian bersifat observasional, cross sectional, dilakukan di RSUD Koja di bulan Juni 2009 – Agustus 2009, pada pasien sirosis hati yang mengunjungi poli Penyakit Dalam. Pasien dieksklusi bila ada infeksi akut dan gangguan neurologis lain. Kriteria inklusi adalah sirosis hati dengan ensefalopati hepatik minimal, yang diukur menggunakan alat HEPAtonormTM Analyzer. Nilai CFF < 39 Hz menunjukkan EH.7 Pada semua pasien yang memenuhi criteria inklusi, diperiksa kadar ammonia dengan menggunakan Ammonia checker kit II. Sampel darah diambil dari telinga dengan pipet kapiler. Darah dari pipet dipindahkan ke stik amonia, selanjutnya stik amonia ditempatkan pada alat amonia checker untuk dibaca dengan metoda mikrodifusi. Nilai normal menggunakan alat ini adalah < 54 mol/L. Untuk menilai presisi alat, pemeriksaan ini dilakukan pada 10 pasien sirosis hati sebanyak masing-masing 2 kali pemeriksaan. Analisis data bivariat dilakukan dengan menggunakan SPSS 15, dan disajikan dalam tabel.

Hasil Penelitian
Telah dilakukan penelitian pada 28 pasien sirosis hati, dengan hasil sebagaimana disajikan pada tabel 1. 

Tabel 1. Karakteristik 28 pasien sirosis hati
Karakteristik
n
%
1.
Jenis kelamin



a.
Laki-laki
26
92,9

b.
Perempuan
2
7,1
2.
Usia



a.
< 40 tahun
3
10,7

b.
40-60 tahun
19
67,9

c.
> 60 tahun
6
21,4
3.
Skor Child Pugh



a.
Child Pugh A
1
3,5

b.
Child Pugh B
26
92,9

c.
Child Pugh C
1
3,5
data disajikan dalam n (%)

Didapatkan 26 laki-laki dan 2 perempuan, terbanyak pada kelompok usia 40-60 tahun (67,9%). Sebagian besar mempunyai skor Child Pugh B (92,9%). Hasil pengukuran kadar amonia darah terlihat pada gambar 1.



Selanjutnya dilakukan uji presisi terhadap 10 pasien sirosis hati, dan hasil uji presisi terhadap 10 pasien sirosis adalah kedua hasil berkorelasi signifikan (p=0,037, r=0.439)

Pembahasan

Dari 28 pasien yang diteliti, didapatkan 92,9% laki-laki dan 7,1% perempuan. Pada literatur memang didapatkan bahwa prevalensi sirosis hati memang terbanyak pada laki-laki.8,9 Studi ini mendapatkan hasil amonia darah dari 28 subjek yang diperiksa semua diatas normal, bervariasi antara 87- 205 mol/L dengan rata-rata 133,7 32,2 mol/L. Penemuan ini mendukung teori tentang peranan amonia dalam patogenesis ensefalopati hepatikum.2,3,5
Pemeriksaan ammonia sebenarnya merupakan pemeriksaan yang sulit karena pengambilan sampel darah tidak boleh dilakukan dengan manipulasi, dan pemeriksaan harus segera dilakukan setelah pengambilan sampel darah. Karena kesulitan tersebut maka dalam studi ini dipilih alat pemeriksaan Ammonia checker kit II, yang dapat memeriksa ammonia langsung di dekat pasien.10

Hasil uji presisi terhadap 10 pasien sirosis adalah kedua hasil berkorelasi signifikan menunjukkan bahwa alat Ammonia checker kit II cukup bias dipercaya untuk pemeriksaan kadar ammonia darah. Kelemahan studi ini adalah jumlah sampel sedikit dan jangka waktu pelaksanaannya hanya 3 bulan. Studi ini juga tidak membedakan angka EHM pada masing-masing kelas Child Pugh, juga tidak membedakan penderita sirosis hati dengan gizi cukup maupun gizi kurang.

