Monday, February 18, 2013

Suzanna Ndraha Penelitian: Status Antropometri pada Pasien Penyakit Kronik



STATUS ANTROPOMETRI
PADA PASIEN PENYAKIT KRONIK
DI BANGSAL RAWAT INAP RSUD KOJA

1Suzanna Ndraha 2Henny Tannady Tan, 2Melfrits Rinell Siwabessy, 2Mardi Santoso
1Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Koja Jakarta
2Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta

Abstract
Background: Studies have shown that development of chronic diseases was influenced by nutritional status. Therefore, the assessment of nutritional status is very important to prevent various complications of chronic diseases. There are many ways to assess the nutritional status. Body Mass Index and Mid-upper Arm Muscle Circumference (MAMC) are two of them.
Aims: The aims of this study was to find out the description of chronic disease internal medicine ward of Koja hospital and the proportion of malnutrition on hospitalized patient with chronic diseases base on body mass index and mid-upper arm muscle circumference.
Methods: All chronic disease patients hospitalized in Koja Hospital on November 2009 – January 2010 were evaluated. There were 26 patients; age ranged 16-72 years old. The identity, diagnosis of chronic disease, BMI and MAMC was measured from each patient. The study design was observational and cross sectional.
Result: From 26 patients that had completed the study, the most common chronic disease found were congestive heart failure, lung tuberculosis, chronic kidney disease, type II diabetes mellitus, and anemia on chronic disease. Patients with age <60 years old was 80,8% and ≥ 60 years old was 19,2%. Female patients was 61,5% and male was 38,5%.  Severe malnutrition base on BMI was 26,9%, moderate was 26,9%, and normal was 46,2%. However, base on MAMC, severe malnutrition was 57,7%, moderate 15,4%, normal 26,9%.
Conclusion: The most common chronic disease that hospitalized at Koja hospital was congestive heart failure. Percentation of malnutrition base on MAMC higher than BMI.


Abstrak
Latarbelakang : Banyak studi membuktikan bahwa perkembangan penyakit kronik sangat diperngaruhi oleh status nutrisi. Jadi penilaian status nutrisi penting untuk mencegah terjadinya berbagai komplikasi. Ada banyak cara menilai status nutrisi, diantaranya adalah Indeks Massa Tubuh dan MAMC.
Tujuan: Untuk mengetahui gambaran penyakit kronik dan bagaimana proporsi malnutrisi berdasarkan indeks massa tubuh dan MAMC pasien penyakit kronik yang dirawat inap di RSUD Koja
Metode: Dua puluh enam pasien dengan penyakit kronik yang berumur 16-72 tahun diambil dari bangsal penyakit dalam RSUD Koja, Jakarta, Indonesia pada bulan Nopember 2009-Januari 2010. Pada setiap pasien dikumpulkan data identitas, penyakit kronik, IMT dan MAMC. Penelitian ini bersifat observasional kros seksional.
Hasil: Dari 26 pasien yang menyelesaikan penelitian, 5 penyakit kronik terbanyak yang ditemukan pada pasien rawat inap RSUD Koja adalah gagal jantung kongestif, TB paru, gagal ginjal kronik, diabetes melitus tipe 2 dan anemia kronik. Pasien berusia < 60 tahun didapatkan sebanyak 80,8% dan ≥ 60 tahun 19,2%. Pasien  wanita lebih banyak dari pria (61,5% vs 38,5%). Persentasi malnutrisi berat berdasarkan indeks massa tubuh adalah 26,9%, malnutrisi ringan 26,9% dan normal 46,2%. Sedangkan persentasi berdasarkan MAMC untuk malnutrisi berat 57,7%, malnutrisi ringan 15,4% dan normal 26,9%.
Kesimpulan : penyakit kronik terbanyak di RSUD Koja adalah gagal jantung kongestif. Persentasi malnutrisi berdasarkan MAMC lebih tinggi dari pada IMT.

