Thursday, August 8, 2013

Suzanna Ndraha Slide kuliah 11 Mei 2013: Kolonoskopi

IPD Koja KOLONOSKOPI


Kuliah Gastroenterologi 11 Mei 2013: 

Ilustrasi kasus Laki-laki 68 tahun datang dengan nyeri perut sejak 1 tahun hilang timbul, terakhir kambuh 1 minggu yl. BAB sering tidak lancar, kadang2 diare berdarah. Berat badan turun. PF nyeri tekan LLQ. Laboratorium Hb 10 g/dL, leukosit 11.100/uL, lain2 dbn. Feses lengkap: darah +, lendir+. Dilakukan kolonoskopi dengan hasil massa berbenjol-benjol rapuh mudah berdarah, di sigmoid. Diagnosis kerja: Ca sigmoid







Sunday, August 4, 2013

Suzanna Ndraha: Pemeriksaan Ankle Brachial Index






PENGARUH LUMBROKINASE PADA 
PENYAKIT ARTERI PERIFER
A PILOT STUDY
Suzanna Ndraha, Henny Tannady, Helena Fabiani, Fendra Wician
Staf Penyakit Dalam FK Ukrida Jakarta 

Pendahuluan
Penyakit arteri perifer didefinisikan sebagai obstruksi aliran darah pada percabangan arteri diluar sirkulasi intrakranial dan sirkulasi koroner. Obstruksi ini terjadi akibat proses aterotrombosis. Manifestasi klinis utama yang dapat disebabkan oleh aterotrombosis adalah [1] Strok iskemik, yaitu kematian otak akibat kekurangan pasokan oksigen dan nutrisi, [2] Transient ischemic attack (TIA), yaitu kekurangan pasokan oksigen dan nutrisi ke otak yang bersifat sementara, [3] Infark miokard, yaitu serangan jantung/ kematian sel di jantung akibat kekurangan oksigen dan nutrisi, [4] Angina, yaitu rasa sakit di dada sebelah kiri yang menjalar, disebabkan oleh kekurangan pasokan oksigen dan nutrisi ke jantung secara sesaat, dan [5] Penyakit arteri perifer, seperti klaudikasio intermiten, rest pain dan gangren.1
Klasifikasi penyakit arteri perifer berdasarkan progesifitas perjalanan gejala klinis menurut Fontaine dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Fontaine penyakit arteri perifer3
Fontaine Classification of PAD
Stadium I
Asimptomatik
Stadium II
Klaudikasio intermiten
Stadium III
Nyeri saat istirahat/ nyeri malam hari
Stadium IV
Nekrosis/ gangrene