Kesimpulan

Didapatkan peningkatan amonia darah pada semua pasien dengan ensefalopati (tes CFF <39 Hz). Presisi ammonia checker II terhadap 10 pasien sirosis hati adalah baik (p<0.05)


Daftar Pustaka
On request

Publikasi: 
Penelitian ini dipublikasi di Jurnal Kedokteran Meditek vol 18, No 46, Januari-April 2012
Jurnal Kedokteran Meditek diterbitkan oleh: Unit Penelitian, Publikasi dan Pelatihan
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta 




Sunday, September 8, 2013

BIMBINGAN USG ABDOMEN IPD FK UKRIDA


ABDOMINAL ULTRASOUND

An abdominal ultrasound is a noninvasive procedure used to assess the organs and structures within the abdomen, such as the liver, gallbladder, pancreas, bile ducts, spleen, and abdominal aorta. Ultrasound technology allows quick visualization of the abdominal organs and structures from outside the body






Monday, September 2, 2013

Bimbingan Penelitian FK IPD UKRIDA: LAPORAN PENELITIAN (BAB V dan BAB VI)



BAB V
PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, didapatkan bahwa sirosis hati lebih banyak terjadi pada pasien laki-laki (62,5%), usia rata-rata 51,5 tahun, dengan rentang usia antara 27-70 tahun, terbanyak 40-60 tahun (45,8%), penemuan klinis terbanyak adalah asites (83,3%), hematemesis (54,2%), dan melena (45,8%). Sebagian besar Child Pugh B (66,7%), sisanya Child Pugh C (25%). Hal ini sesuai dengan penemuan yang telah diperoleh sebelumnya.7,8,23
Dari segi pola asupan gula ternyata sebagian besar (54,2%) subyek mengaku jarang mengkonsumsi makanan atau minuman yang tinggi glukosa. Hanya 20,8% yang mengaku mengkonsumsi makanan atau minuman yang tinggi glukosa setiap hari. Fakta ini tidak sesuai dengan dugaan bahwa umumnya penderita sirosis hati akan mengkonsumsi gula secara berlebihan karena secara tradisi diyakini gula akan memperbaiki penyakit sirosis hati.
Penilaian status nutrisi pada penelitian ini didasarkan atas 3 jenis parameter yang berbeda yaitu dengan menggunakan IMT, MAMC, dan SGA. Berdasarkan IMT, didapatkan 75% subyek memiliki dengan gizi yang cukup, 12,5% gizi kurang gizi, dan 8,3% gizi lebih. Berdasarkan MAMC, didapatkan 62,5% tidak malnutrisi (normal), dan 37,5% malnutrisi ringan. Berdasarkan SGA, didapatkan malnutrisi sebesar 33,3%. Dari ketiga parameter gizi ini terlihat bahwa pengukuran status nutrisi berdasarkan MAMC tidak berbeda jauh dengan SGA (37,5% dan 33,3%), namun bila menggunakan IMT maka hasilnya malnutrisi jauh lebih rendah (12,5%). Perbedaan ini dikarenakan bias dari edema dan asites bila menggunakan IMT, sehingga pemeriksaan MAMC dan SGA lebih dipilih daripada IMT.9,10,11 
DM tipe sirosis umumnya subklinis, dan pemeriksaan glukosa puasa umumnya normal, sehingga diperlukan tes toleransi glukosa oral untuk mendeteksinya.6 Dari hasil tes toleransi glukosa oral, didapatkan 46% pasien sirosis hati di RSUD Koja juga menderita diabetes, 25% mengalami gangguan tes toleransi glukosa dan hanya 29% lainnya tidak memiliki kelainan metabolik glukosa. Compean6 mengemukakan, pada sirosis hati bisa didapatkan gangguan toleransi glukosa hingga 96%, dan 30% diantaranya diabetes tipe sirosis. Pada data kami, didapatkan gangguan toleransi glukosa sebanyak 71%, dan 65% diantaranya diabetes tipe sirosis. Dibanding data Compean, angka di RSUD lebih rendah untuk gangguan toleransi glukosa secara keseluruhan (71% vs 96%), namun yang memenuhi kriteria diabetes lebih tinggi (46% dari total subyek, atau 65% dari total gangguan toleransi glukosa). Cukup tingginya angka kejadian DM tipe sirosis ini mendukung saran dari penulis terdahulu agar dibuat pedoman tatalaksana yang lebih baik bagi penyakit ini.6
Untuk mengetahui adanya hiperinsulinemia, maka pada 24 subyek diperiksa kadar insulin puasa. Didapatkan kadar rata-rata adalah 10,2 ± 4,4 µIU/mL. Sebanyak 17 (70,8%) pasien memiliki kadar insulin puasa dalam nilai normal (2,6 µIU/mL - 24,9 µIU/mL), 4 (16,7%) dengan kadar rendah (<2,6µIU/mL) dan 3 (12,5%) memiliki kadar insulin puasa tinggi (>24,9µIU/mL). Kawaguchi12 mencatat sebanyak  57% dari penderita sirosis hati menunjukkan peningkatan resistensi insulin. Kadar insulin pada penderita DM tipe sirosis lebih tinggi dibanding DM tipe-2. Hiperinsulinemia pada sirosis hati diduga terjadi akibat kerusakan sel parenkim hati, sehingga proses degradasi insulin terganggu. Pada subyek kami hiperinsulinemia hanya didapatkan pada 12,5%. Pada tahap 2 kadar insulin puasa rata-rata kelompok DM tipe sirosis dibandingkan dengan kelompok DM tipe 2. Didapatkan rata-rata kadar insulin puasa pada pasien DM tipe sirosis 10,8±4,2 µIU/mL dan DM tipe-2 9,3±5,3 µIU/mL (p=0,5). Data ini menunjukkan adanya hiperinsulinemia relatif pada kelompok DM tipe sirosis terhadap DM tipe-2 (10,8±4,2 µIU/mL vs 9,3±5,3 µIU/mL), namun ternyata perbedaan ini secara statistik tidak bermakna. Hal ini kemungkinan karena besar sampel yang kurang, tekhik pengambilan sampel darah tidak tepat, atau tehnik pengolahan bahan tidak baik.
Selanjutnya pada kedua kelompok dinilai rasio GDPP/GDP.  Rasio GDPP/GDP yang lebih tinggi menunjukkan kegagalan insulin memasukkan glukosa kedalam sel, sehingga semakin tinggi rasio maka semakin tinggi resistensi terhadap insulin. Pada pasien DM tipe sirosis didapatkan rasio GDPP/GDP sebesar 2±0,5 dan pasien DM tipe-2 sebesar 1,5±0,4 (p=0,01).  Rasio GDPP/GDP lebih tinggi pada DM tipe sirosis, dan bermakna secara statistik.  Data ini mendukung adanya resistensi insulin yang lebih tinggi pada DM tipe sirosis dibandingkan DM tipe-2.