Pendahuluan
Pengertian penyakit kronik menurut WHO adalah penyakit dengan durasi panjang dan progresifitas lambat. Penyakit-penyakit kronik seperti penyakit jantung, strok, kanker, penyakit pernapasan kronik dan diabetes merupakan penyebab kematian terbanyak yaitu sebesar 63%. Di tahun 2008, sebanyak 36 juta orang meninggal akibat penyakit kronik, 9 juta di antaranya berusia di bawah 60 tahun dan 90% dari kematian dini ini terdapat di negara miskin [1]. 
Menurut CDC (Center for Disease Control and Prevention), penyakit-penyakit kronik seperti penyakit jantung, strok, kanker, diabetes dan arthritis merupakan penyakit kronik yang dapat dicegah, namun menempati urutan teratas dari masalah kesehatan di Amerika Serikat [2]. 
Salah satu faktor yang berpengaruh pada perkembangan penyakit kronik adalah diet atau asupan nutrisi. Status nutrisi adalah keseimbangan antara asupan gizi dan pengeluarannya oleh organisme dalam proses pertumbuhan, reproduksi, dan perawatan kesehatan [3]. Penilaian status nutrisi dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran antropometrik, penilaian biokimia atau tes laboratorium, indikator klinis, dan penilaian diet [3,4].
Baron (1986) mengemukakan data prevalensi malnutrisi pada pasien rawat inap di rumah sakit berkisar antara 26-80%. Terjadinya malnutrisi tersebut akibat berkurangnya asupan makanan oral, meningkatnya pembuangan zat gizi, dan meningkatnya kebutuhan zat gizi [5]. Pengukuran status nutrisi dibedakan dalam 2 jenis, yaitu cara pengukuran antropometrik dan cara pengukuran biokimiawi. Pengukuran antropometri menurut Baron meliputi tinggi badan dan berat badan, triceps skin-fold thickness (TSF), dan  mid arm muscle circumference (MAMC), sedangkan pengukuran antripometri menurut Truswell adalah IMT (indeks massa tubuh) dan lingkar pinggang [6]. Kelemahan pemeriksaan IMT adalah nilainya tidak akurat pada pasien dengan edema dan asites, misalnya pada gagal jantung, sirosis hati, gagal ginjal kronik dll. Untuk menghindari bias pemeriksaan berat badan akibat timbunan cairan dalam tubuh, TSF dan MAMC lebih direkomendasi [7,8]
Di RSUD Koja sendiri khususnya di bangsal perawatan Penyakit Dalam, belum pernah dilakukan penelitian mengenai status nutrisi pasien yang di rawat inap. Mengingat pentingnya peranan nutrisi dalam progresifitas penyakit kronik, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai status gizi pasien yang dirawat dengan penyakit kronik di RSUD Koja.   
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penyakit kronik di bangsal rawat inap RSUD Koja serta bagaimana proporsi malnutrisi berdasarkan IMT dan MAMC pasien penyakit kronik yang dirawat inap di RSUD Koja