Faktor risiko terjadinya PAP antara lain adalah usia, rokok, hipertensi, diabetes mellitus, kurang olah raga, dan obesitas.2, Pada survei ke-3 yang dilakukan National Health and Nutrition Examination, dilaporkan odds ratio (OR) pada prevalensi tinggi didapatkan pada kebiasaan merokok, etnis Afro-Amerika, glomerular filtration rate (GFR) < 60 ml/min, diabetes melitus (DM), dan hiperkolesterolemia (OR, 1.7). Progesivitas PAD hingga stadium III meningkat pada DM, kebiasaan merokok (OR, 3.0), ABI < 0,7 (OR, 2.0), ABI < 0,5, usia > 65 tahun, dan hiperkolesterolemia.2
Penyakit arteri perifer sering tidak menimbulkan gejala. Kurang dari 50% pasien PAP yang mengalami simptomnya. Gejala klinis yang sering muncul pada penyakit arteri perifer ialah klaudikasio intermiten, yang merupakan stadium II dari klasifikasi Fontaine.3,4 Gejala ini muncul bila lumen pembuluh darah mengalami obstruksi >50%. Pasien mengeluh merasa sakit di kaki apabila berjalan atau menaiki tangga tetapi gejalanya hilang apabila pasien istirahat. Klaudikasio intermiten membatasi kemampuan pasien untuk berjalan dan beraktivitas.Rasa sakit tidak terbatas hanya pada sensasi nyeri, tetapi juga bisa berupa langkah terasa berat, kesemutan, ketat dan lemah apabila kaki berjalan atau mendaki.12 Pada pasien yang mempunyai gejala, sering ditemukan nyeri pada tungkai. Sebagian kecil pasien PAP berkembang menjadinyeri tungkai walau saat beristirahat dan ulkus iskemik.13
Pengobatan yang ditujukan untuk penyakit ini ialah untuk  mengatasi gejala klaudikasio intermiten, yang meliputi revaskularisasi dan dengan pengobatan non invasif.5   
Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis pasien penyakit arteri perifer, salah satunya adalah ABI. ABI merupakan metode yang sederhana, murah, dan noninvasive untuk mendiagnosis penyakit ini selain itu ABI juga dapat memprediksikan resiko kardiovaskular.Pemeriksaan ini menggunakan Doppler USG untuk mengukur tekanan darah sistolik pada kaki dan lengan atas.Normalnya tekanan darah sistolik pada kaki sedikit lebih tinggi dibanding lengan atas.Pemeriksaan tekanan darah di kaki dapat dilakukan pada arteri dorsalis pedis dan arteri tibia posterior. Perbandingan antara arteri brakialis dengan arteri dorsalis pedis atau arteri tibia posterior normalnya >0.9 (tabel 2).

Tabel 2. Nilai Ankle Brachial Index (ABI)1

Keparahan penyakit
ABI
Istirahat
Latihan
Normal
>0.9
>0.9
Ringan
0.8-0.9
0.5-0.9
Sedang
0.5-0.79
0.15-0.49
Berat
<0.5
<0.15

Tabel 3: Kriteria diagnostik PAD berdasarkan pengukuran ABI13

Range                        Diagnosis
0.91-1.30             Normal
0.70-0.90             Obstruksi ringan
0.40-0.69             Obstruksi sedang
<0,4                     Obstruksi berat
> 1.30                  Gangguan  kompresi

Beberapa tahun ini, cacing tanah (Lumbricus rubellasfamili Lumbricidae) digunakan secara empiris di Indonesia, Cina, Jepang, dan daerah Asia Timur lainnya untuk mengobati beberapa penyakit.5 Tahun 1992, Mihara  menemukan bahwa cacing tanah  secara langsung dapat melarutkan fibrin dan mengaktifkan plasminogen.9
Lumbrius rubellus ditemukan dari Indonesia, cacing ini memiliki suatu enzim fibrinolitik yaitu lumbrokinase dan didalamnya telah berhasil diekstrak suatu protein yang dinamakan DLBS1033.11 Protein ini memiliki efek fibrinolitik, fibrinogenolitik, menurunkan viskositas darah, menurunkan agregasi trombosit, dan mencetuskan degradasi thrombus di dalam darah. DBS1033 merupakan agen fibrinolitik yang bekerja cepat dan panjang. Di mana pada suatu penelitian yang menggunakan fibrin plate,proses lisis yang terjadi pada fibrin plate mulai berlangsung dalam waktu 1 jam sejak inkubasi dan terus menunjukkan aktifitas fibrinolitiknya sampai 12 jam.11 Lumbrokinase diserap melalui epitel usus, sehingga dapat diberikan secara per oral. Saat ini, penggunaan lumbrokinase sebagai obat trombolitik oral sedang diteliti secara ekstensif, terutama pada penyakit-penyakit vaskular.9,10,11