Beberapa kelemahan yang ditemukan selama melakukan penelitian ini adalah antara lain sulitnya mencari kelompok kontrol yang mempunyai usia sebanding, karena pasien DM tipe sirosis umumnya mempunyai usia lebih muda sedangkan DM tipe 2 mempunyai usia yang lebih tua. Untuk mengatasinya diambil rentang usia 5 tahun. Kelemahan lain adalah jumlah subyek yang sedikit, tekhik pengambilan sampel darah tidak tepat dan dilakukan oleh petugas yang berbeda-beda juga dapat mempengaruhi akurasi hasil laboratorium.


BAB VI
KESIMPULAN

1.      Pola asupan gula pada pasien sirosis hati di RSUD Koja ternyata sebagian besar jarang mengkonsumsi makanan atau minuman yang tinggi glukosa
2.      Pola klinis pada pasien sirosis hati di RSUD Koja didapatkan lebih banyak laki-laki, usia rata-rata 51,5 tahun, penemuan klinis terbanyak adalah asites, dan  sebagian besar Child Pugh B.
3.      Status nutrisi dari pada pasien sirosis hati di RSUD Koja berdasarkan pemeriksaan antropometrik MAMC, didapatkan 62,5% normal dan 37,5% malnutrisi ringan
4.      Kadar insulin puasa pada sirosis hati di RSUD Koja rata-rata 10,2 ± 4,4 µIU/mL, sedangkan hasil tes toleransi glukosa didapatkan 46% pasien menderita diabetes, 25% gangguan toleransi glukosa dan hanya 29% normal
5.      Pada pasien DM tipe sirosis didapatkan rasio GDPP/GDP sebesar 2±0,5 dan pasien DM tipe-2 sebesar 1,5±0,4 (p=0,01). 
6.      Rata-rata kadar insulin puasa pada pasien DM tipe sirosis 10,8±4,2 µIU/mL dan DM tipe-2 9,3±5,3 µIU/mL (p=0,5).