Metode
Penelitian ini menggunakan observasional kros seksional. Subjek penelitian berasal dari pasien penyakit kronik bangsal penyakit dalam RSUD Koja dari 9 November 2009 sampai 9 Januari 2010. Penyakit kronik yang masuk adalah (1) Kelainan kardiovaskuler: gagal jantung kongestif, aritmia kordis, penyakit jantung koroner (2) Neoplasma: tumor paru, tumor mediastinum, limfoma maligna  (3) Kelainan gastroenterohepatologi: kolitis kronik, penyakit batu empedu (4) Kelainan metabolik endokrin: DM tipe 2, struma difusa toksik, (5) Tuberkulosis paru (6) Kelainan hematologi: anemia penyakit kronik,  (7) Kelainan ginjal: penyakit ginjal kronik. Pasien yang tidak bisa berdiri diatas timbangan dan yang menolak dimasukkan dalam penelitian menjadi kriteria eksklusi. Status nutrisi dinilai berdasarkan 2 parameter, yaitu IMT dan MAMC. Pemeriksaan IMT dilakukan dengan menggunakan rumus IMT = (berat badan)/(tinggi badan)2 dimana berat badan dinyatakan dalam kg dan tinggi dalam meter sehingga satuan IMT adalah kg/m2. Interpretasi pemeriksaan IMT menggunakan klasifikasi menurut WHO, yaitu berat badan kurang bila IMT < 18.50, normal bila IMT 18.5–24.99, lebih bila 25.00–29.99 IMT, obes bila IMT > 30.00 dan obes berat bila IMT>40.00[6]. Pemeriksaan MAMC dilakukan dengan mengukur MUAC (muscle upper arm circumference) dan TSF, kemudian dengan menggunakan rumus: MAMC = MUAC – [3,14 x TSF(cm)] didapatkan nilai MAMC [9]. Pasien dinyatakan malnutrisi bila TSF dan/atau MAMC dibawah persentil 5 (malnutrisi berat) atau antara persentil 5,1-15 (malnutrisi ringan) dari data referensi Frisancho (NHANES I dan II) dan/atau IMT <20 kg/m2 dan/atau ada kehilangan berat badan ≥5–10% dalam 3–6 bulan terakhir [8,10,11].

Hasil 
            
Gambar 1. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin
Dari 26 pasien yang dirawat inap di bangsal Penyakit Dalam RSUD Koja selama November 2009 sampai Januari 2010, didapatkan jumlah perempuan sebanyak 16 pasien (61,5%) dan laki-laki 10 pasien (38,5%), sebagaimana terlihat di gambar 1.

Dari segi usia, kelompok usia dibawah 60 tahun meliputi 80,8% pasien  (21 orang), sedang sisanya 5 pasien (19,2%) berusia ≥ 60 tahun (gambar 2). 
Gambar 2. Distribusi pasien berdasarkan usia

Jenis penyakit kronik terbanyak adalah gagal jantung kongestif, TB paru, gagal ginjal kronik, diabetes melitus tipe II, dan anemia penyakit kronik.
Ditemukan proporsi pasien yang malnutrisi berdasarkan IMT sebanyak 7 pasien (26,9%) malnutrisi berat, 7 pasien (26,9%) dengan malnutrisi ringan, dan 12 pasien (46,2%) dengan status gizi normal atau lebih (gambar 3). 

Gambar 3.  Distribusi pasien berdasarkan IMT
Dan berdasarkan MAMC adalah 15 pasien (57,7%) dengan malnutrisi berat, 4 pasien (15,4%) dengan malnutrisi ringan, dan 7 pasien (26,9%) dengan status gizi normal (gambar 4).

Jika hasil kedua cara pemeriksaan status gizi tersebut dibandingkan, maka terlihat sebagaimana pada gambar 5, proporsi malnutrisi berat lebih banyak bila menggunakan MAMC, proporsi status gizi normal lebih banyak bila menggunakan IMT.