Suatu pilot study mengenai efikasi lumbrokinase pada perfusi miokard pada penyakit arteri coroner dengan gejala angina stabil menyatakan bahwa pemberian lumbrokinase selama 30 hari berkaitan dengan penurunan keparahan iskemik miokard secara objektif. Dari 10 sampel, 6 diantaranya dilaporkan mengalami perbaikan dalam durasi dan frekuensi angina.Mekanisme lumbrokinase dalam perbaikan gejala ini belum diketahui dengan jelas.Lumbrokinase mungkin memberikan efek anti iskemik pada jalur yang diketahui berhubungan dengan agen fibrinolitik, seperti memodifikasi fungsi koagulasi, berefek langsung pada fungsi endotel atau mencetuskan angiogenesis. Efek antiinflamasi lumbrokinase juga diduga berpengaruh terhadap penurunan proses arterosklerosis dan ketidakstabilan plak.5

Daftar Pustaka

1.      Garcia, LA. Epidemiology and pathophysiology of lower extremity peripheral arterial disease. Journal of Endovascular Therapy 2006;13:113.
2.      Arain, FA, Cooper LT. Peripheral arterial disease: diagnosis and treatment. Mayo Clinic Proceedings 2008;83,8:944.
3.      Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and management peripheral arterial disease: a national clinical guideline. United Kingdom: NHS Quality Improvement Scotland:2006.
4.      Anonymous. Peripheral Arterial Disease. Updated: 05/02/2008. Diunduh dari url: http://www.ohiohealth.com/bodymayo.cfm?id=6&action=detail&ref=1341, diakses  pada November  2009.
5.      Gey DC, Emil P. Lesho EP,  Manngold J. Management of Peripheral Arterial Disease. Am Fam Physician 2004;69:525-32,533
6.      Hiatt WR. Pathophysiology of Intermittent Claudication in Peripheral Arterial Disease. Cardiology Rounds 2006:10(1). Diunduh dari http://www.cardiologyrounds.org/crus/cardus0106.pdf, diakses pada Agustus 2012.
7.      Belch J, MacCuish A, Campbell I, Cobbe S, Taylor R, Prescott R. The prevention of progression of arterial disease and diabetes (POPADAD) trial: factorial randomised placebo controlled trial of aspirin and antioxidants in patients with diabetes and asymptomatic peripheral arterial disease. BMJ 2008;337:a1840. Diunduh dari http://www.bmj.com/content/337/bmj.a1840.full, diakses pada Agustus 2012.
8.      Castaño G, Más R, Fernández L, Gámez R, Illnait J. Effects of policosanol and lovastatin in patients with intermittent claudication: a double-blind comparative pilot study. Angiology. 2003 Jan;54(1):25-38
9.      Trisina J, Sunardi F, Suhartono Mt, Tjandrawinata RR. DBLS1033, a protein extract from lumbricus rubellus, possesses antithrombotic and thrombolytic activities. Journal of Biomedicine and Biotechnology 2011.
10.  Kasim M, Kiat AA, Rohman MS, Hanifah Y, Kiat H. Improved myocardial perfusion in stable angina pectoris by oral lumbrokinase: a pilot study. The Journal of Alternative and Complementary Medicine 2009;15(5):539-44.
11.  Kurnia F, Tjandrawinata RR. Bioactive protein fraction DLBS1033 exerts its postitive pleiotropic effect in the vascular cells via down regulation of gene expression. Medicinus 2011;24(1):18.
12.  Criqui M.H. Peripheral arterial disease - epidemiological aspects. Vascular Medicine 2001; 6(1suppl):3-7. Diunduh dari url: http://vmj.sagepub.com/cgi/content/abstract/6/1_suppl/3, diakses pada November  2009.
13.  Mahameed A.A “Peripheral Arterial Disease”. Diunduh dari url:http://my.clevelandclinic.org/heart/default.aspx, diakses pada Nopember 2009
14.  Carmo GAL, Mandil A, Nascimento BR, Arantes BD, Bittencourt JC, Falqueto EB, et al. Can we measure the ankle-brachial index using only a stethoscope? a pilot study. Family Practice Advance Access 2008;22-6
15.  Lee YH, Shin MH, Kweon SS, Choi JS, Rhee JA, Ahn HR et al.Cumulative smoking exposure, duration ofsmoking cessation, and peripheral arterial diseasein middle-aged and older Korean men. BMC Public Health2011;11(94):1-7. Diunduh dari http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1471-2458-11-94.pdf. Diakses pada Agustus 2012.
16.  Meijer WT, Hoes AW, Rutgers D, Bots ML, Hofman A, Grobbee DE. Arteriosclerosis, thrombosis and vascular biology. American Hearth Association 2007;18:185-92.
17.   Kugler C, Rudofsky G. The Role of comorbidity burden for patients with symptomatic peripheral arterial disease (PAD). International Angiology 2003;22:290-301.
18.  Eason SL, Petersen NJ, Suarez-Almazor M, Davis B, Collins TC. Diabetes mellitus smooking, and the risk for asymptomatic peripheral arterial disease : Whom Should We Screen? JABFP. 2005;18:355-61.
19.  Asgeirsdottir LP, Agnarsson U, Jonsson GS. Lower extremity blood flow in healthy men : effect of smooking, Cholesterol and Physical activity-A Doppler Study Angiology 2001;52:437-45.
20.  Meijer WT, Hoes AW, Rutgers D, Bots ML, Hofman A, Grobbee DE. Arteriosclerosis, thrombosis and vascular biology. American Hearth Association. 2007;18:185-92.
21.  Teo KK. Risk Factor for peripheral arterial disease traditional and emerging, lifestyle modification and evidence for symptom relief. Canadian Cardiovascular Society Consensus Confrence Peripheral Arterial Disease. 2005.
22.  Li S, Huang P, Fu R, et al. Clinical studies of the treatment of 48 arteriosclerosis obliterans patients with baiao-lumbrokinase. Capital Medicine 1996
                                           