DAFTAR PUSTAKA
on request

Menyelesaikan Laporan Penelitian


Bimbingan Penelitian IPD FK UKRIDA: LAPORAN PENELITIAN (BAB IV)


BAB V
HASIL

Selama kurun waktu 5 bulan, Februari 2013 hingga Juni 2013, didapatkan 24 pasien sirosis hati yang memenuhi kriteria inklusi, 15 laki-laki dan 9 perempuan. Usia rata-rata 51,5 tahun, dengan rentang usia antara 27-70 tahun, terbanyak pada 40-60 tahun. Hasil pemeriksaan status gizi sebagian besar normal (62,5%), sisanya malnutrisi ringan (37,5%). Sebagian besar Child Pugh B (66,7%), sisanya Child Pugh C (25%). Hasil tes toleransi glukosa normal pada 29%, toleransi glukosa terganggu (TGT) 25% dan DM tipe sirosis 46%. Karakteristik keseluruhan dari subyek penelitian dapat dilihat di tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik 24 Subyek Penelitian

Karakteristik
Frekuensi (n)
Persentase (%)

Jenis kelamin

a.       Laki-laki
15
62,5

b.      Perempuan
9
37,5


Usia

a.       <40
5
20,8

b.      40-60
11
45,8

c.       >60
8
33,3

d.      Rata-rata
51,5
13


Lama Sirosis

a.       <1 tahun
13
54,2

b.      >1 tahun
11
45,8


Pola klinis

a.       Ikterik
6
25

b.      Asites
20
83,3

c.       Splenomegali
4
16,7

d.      Palmar eritem
2
8,3

e.       Caput medusa
1
4,2

f.       Melena
11
45,8

g.       Hematemesis
13
54,2

h.      Ensefalohepatik
2
8,3

Pola Asupan Gula

a.       Tidak pernah
2
8,3

b.      Jarang
13
54,2

c.       Sering
4
16,7

d.      Setiap hari
5
20,8


Kadar insulin puasa

a.       Rendah (<2.6)
4
16,7

b.      Normal (2.6 – 24.9)
17
70,8

c.       Tinggi (≥24.9)
3
12.5

Rata-rata
10,2
4,4

Hasil tes toleransi Glukosa



a.       Normal
7
29

b.      TGT
6
25

c.       DM
11
46

Status nutrisi



IMT



a.       Gizi kurang
3
12,5

b.      Gizi normal
18
75

c.       Gizi lebih
2
8,3

d.      Obes
1
4,2


MAMC

a.       Malnutrisi ringan
9
37,5

b.      Normal
15
62,5


SGA

a.       SGA A
8
33,3

b.      SGA B
8
33,3

c.       SGA C
8
33,3


Klasifikasi Child Pugh
a.       A
2
8,3

b.      B
16
66,7

c.       C
6
25



Dari 24 pasien yang diperiksa, didapatkan sebanyak 17 (71%) dari penderita sirosis hati mengalami gangguan metabolik gula, dan 7 subyek (29%) mempunyai toleransi gluosa yang normal. Dari 17 orang tersebut, sebanyak 6 subyek (25% dari total subyek, 35% dari 17 subyek) memenuhi kriteria toleransi glukosa terganggu (TGT) dan DM tipe sirosis sebanyak 11 orang (46% dari total subyek, 65% dari 17 subyek).  Gambar 1 menunjukkan proporsi DM tipe sirosis terhadap seluruh penderita sirosis hati.



Dari 11 subjek yang memenuhi kriteria DM tipe sirosis, diambil 9 orang untuk lanjut ke tahap 2. Di tahap 2, kesembilan subyek DM tipe sirosis dibandingkan dengan 9 penderita DM tipe 2 yang sama jenis kelamin dan kisaran usianya tidak lebih dari 5 tahun. Pada kedua kelompok diambil data glukosa darah puasa (GDP), glukosa darah 2 jam (GDPP), dan insulin puasa. Adanya resistensi insulin dinilai berdasarkan rasio GDPP/GDP dan kadar insulin puasa. Gambar 2 menunjukkan rasio GDPP/GDP sedangkan gambar 3 menunjukkan kadar insulin puasa pada kedua kelompok.


Dari hasil pemeriksaan, didapatkan rasio GDPP/GDP pada pasien DM tipe sirosis sebesar 2±0,5 dan pasien DMT2 sebesar 1,5±0,4 (p=0,01). Rata-rata kadar insulin puasa pada pasien DM tipe sirosis 10,8±4,2 µIU/mL dan DMT2 9,3±5,3 µIU/mL (p=0,5).