Gambar 4. Distribusi pasien berdasarkan MAMC



Gambar 5. Distribusi pasien berdasarkan IMT dan MAMC



Pembahasan
Dari penelitian didapatkan jumlah penderita penyakit kronik berusia dibawah 60 tahun (non geriatri) lebih banyak dibandingkan dengan penderita yang berusia lebih dari atau sama dengan 60 tahun (geriatri). Hal ini tidak sesuai dengan data WHO [1] maupun data Forster [12] yang menyatakan, bahwa sebagian besar penderita penyakit kronik berusia diatas 60-70 tahun. Penelitian ini memberikan hasil yang berbeda, karena semua pasien yang tidak bisa berdiri di atas timbangan dieksklusi. Di bangsal perawatan penyakit dalam ada banyak pasien usia > 60 tahun terpaksa dieksklusi karena tidak bisa berdiri akibat penurunan kesadaran, atau keadaan umum berat sehingga tidak mampu berdiri. Bila parameter status gizi hanya menggunakan MAMC, kemungkinan jumlah pasien yang masuk inklusi bertambah, sehingga perbandingan status gizi pada kelompok umur ini bisa berubah.
Sebaran jenis kelamin pada penelitian ini menunjukkan sebagian besar penderita penyakit kronik berjenis kelamin wanita. Hal ini sesuai dengan penelitian Castel dkk [13] yang mendapatkan risiko malnutrisi pada pasien perempuan meningkat 3.3 kali dibanding laki-laki.
            Pada penelitian ini didapatkan, frekuensi 5 penyakit kronik terbanyak di RSUD Koja adalah gagal jantung kongestif, TB paru, gagal ginjal kronik, diabetes melitus tipe II dan anemia penyakit kronik. Data ini sesuai dengan catatan WHO yang menyatakan bahwa 60 % dari penyebab kematian didunia yang disebabkan oleh penyakit kronik diantaranya adalah penyakit jantung, diabetetes dan kanker [1].
            Hasil pengukuran IMT dan MAMC yang dilakukan dalam studi ini menunjukkan presentasi malnutrisi dengan menggunakan MAMC lebih tinggi dibanding IMT. Hal ini dapat dijelaskan karena sebagian pasien yang masuk dalam penelitian mempunyai edema atau asites, sehingga pengukuran berat badan menjadi bias oleh timbunan cairan. Pasien yang mempunyai edema atau asites, bisa mempunyai IMT yang normal karena berat badan tergolong baik dalam penimbangan, akibat adanya edema dan/atau asites, sedangkan pasien tersebut sebenarnya berstatus nutrisi buruk dalam pengukuran lingkar lengannya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ndraha [14] pada pasien sekelompok sirosis hati. Sebanyak 65.8% kasus tergolong malnutrisi menurut MAMC, sedangkan bila menggunakan IMT hanya 55.3% yang tergolong malnutrisi.
Dari penelitian didapatkan perbedaan antara pengukuran dengan IMT dan MAMC, dimana perbedaan tersebut meliputi frekuensi malnutrisi berat, malnutrisi ringan dan normal. Pada malnutrisi berat didapatkan frekuensi dengan pengukuran MAMC sejumlah 15 orang sedangkan IMT sejumlah 7 orang. Perbedaan  pengukuran antara IMT  dan MAMC terjadi karena, pada IMT dapat terjadi bias yang lebih besar. Hal ini disebabkan pada IMT yang diukur adalah massa tubuh secara keseluruhan sedangkan dengan MAMC yang diukur hanya massa otot. Pada penelitian ini didapatkan pasien dengan pembesaran organ (hepatomegali, limfoma), edema dan atrofi otot yang akan mempengaruhi hasil pengukuran dengan IMT.

Kesimpulan
Penyakit kronik terbanyak adalah gagal jantung kongestif. Proporsi malnutrisi menurut IMT adalah 26,9% malnutrisi berat, 26,9%  malnutrisi ringan, dan 12 pasien 46,2%  status gizi normal atau lebih. Proporsi malnutrisi berdasarkan MAMC adalah 57,7% malnutrisi berat, 15,4% malnutrisi ringan, dan 26,9% status gizi normal atau lebih.