Artikel Penelitian FK Ukrida: "Anemia Pada Penyakit Kronik"


Tulisan ini disajikan sebagai bahan penuntun bagi mahasiswa pemula yang sedang mencoba membuat artikel penelitian deskriptif sederhana

Anemia Pada Penyakit Kronik
1Suzanna Ndraha 2Rizal Rinaldy, 2Hans Hernando, 2Mardi Santoso
1Departemen Penyakit Dalam RSUD Koja, Jakarta, Indonesia
2Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta, Indonesia

Abstrak
Latar belakang. Anemia merupakan salah satu penyulit dalam pengobatan penyakit kronik. Dalam terapinya harus diketahui penyebab dari anemia agar dapat diatasi dengan tepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penyakit kronik pada pasien rawat inap, proporsi dan profil dari anemia pada penyakit kronik.
Metoda. Semua pasien yang dirawat di ruang perawatan lantai VI dan IW di RSUD Koja sejak 9 November – 27 Desember 2010, didata. Kriteria inklusi adalah pasien dengan penyakit kronik apapun juga. Kriteria eksklusi adalah pasien tidak mampu berbahasa Indonesia, pasien tidak sadar, dan pasien yang menolak diambil darahnya. Dicatat umur, jenis kelamin, penyakit kronik yang diderita, IMT, kadar Hb, dan serum iron bila kadar Hb < 12 g/dL.
Hasil.  Didapatkan 55 pasien dengan penyakit kronik. Lima terbanyak yaitu gagal ginjal kronik, DM tipe 2, tuberkulosis(paru dan tulang), gagal jantung kongestif, dan sirosis hepatis. Dua puluh tujuh orang (49,1%) dengan kadar Hb dibawah normal. Dua puluh orang (74,1%) dengan kadar serum iron di bawah normal. Dari 20 subjek dengan nilai SI dibawah normal, 19 subjek (95%) dengan riwayat perdarahan dan 1 subjek (5%) tanpa riwayat perdarahan. Dari 7 subjek (25,9%) dengan SI normal, 6 (85,7%) dengan diagnosa gagal ginjal kronik dan 1 (14,3%) dengan diagnosa Tb paru.
Kesimpulan.  Proporsi anemia pada penyakit kronik sebanyak 27 subjek dari 55 subjek. Profil anemia adalah karena kekurangan besi akibat riwayat perdarahan kronik (95%). Pada anemia dengan SI normal 85,7% disebabkan oleh gagal ginjal kronik.
 Keywords. Penyakit kronik, anemia, serum iron

Abstract
Background. On chronic diseases treatment, anemia is considered as one of its co-morbid. In order to achieve better therapeutic result, we need to find out what is the cause of the anemia. Aim of this study was to find out the characteristic, proportion, and profile of anemia on hospitalized patient with chronic diseases.
Method. All patients hospitalized on 6th floor and Intermediate Ward in Koja Hospital during 9th November – 27th December was evaluated. Inclusion criterion are all patients with chronic diseases, without exception. Exclusion criterions are patients that cannot speak Indonesian language, unconscious, and not cooperative. Age, gender, chronic diseases, BMI, hemoglobin (Hb), and serum iron (only if Hb < 12g/dL) score were assessed.
Result. There were 55 patients with chronic diseases fit the criteria. The top 5 diagnosis were chronic kidney disease, type 2 diabetes, tuberculosis, (lung and bone), congestive heart failure, and liver cirrhosis. There was 27 (49.1%) cases that had Hb level under the normal limit, as well as  20 patients (74.1%) had serum iron (SI) level less than normal. Nineteen (95%) of them had history of bleeding. Then, from 7 patients with normal serum iron level, 6 (85.7%) were diagnosed as chronic kidney disease and 1 (14.3%) as lung tuberculosis.
Conclusion. The proportion of anemia on chronic diseases is 27 out of 55 subjects. Anemia with iron deficiency due to chronic bleeding history was in 95% case. On subjects with normal SI level, there are 85.7% anemia cases caused by chronic kidney disease.
Keywords. Chronic diseases, anemia, serum iron.

Anemia Pada Penyakit Kronik
Latar Belakang
            Penyakit kronik adalah penyakit yang menetap atau rekuren, biasanya diderita selama 3 bulan atau lebih. Penyakit kronik umumnya tidak bisa dihindari dengan vaksin atau disembuhkan dengan pengobatan ataupun hilang sendiri. Faktor resiko terbesar pada penyakit kronik adalah pola hidup yang tidak sehat, seperti kebiasaan merokok, kurang berolahraga, dan kebiasaan makan yang tidak sehat. Prevalensi penyakit kronik cenderung bertambah seiring dengan bertambahnya usia penderita.1
            Pada negara berkembang jenis-jenis penyakit kronik adalah penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, penyakit saluran napas kronik, penyakit ginjal dan tumor/neoplasma. Menurut penelitian WHO tahun 2002, penyakit kronik adalah penyebab kematian terbesar di Indonesia, mencapai 61% dengan jumlah sampel  986.000 subjek, dimulai dari yang terbanyak diderita, yaitu penyakit kardiovaskular (28%), penyakit kanker (12%), penyakit saluran napas kronik (7%), diabetes mellitus (3%), dan sisanya (11%) adalah penyakit kronik lain.2
            Yang dimaksud dengan anemia adalah suatu kondisi dari berkurangnya jumlah sel darah merah atau kuantitas dari hemoglobin dalam darah. Seperti kita ketahui, sel darah merah berguna untuk mengangkut oksigen serta nutrisi dan menghantarkannya ke seluruh sel-sel tubuh. Bila terjadi anemia, maka fungsi dari sel darah merah tersebut akan berkurang tergantung dari derajat anemia yang diderita.1,3
Gejala anemia secara umum dapat berupa pucat, lemas, mudah lelah, namun pada kasus anemia berat dapat timbul, nyeri dada, palpitasi, penurunan tekanan darah, sampai sesak nafas. Anemia penting karena gejala yang ditimbulkan olehnya beragam dan dapat mengancam nyawa. Pada penanganannya anemia perlu didiagnosa dengan tepat dan mendapatkan terapi yang baik, sesuai dengan penyebabnya.3,4,5
            Sampai saat ini, belum banyak penelitian yang mencakup prevalensi anemia pada pasien yang dirawat dengan penyakit kronik, baik dari data literatur luar negeri maupun di dalam negeri. Namun menurut kepustakaan sebagian besar penyebab dari anemia di seluruh dunia adalah anemia defisiensi besi, mencakup ± 50% dari seluruh penderita anemia.5
Karena itu tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui bagaimana proporsi dan profil anemia pada pasien yang dirawat dengan penyakit kronik di RSUD Koja selama 9 November – 27 Desember 2009.

Metoda
Semua pasien yang  dirawat di Ruang Rawat  Penyakit Dalam RSUD Koja selama 9 November – 27 Desember 2009 dievaluasi. Data diambil secara kros seksional. Kriteria inklusi: Semua pasien rawat inap dalam periode waktu 9 November 2009 s/d 27 Desember 2009 dengan penyakit kronik apapun juga. Kriteria eksklusi mencakup pasien yang tidak bisa berbahasa Indonesia, pasien yang tidak sadar, dan pasien yang menolak diambil darahnya. Data yang dikumpulkan adalah umur, jenis kelamin, penyakit kronik yang diderita, IMT, kadar Hb, dan kadar serum iron bila Hb< 12 g/dL. Data disajikan dalam n (%), semua data numerik yang terdistribusi normal disajikan dalam mean (SD) dan jika ada data yang terdistribusi tidak normal, data disajikan dalam median.

 Hasil
Didapatkan 55 pasien, 30 laki-laki, 25 perempuan. 27 (49,1%) kasus dengan Hb dibawah normal, Dari 27 kasus anemia didapatkan 20 (74,1%) dengan kadar serum iron dibawah normal (tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik dari pasien rawat inap dengan penyakit kronik (n= 55)
Karakteristik
N*
%
Jenis kelamin


-         Laki-laki
30
54,5
-         Perempuan
25
45,5
Usia


-         <40 tahun
14
25,5
-         40-60 tahun
25
45,5
-         >60 tahun
16
29,1
-         Rata-rata ( mean ±SD )
51,4
15,5
Penyakit kronik (5 terbanyak)


-         GGK
-         DM Tipe 2
-         Tuberkulosis
-         Gagal jantung kongestif
-         Sirosis hepatis
14
9
6
3
3
25,5
16,4
10,9
5,5
5,5
IMT


-         Kurang (< 18,5 kg/m2)
15
27,3
-         Normal (18,5 – 25 kg/m2)
34
61,8
-         Lebih (> 25 kg/m2)
6
10,9
-         Rata-rata ( mean ±SD )
20,6
3,2
Hb


-         Normal
28
50,9
-         Kurang
27
49,1
Serum Iron


-         Normal
7
25,9
-         Kurang
20
74,1
Data disajikan sebagai n(%) atau mean (SD)

Pada gambar 1 dapat dilihat hasil kadar Hb pada 55 pasien penyakit kronik rawat inap di RSUD Koja. Didapatkan 27(49,1%) pasien dengan Hb dibawah normal

Gambar 1. Proporsi anemia pada pasien rawat inap dengan penyakit kronik di RSUD Koja

Pada gambar 2 dapat dilihat penyakit  penyerta yang diduga menjadi penyebab anemia, seperti hematemesis melena, hematokesia, hemoptoe, minum jamu/OAINS, dan keluhan dispepsia pada 20 subjek penelitian dengan SI kurang. Kebiasaan minum jamu/OAINS dan keluhan dispepsia diduga berhubungan dengan perdarahan kronik tersamar saluran cerna yang kemudian menimbulkan defisiensi besi.4



Add caption
Gambar 2. Riwayat penyerta pasien penyakit kronik rawat inap dengan anemia dengan
SI dibawah normal

Sebagian besar subjek dengan anemia defisiensi besi (SI dibawah normal) mempunyai riwayat perdarahan atau dugaan perdarahan kronik tersamar saluran cerna. Gambar 3 menunjukkan bahwa dari 20 subjek dengan anemia defisiensi besi (SI dibawah normal), hanya 1 subjek yang tidak mempunyai riwayat perdarahan atau dugaan perdarahan kronik tersamar saluran cerna. Dari 19 subjek dengan anemia yang mempunyai SI dibawah normal hanya  2  orang yang mempunyai riwayat hemoptoe, namun keduanya juga mempunyai riwayat minum jamu/OAINS dan dengan keluhan dispepsia dan salah satu diantaranya memiliki riwayat hematokesia.


Gambar 3. Riwayat perdarahan pada anemia dengan SI dibawah normal
Dari 27 subjek dengan penyakit kronik disertai anemia, hanya 7 subjek yang mempunyai SI normal.  Dari 7 subjek tersebut, 6 subjek (85,7%) didiagnosa gagal ginjal kronik, dan hanya 1 subjek (14,3%) yang didiagnosa tb paru (Gambar 4).

Gambar 4. Jenis penyakit kronik pada pasien rawat inap anemia dengan SI normal 
Pembahasan
            Dari 55 kasus didapatkan penderita penyakit kronik yang terbanyak adalah laki-laki yaitu 30 orang (54,5%), sedangkan perempuan sebanyak 25 orang (45,5%) (tabel 1).
Lima penyakit kronik terbanyak yang ditemukan  adalah gagal ginjal kronik sebanyak 14 orang (25,5%), diabetes melitus tipe 2 sebanyak 9 orang (16,4%), tuberkulosis sebanyak 6 orang (10,9%), gagal jantung kongestif sebanyak 3 orang (5,5%), dan sirosis hepatis sebanyak 3 orang (5,5%). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian WHO 2 tahun 2002 dimana penyakit terbanyak adalah penyakit kardiovaskular sebanyak 271.040 subjek (28%), penyakit kanker sebanyak 116.160 subjek (12%), penyakit saluran napas kronik sebanyak 67.760 subjek (7%), diabetes mellitus sebanyak 29.040 subjek (3%), dan sisanya 106.480 subjek (11%) adalah penyakit kronik lain. Perbedaan ini antara lain disebabkan populasi pasien penderita penyakit kardiovaskular di RSUD Koja sebagian besar dirawat di perawatan jantung, bukan perawatan penyakit dalam, dimana survei ini dilakukan. Penyebab kedua adalah karena survei yang dilakukan ini hanya terbatas pada waktu  8 minggu, sehingga belum dapat menggambarkan seluruh pasien yang dirawat dalam setahun.
Pada pemeriksaan kadar hemoglobin (gambar 1) diperoleh hasil pasien dengan kadar hemoglobin normal sebanyak 28 subjek (50,9%), sedangkan dengan kadar hemoglobin dibawah normal sebanyak 27 subjek (49,1%). Dari hasil ini berarti hampir separuh dari pasien dengan penyakit kronik menderita anemia. Sedangkan hasil kadar serum iron pada pasien penyakit kronik dengan anemia (tabel karakteristik 1) didapatkan 7 subjek dengan SI normal (25,9%) dan SI kurang sebanyak 20 subjek (74,1%). Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa secara umum sebagian besar anemia (± 50%) di seluruh dunia disebabkan oleh kekurangan besi5 dan juga disebutkan anemia defisiensi besi paling sering dijumpai pada negara tropik4.
Pada gambar 2 diperoleh data dari 20 subjek dengan SI kurang yang menunjukkan 6 subjek diantaranya disertai dengan hematemesis melena, 6 subjek disertai hematokesia, 2 subjek disertai hemoptoe, 18 subjek dengan riwayat minum jamu/OAINS, dan 13 subjek dengan keluhan dispepsia. Hanya 2 orang yang menderita perdarahan hemoptoe (non saluran cerna), namun kedua subjek ini juga mempunyai dugaan perdarahan kronik saluran cerna karena ada riwayat minum jamu/OAINS dan juga mempunyai keluhan dispepsia. Hal ini sesuai dengan kepustakaan tentang etiologi dari perdarahan kronik yang sebagian besar berasal dari perdarahan gastrointestinal4.
Dari gambar 3 didapatkan bahwa dari 20 subjek dengan SI kurang, 19 subjek (95%) mempunyai riwayat perdarahan lain dan 1 subjek (5%) tanpa riwayat perdarahan lain. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan kehilangan besi pada pasien dewasa hampir identik dengan perdarahan menahun atau kronik dengan berbagai penyebab termasuk riwayat pemakaian OAINS4.
Pada gambar 4 diperoleh hasil bahwa 7 subjek yang menderita anemia dengan kadar serum iron normal, 6 subjek (85,7%) diantaranya didiagnosa menderita gagal ginjal kronik. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa pada anemia yang disebabkan oleh penyakit renal hasil serum iron-nya adalah normal5.

Kesimpulan
            Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa 5 penyakit kronik terbanyak pada pasien rawat inap di RSUD Koja adalah gagal ginjal kronik, DM tipe 2, tuberkulosis (paru dan tulang), gagal jantung kongestif, dan sirosis hepatis.
Proporsi penyakit kronik dengan anemia adalah sebanyak 27 subjek (49,1%). Sebagian besar pasien anemia (20 subjek, 74,1 %) mempunyai nilai serum iron dibawah normal. 
Profil dari anemia pada pasien rawat inap dengan penyakit kronik adalah karena kekurangan besi yang disertai riwayat perdarahan/dugaan perdarahan kronik (95%) dan hanya 1 subjek (5%) yang diperkirakan kekurangan besi sebagai penyebab tunggal anemianya. Sedangkan pada 7 pasien anemia dengan nilai serum iron normal, 6 diantaranya didiagnosa gagal ginjal kronik dan diduga penyebab anemianya adalah defisiensi erithropoetin. Penyebab anemia lainnya tidak dapat diperiksa lebih lanjut oleh karena keterbatasan waktu dan finansial.

Saran
            Diharapkan bagi penelitian selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan lainnya untuk mengetahui penyebab anemia, seperti TIBC, serum ferritin, morfologi darah tepi, hitung retikulosit, dsb sehingga hasil penelitian dapat lebih spesifik dan akan lebih baik hasilnya di masa mendatang.

Kepustakaan
1.    Definition of Chronic disease. MedicineNet Publishing [article online] 2004 [cited 2009 Des 28]. Available from: URL: http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=33490.
2     The Impact of Chronic Disease in Indonesia. World Health Organization:2002 [cited 2009 Des 28]. Available from: URL: http://www.who.int/chp/chronic_disease_report/en/.
3     Conrad ME. Anemia overview. Medscape Emedicine [article online] 2009 Des [cited 2009 Des 28] Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/198475-overview.
4     Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG, Soenarto, Parjono E, Sudoyo AW. Anemia. Dalam:  Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I, Simadibrata M, setiati S. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid ke II. Edisi keempat. Jakarta:penerbit FKUI;2006. hlm. 622-653.
5     Hillman RS. Hematopoietic Disorders. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th edition. McGraw-Hill;2008. p. 628-671.


Tulisan ini telah dipublikasi di majalah 
jurnal Kedokteran MEDITEK, volume 16, no 42A, Januari-April 2010.
Diterbitkan oleh 
Unit Penelitian, Publikasi dan Pelatihan Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta
ISSN: 0854-2988