Daftar Pustaka: on request

Publikasi: 
Penelitian ini dipublikasi di Jurnal Kedokteran Meditek vol 16, No 42B, Mei-Agustus 2010
Jurnal Kedokteran Meditek diterbitkan oleh: Unit Penelitian, Publikasi dan Pelatihan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta




IPD Koja SOP Sepsis

IPD Koja SOP Sepsis Februari 2013

Sunday, February 3, 2013

Suzanna Ndraha Penelitian: TES CRITICAL FLICKER FREQUENCY PADA SIROSIS HATI DI RSUD KOJA


TES CRITICAL FLICKER FREQUENCY
PADA SIROSIS HATI
DI RSUD KOJA
                                                                                     
1Suzanna Ndraha, 2Marshell Tendean, 2Fendra Wician,
3Surjadi Sujana, 2Mardi Santoso
1SMF Penyakit Dalam RSUD Koja, Jakarta
2Staf Pengajar SMF Penyakit Dalam FK UKRIDA
3SMF Radiologi FK UKRIDA
Alamat Korespondensi Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510


ABSTRAK
Latar Belakang. Ensefalopati hepatikum minimal (EHM) adalah keadaan dimana secara klinis tidak terdapat tanda gangguan mental namun pada tes psikometrik sudah ditemukan kelainan. EHM sulit didiagnosis karena tes psikometrik tidak mudah dilakukan, hasilnya dipengaruhi usia dan tingkat pendidikan, serta memakan banyak waktu. Belakangan ini tes critical flicker frequency (CFF) telah dikembangkan untuk diagnosis EHM. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi hasil tes critical flicker frequency pada pasien sirosis hati di RSUD Koja.
Metoda. Semua pasien sirosis hati yang datang ke RSUD Koja selama Juni-Agustus 2009 dievaluasi. Tes CFF dilakukan dengan menggunakan alat HEPAtonormTM Analyzer. Pasien sirosis dengan frekuensi kritis < 39 Hz digolongkan kedalam ensefalopati.
Hasil. Didapatkan 38 penderita sirosis hati yang datang berkunjung. Tigapuluh empat subjek (89,5%) tergolong ensefalopati berdasarkan tes CFF.
Kesimpulan: Dari pemeriksaan CFF, didapatkan 89,5% dari penderita sirosis hati tergolong EHM.

Keywords: Sirosis hati, Ensefalopati hepatikum minimal (EHM), Critical Flicker Frequency (CFF)

ABSTRACT
Introduction. Minimal hepatic encephalopathy (MHE) is a term in liver cirrhosis with abnormal psychometric test while mental status examination still normal. MHE is difficult to investigate clinically, while psychometric tests were not easy and time consuming. Recently, the critical flicker frequency (CFF) test has been developed for the diagnosis of MHE. Aim of this study was to evaluate the critical flicker frequency in liver cirrhosis
Method. All liver cirrhosis patients visited Koja Hospital during June - August 2009 was evaluated. The distributions of age, gender, and Child Pugh classification were assessed. The CFF test was evaluated using HEPAtonormTMAnalyzer. Cirrhotic patients who had critical frequency measurement less than 39 Hz was classified as having hepatic encephalopathy.
Results. There were 38 liver cirrhosis patients fit the criteria. Thirty-four (89.5%) cases were classified as minimal encephalopathy according to CFF.
ConclusionIn our study we found 89.5% of liver cirrhosis patients were minimal encephalopathy according to CFF.

KeywordsLiver cirrhosis, encephalopathythe Critical Flicker Frequency

Pendahuluan
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan salah satu komplikasi sirosis hati yang membawa dampak morbiditas dan mortalitas yang tinggi.1,2 Angka kejadian EH pada sirosis hati di negara barat bervariasi dari 30-45% (USA)3 dan 50-70% (UK)4, dimana sebagian besar diantaranya adalah EH minimal. Data di Asia juga bervariasi. Di India didapatkan kejadian EH sebesar 62,4%. Penelitian yang dilakukan di Poliklinik rawat jalan RSCM dan RSUD Koja menunjukkan angka EH minimal sebesar masing-masing  75,8 % dan 94,4%.6,7
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis antara lain : [1]Tes elektrofisiologik. Tes elektrofisiologik yang meliputi visual-evoked, somatosensory-evoked, dan brain stem auditoryevoked potentials ternyata tidak mudah dilakukan dalam praktek karena mahal, memerlukan peralatan canggih dan kemudian ternyata sensitivitasnya masih dibawah tes psikometrik.8  [2]. Tes Psikometri. Tes psikometrik yang meliputi 5 tes yaitu  the digit symbol test (DST), the number connection test A (NCTA), the number connection test B (NCT-B), the serial dotting test (SDT), dan the line drawing test (LDT) direkomendasi sebagai baku emas diagnosis EHM dalam konsensus di Viena tahun 1998.9 Kelima tes yang dinamakan PHES (The psychometric hepatic hncephalopathy score) ini ternyata tidak mudah dalam pelaksanaannya karena memakan waktu lama dan sangat dipengaruhi oleh tingkat edukasi dan usia penderitanya.8,9 [3]. Tes Critical Flicker Frequency (CFF)Kesulitan dalam tes psikometrik dan elektrofisiologik membuat EHM sulit didiagnosis.8,9,10,11, Hal ini mendorong para ahli untuk mencari alat diagnosis lain yang lebih mudah namun akurat dalam mendiagnosis EHM. Kircheis (2002)  mulai memperkenalkan tes CFF untuk diagnosis EHM. Berdasarkan hipotesis bahwa gliopati retina dapat dijadikan petanda adanya gliopati serebral, maka gangguan fungsi visual dapat menjadi dasar diagnosis EHM. Kircheis menggunakan cut off  39 Hz, dengan sensitivitas 76,2% dan spesifisitas 61,4%. Karena tes CFF kurang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan usia, dan mempunyai sensitivitas serta spesifisitas yang baik, maka Kircheis menyimpulkan bahwa tes CFF dapat digunakan untuk mendiagnosis dan memonitor EHM.8 Di Indonesia, juga telah dilakukan penelitian untuk menilai presisi tes CFF. Penelitian yang dilakukan terhadap pasien sirosis hati di RSCM dan RS Koja ini mendapatkan bahwa tes ini mempunyai presisi yang baik. Berdasarkan  uji validasi CFF di Spanyol dan India yang mendapatkan hasil baik, dan uji presisi CFF di Indonesia yang juga mendapatkan hasil baik, maka tes CFF dapat dilakukan sebagai alat diagnostik EHM di Indonesia.6,12
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi hasil tes CFF pada pasien sirosis hati di RSUD Koja
.
Material dan Metode
                 Gambar 1: Pemeriksaan hepatonorm
Penelitian bersifat observasional, cross sectionaldilakukan di RSUD Koja di bulan Juni 2009 – Juli 2009, pada pasien sirosis hati yang mengunjungi poli Penyakit Dalam. Pasien dieksklusi bila ada infeksi akut, gangguan neurologis dan gangguan penglihatan. Pada semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan tes CFF dengan menggunakan alat HEPAtonormTMAnalyzer. Pada tes ini dinilai frekuensi sumber cahaya yang dapat diinterpretasi oleh korteks serebri saat berubah menjadi suatu kedipan. Sebelum tes dilakukan, diberi penjelasan kepada pasien mengenai tujuan tes, langkah prosedur tes, dan pasien diminta menekan tombol bila melihat cahaya merah mulai redup dan berkedip-kedip. Tes dilakukan di Ruang Prosedur Penyakit Dalam, dalam kamar gelap, pasien posisi duduk. Headset dipasang di posisi kepala pasien, kemudian pasien diberi tombol untuk dipegang (gambar 1). Saat pemeriksa mengoperasikan hand-held controller yang dihubungkan dengan komputer, pasien akan melihat cahaya merah muncul dan dalam beberapa detik cahaya tersebut akan redup dan berkedip-kedip. Saat itulah pasien diminta menekan tombol, dan di layar komputer akan muncul angka hasil pengukuran tes CFF. Pengukuran dilakukan 9 kali dan diambil nilai rata-ratanya. Nilai CFF < 39 Hz menunjukkan EH.8  Analisis data bivariat dilakukan dengan menggunakan SPSS 15, dan disajikan dalam tabel.

Hasil Penelitian

Telah dilakukan penelitian pada 38 pasien sirosis hati, dengan hasil sebagaimana disajikan pada tabel 1. Didapatkan 31 laki-laki dan 7 perempuan. Rerata usia adalah 48 ± 24 tahun, terbanyak pada kelompok usia 40-60 tahun (72%). Sebagian besar mempunyai skor Child Pugh B (54,2%). Dari 38 subyek, didapatkan sebanyak 34 orang (89,5%) tergolong ensefalopati hepatic berdasarkan hasil tes Flicker (gambar 2).

 Tabel 1. Karakteristik 38 pasien sirosis hati
         Karakteristik
n
%
1.       Jenis kelamin


a.       Laki-laki
31
83.3
b.       Perempuan
7
16.7
2.       Usia                                               


Rata-rata (mean ± SD)
48
24
a.       < 40 tahun
6
15.3
b.       40-60 tahun
28
72.2
c.        > 60 tahun
4
12.5
3.       Skor Child Pugh


a.       Child Pugh A
13
36.1
b.       Child Pugh B
21
54.2
c.        Child Pugh C
4
9.7
4.       Hasil Fliker pada pasien
-         >39
-         <39

4
34

10,5
89,5
data kategori disajikan dalam n (%),data numerik  dalam mean (SD)

Gambar 2. Ensefalopati hepatik sebanyak 89,5%

Pembahasan
Dari 38 pasien yang diteliti, didapatkan 83,3% laki-laki dan 16,7% perempuan. Dari literatur didapatkan bahwa prevalensi sirosis hati memang terbanyak pada laki-laki.5,13 Yun dkk mendaparkan prevalensi 86% laki-laki dan 14% perempuan, dengan rata-rata usia 43,6±10,4. Penemuan ini tidak jauh berbeda dari penelitian kami.14
Angka kejadian EH pada sirosis hati di negara barat bervariasi dari 30-45% (USA)2 dan 50-70% (UK)3, dimana sebagian besar diantaranya adalah EH minimal. Data di Asia juga bervariasi. Di India didapatkan kejadian EH sebesar 62,4%.4 Penelitian yang dilakukan di Poliklinik rawat jalan RSCM menunjukkan angka EH minimal sebesar 75,8 %.5
Penelitian di RSUD Koja mendapatkan angka prevalensi EHM  sebesar 89,5%, lebih tinggi dari negara barat maupun Asia. Bahkan juga lebih tinggi dari RSCM Jakarta. Tingginya prevalensi EHM pada populasi kami antara lain disebabkan: [1] Perbedaan metoda yang digunakan, dimana kami menggunakan metoda pemeriksaan dengan tes CFF dengan cut-off 39 Hz, sedangkan studi RSCM menggunakan cut-off 38 Hz.
[2] Pengunjung RS Koja umumnya berasal dari kalangan sosial ekonomi yang lebih rendah sehingga angka komplikasi penyakit kronik termasuk sirosis menjadi lebih tinggi.
Kelemahan studi ini adalah jumlah sampel sedikit dan jangka waktu pelaksanaannya hanya 3 bulan. Studi ini juga tidak membedakan angka EHM pada masing-masing kelas Child Pugh, juga tidak membedakan penderita sirosis hati dengan gizi cukup maupun gizi kurang.


Kesimpulan
Dari pemeriksaan CFF, didapatkan 89,5% dari penderita sirosis hati tergolong ensefalopati hepatikum minimal.


Daftar Pustaka
On request

Publikasi: 
Penelitian ini dipublikasi di Jurnal Kedokteran Meditek vol 16, No 42A, Januari-April 2010
Jurnal Kedokteran Meditek diterbitkan oleh: Unit Penelitian, Publikasi dan Pelatihan
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta