Friday, October 27, 2017

Ringkasan Minggu ke-7 IPD KOJA

Disampaikan oleh:
dr. Suzanna Ndraha, Sp.PD, KGEH, FINASIM


Diringkas oleh:
Citra Tanti


Apa Itu Graves' Disease?
Graves’ disease merupakan kelainan sistem imun yang menyebabkan adanya produksi hormon tiroid yang  berlebihan. Ini disebabkan adanya antibodi yang bekerja seperti TSH sehingga produksi T3 dan T4 meningkat dari kebutuhan yang diperlukan oleh tubuh. Grave’s disease sebagian besar dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti gen, jenis kelamin, stress, kehamilan, serta adanya kemungkinan infeksi.
Hormon tiroid memiliki peranan yang vital dalam mengatur metabolisme tubuh. Peningkatan kadar hormon tiroid dalam darah memacu peningkatan kecepatan metabolisme di seluruh tubuh. Salah satu gejala yang umum ditemui pada penderita hipertiroid adalah intoleransi panas dan berkeringat berlebihan karena peningkatan kadar tiroid memacu peningkatan basal metabolic rate. Selain itu hipertiroidisme juga mempengaruhi sistem kardiorespiratori menyebabkan kondisi palpitasi, takikardi dan dyspnea umum ditemukan pada pasien hipertiroidisme
Akibat stimulasi sistem saraf adrenergik berlebihan, muncul gejala-gejala psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan, mudah tersinggung dan insomnia. Peningkatan kecepatan metabolisme menyebabkan pasien hipertiroidisme cepat merasa lapar dan nafsu makan bertambah, namun demikian terjadi penurunan berat badan secara signifikan dan peningkatan frekuensi defekasi. Pada pasien Graves’ disease, gejala klinis juga dapat berupa inflamasi dan edema di otot mata (Graves’ ophtalmopathy) dan gangguan kulit lokal (myxedema).
            Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves’ disease perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dapat kita temukan adalah
·         Adanya struma melalui inspeksi/palpasi
·         Tekanan darah yang meningkat
·         Kulit menjadi hangat
·         Gejala pada mata yaitu exoftalmus
·         Tremor perifer
Setelah melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis Graves’ disease yaitu pemeriksaan laboratorium seperti TSH serum, kadar hormon tiroid (T3 dan T4) total dan bebas. Pada pasien Graves’ disease, kadar TSH ditemukan rendah disertai peningkatan kadar hormon tiroid. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan yaitu melalui elektrokardiogram (EKG) yang akan menunjukkan hasil adanya gambaran atrial fibrilasi dan melalui USG untuk mengonfirmasi nodul ke arah ganas atau jinak.
            Rencana terapi yang dianjurkan untuk graves’ disease adalah pemberian obat anti tiroid yang bekerja dengan menghambat sintesis hormon tiroid sebagai immunosupresan. Obat anti tiroid yang dapat diberikan yaitu  PTU dengan dosis 3x 100 mg atau tirozol dengan dosis 2x10 mg pada kasus ringan. Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves’ disease perlu mendapatkan terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan untuk mengatasi keluhan seperti tremor, takikardia dan rasa cemas berlebihan. Golongan beta-blocker yng dapat diberikan yaitu propranolol dengan dosis 1x10 mg.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali dalam sebulan untuk menilai perkembangan klinis yang berfungsi untuk  menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid. Setelahitu, evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 dan kadar TSH, sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, dan mata.

Saturday, October 21, 2017

Ringakasan Minggu ke 5 IPD KOJA


Disampaikan oleh :
dr. Suzanna Ndraha, Sp.PD, KGEH, FINASIM


Diringkas oleh :
Claudia Lintang Septaviori



Apa itu pemeriksaan Echocardiography ?
Jantung merupakan organ tubuh manusia yang paling vital, kesehatan jantung seharusnya menjadi prioritas utama bagi setiap manusia.  Salah satu pemeriksaan radiologi untuk  mendeteksi gangguan jantung adalah alat echocardiography.
Echocardiography merupakan pemeriksaan jantung dengan menggunakan ultrasound (gelombang suara) frekuensi 2-6 MHz. Nama lain echocardiography adalah USG Jantung dan test gema. Echocardiography adalah suatu alat yang mengambil gambar dari hati atau jantung dengan menggunakan gelombang suara. Echocardiography ( ultrasound pengujian untuk hati atau jantung) mengijinkan suatu ahli jantung untuk menguji struktur , fungsi, dan aliran darah dari hati atau jantung tanpa penggunaan dari sinar-x. Echocardiography dilakukan dengan  penggunaan suatu tongkat plastik yang lembut (suatu echo-transducer) untuk memancarkan gelombang suara ke dada atau abdomen. Gelombang suara lewat dengan aman sampai badan dan gema yang dihasilkan akan  ditafsirkan oleh suatu sistem yang terkomputerisasi.
Indikasi penggunaan echocardiography adalah untuk melihat fungsi ventrikel, kelainan jantung kongenital, penyakit jantung katup, kardiomiopati, efusi perikardial, adanya massa (tumor) dan penyakit aorta proksimal. Karena echocardiography dapat menghasilkan gambar atau frame dengan inherensi (jumlah potongan) yang tinggi, maka echocardiography dapat digunakan untuk melihat pergerakan struktur pada jantung. Echocardiography dengan kombinasi Doppler digunakan untuk melihat fungsi ruang-ruang jantung, katup jantung dan adanya pintas-pintas (shunt, seperti ASD atau VSD) dalam jantung.
Data-data yang diketahui dari pemeriksaan Echocardiography mempunyai nilai yang dapat memprediksi kondisi jantung. Hasil data echocardiography yang perlu diperhatikan adalah EF (Ejection Flexion) karena hasil EF yang menunjukkan fungsi jantung . Apabila pada pemeriksaan menunjukkan nilai EF yang mengalami penurunan dari nilai normal, dapat diartikan bahwa sudah terjadi decompcordis yang berarti sudah terjadi penurunan fungsi jantung. Pada pemeriksaan echocardiography dapat juga menilai katup jantung sebagai tolak ukur kita dalam menilai anatomi jantung. Pada hasil tersebut dapat dinyatakan apakah pada katup jantung tersebut terjadi stenosis ataupun regurgitasi.
Lalu kapan seorang pasien membutuhkan pemeriksaan Echocardiography? Kita membutuhkan tes ini jika pasien dicurigai mengalami gangguan fungsi pompa jantung atau anatomi jantung (katup jantung) berdasarkan keluhan pasien, seperti; sesak nafas, berdebar atau nyeri dada, dan berdasarkan pemeriksaan fisik oleh dokter didapat adanya kelainan jantungdan bising jantung.
Pemeriksaan Echocardiography sangat penting dilakukan pada kelainan jantung bawaan pada bayi sampai dengan remaja untuk mencari kelainan anatomi jantung tersebut karena hampir tidak beresiko dan biaya yang relatif terjangkau.

Catatan Kecil Mengenai Osteoarthritis
Osteoarthritis (OA) adalah peradangan sendi yang bersifat kronis dan progresif disertai kerusakan tulang rawan sendi berupa disintegrasi (pecah) dan perlunakan progresif permukaan sendi dengan pertumbuhan tulang rawan sendi (osteofit) di tepi tulang. Kartilago hyalin (jaringan tulang rawan) adalah jaringan elastis yang berfungsi sebagai bantalan dimana tulang bertemu dan bergerak. Bantalan ini juga bermanfaat sebagai pelumas. Dengan adanya bantalan tersebut, maka tidak akan terasa sakit saat menggerakkan persendian. Apabila kerusakan kartilago hyalin berlangsung lebih cepat daripada kemampuannya untuk memperbaiki dirinya sendiri, maka terjadi penipisan tulang rawan dan kehilangan pelumas sehingga kedua tulang akan bersentuhan. Inilah yang menyebabkan rasa sakit pada sendi. Setelah terjadi kerusakan tulang rawan, sendi dan tulangnya juga ikut berubah. Pada permukaan sendi yang sudah aus, terjadilah pengapuran, yaitu tumbuhnya tulang baru yang merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk menjadikan sendi kembali stabil. Tapi ini justru membuat sendi menjadi kaku.
Osteoarthritis paling banyak mengenai sendi yang sering digunakan sebagai penopang berat badan seperti sendi lutu, sendi tulang belakang, dan sendi panggul. Selain itu juga dapat mengenai sendi tangan, ataupun kaki. Selain itu, tulang bisa mengalami perubahan bentuk atau deformity.
Gejala osteoarthritis yang sering dikeluhkan adalah persendian yang terasa nyeri. Selain itu gejala lainnya adalah kesulitan menggunakan persendian, terdapat bunyi pada saat persendian digerakkan (krepitasi), dan perubahan bentuk tulang.
Osteoartritis (OA) lebih dari sekedar penyakit degeneratif pada persendian, faktor biomekanik juga sangat berperan pada onset dan progresivitas penyakit. Rasa nyeri yang dialami oleh pasien OA lutut kebanyakan disebabkan oleh pergerakan atau pembebanan pada sendi. Karena itu penanganan OA harus memperhatikan faktor biomekanik, dan intervensi nonfarmakologis juga harus dilakukan.
The American College of Rheumatology merekomendasikan acetaminophen sebagai terapi obat lini pertama untuk manajemen nyeri dalam OA karena relatif aman, efektif, dan lebih murah dibandingkan dengan NSAIDs. Acetaminophen termasuk golongan obat analgesik yang digunakan untuk meringankan nyeri dan mengurangi demam. Acetaminophen menghambat sintesis prostaglandin pada sistem saraf pusat (SSP). Acetaminophen diindikasikan pada pasien yang mengalami nyeri ringan ke sedang. Setiap obat memiliki efek samping, meskipun acetaminophen adalah salah satu analgesik yang paling aman, penggunaannya membawa beberapa risiko, terutama hepatotoksisitas dan toksisitas tehadap ginjal pada penggunaan jangka panjang. Acetaminophen harus digunakan hati-hati pada pasien dengan penyakit hati atau pada mereka yang menyalahgunakan alkohol. Gagal hati akut telah dilaporkan pada pasien yang memakai kurang dari 4 g/hari. Faktor risiko yang paling umum untuk kegagalan hati pada pasien ini adalah asupan alkohol kronis. FDA telah merekomendasikan bahwa pengguna alkohol kronis (tiga atau lebih minuman sehari-hari) harus diperingatkan mengenai peningkatan risiko kerusakan hati atau perdarahan GI dengan acetaminophen.
Dosis yang direkomendasikan adalah 325 atau 500 mg setiap 3 atau 4 jam, 650 mg setiap 4-6 jam, ataupun 1000 mg setiap 6 jam atau bila diperlukan. Dosis total sehari tidak boleh >4000 mg.
Apakah penanganan osteoarthritis hanya dengan obat?
Tentu saja tidak, penanganan OA dapat melalui therapy. Salah satunya adalah Ultra sound therapy, ultra sound therapy merupakan terapi dengan mempergunakan gelombang suara dengan frekuensi antara 500.000 sampai 3.000.000 siklus/detik. Ultra sound dihasilkan oleh getaran dari kristal tertentu. Pada stadium awal \plikasi ultra sound dilakukan selama 3 sampai dengan 4 menit sedangkan pada stadium lanjut dilakukan selama 6 sampai dengan 8 menit. Terapi ini cocok digunakan pada peradangan sendi siku {tennis elbow), nyeri plantar (plantar fascitis), pemendekan otot dan ligamentum, peradangan tendon, sprain ligamentum, dan luka menahun. Manfaat terapi ini adalah untuk menghilangkan nyeri dan mempercepat penyembuhan luka. Kontraindikasi terapi ini adalah terapi pada daerah sekitar mata, telinga, ovarium, testis dan uterus wanita hamil dan area dengan vaskularisasi minimal (misalnya daerah perifer pada stadium lanjut diabetes) dan kanker. Hal yang perlu diperhatikan pada terapi ini adalah kemungkinan terjadinya luka bakar dan cavitation ( kerusakan pada tulang). Selain itu juga dapat melalui Microwave diathermy. Microwave diathermy merupakan terapi dengan mempergunakan panjang gelombang antara gelombang infra merah dan short wave diathermic waves. Panas yang diperoleh dari gelombang ini dapat digunakan untuk mengurangi nyeri. Gelombang diathermy diperoleh dengan memanaskan alat yang bernama magnetron. Output di transmisikan ke saluran kecil dan gelombang mikro dikeluarkan dengan frekuensi 2.450 siklus/detik dengan panjang gelombang 12,25 cm. Terapi ini cocok diterapkan pada nyeri, infeksi bakteri, dan abses. Manfaat terapi ini adalah untuk meningkatkan sistem pertahanan tubuh dan membantu relaksasi.

Sunday, October 15, 2017

Ringkasan Koass IPD Minggu ke 3

11 September 2017 - 16 September 2017

Disampaikan oleh : 
dr. Suzanna Ndraha, Sp.PD, KGEH, FINASIM

Diringkas oleh :
Cinthyawati Tunggal Manuain

Spasmofilia ?
Tubuh manusia dapat diumpamakan seperti sebuah jaringan listrik dimana terdapat beberapa pembangkit lokal seperti otak dan jantung, serta rumah pelanggan yaitu sel-sel otot. Listrik dialirkan dari pembangkit ke rumah pelanggan melalui ion-ion yang disebut sebagai elektrolit. Terdapat dua tipe elektrolit di dalam tubuh, yaitu kation (elektrolit yang bermuatan positif) dan anion (elektrolit yang bermuatan negatif). Beberapa contoh kation adalah Natrium (Na+), Kalium (K+), Kalsium (Ca2+) sedangkan anion adalah Klorida (Cl-), HCO3-. Kali ini akan membahas tentang kalsium.
Kalsium mempunyai peran penting didalam tubuh, yaitu dalam pembentukan tulang dan gigi; dalam pengaturan fungsi sel pada cairan ekstraselular dan intraselular, seperti untuk transmisi saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, dan menjaga permebilitas membran sel. Selain itu, kalsium juga mengatur pekerjaan hormon-hormon dan faktor pertumbuhan. Salah satu akibat kekurangan kadar kalsium dalam darah (hipokalsemia) adalah terjadinya spasmofilia karena pada hipokalsemia, sistem saraf pusat dan perifer menjadi iritabel dengan kejang dan respek terhadap tetani. Spasmofilia adalah suatu tetani laten yang disebabkan hiperiritabilitas atau hipereksitabilitas saraf yang bermanifestasi sebagai kejang otot dan berbagai gejala neuroastenia berupa nyeri kepala, gelisah, gangguan gastrointestinal, sinkope sampai kejang tonik. Kontraksi tonik pada otot-otot distal lengan dan otot-otot interosea menyebabkan gambaran spasme karpopedal dimana jari-jari dalam keadaan fleksi pada persendian metakarpofalangeal dan ekstensi pada sendi interphalang, jari-jari dalam keadaan adduksi serta ibu jari dalam keadaan adduksi dan ekstensi sedangkan pada kaki dijumpai plantarfleksi di pergelangan kaki dan adduksi jari-jari kaki.
Contoh pasien spasmofilia yang dijumpai

Diabetes Melitus dan Ginjal
Nefropati Diabetika adalah penyakit ginjal akibat penyakit DM yang merupakan penyebab utama gagal ginjal dimana terjadi kerusakan pada filter ginjal atau glomerulus. Oleh karena terjadi kerusakan glomerulus maka sejumlah protein darah diekskresikan ke dalam urin secara abnormal. Protein utama yang diekskresikan adalah albumin, karena itu manifestasi klinis awal dari nefropati diabetik adalah mikroalbuminuria.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada gagal ginjal terjadi kerusakan filter ginjal yang menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). LFG adalah laju rata-rata penyaringan darah yang terjadi di glomerulus yaitu sekitar 25% dari total curah jantung per menit,± 1,300 ml . LFG digunakan sebagai salah satu indikator menilai fungsi ginjal. Ketika DM sudah berkomplikasi ke ginjal, akan terjadi penurunan LFG sehingga insulin endogen tidak semuanya diekskresi, hal ini menyebabkan kadar gula menjadi normal bahkan dapat terjadi hipglikemia.
Sebagai kelanjutan pembahasan mengenai gagal ginjal, kita mengenal istilah hemodialisis. Hemodialisis merupakan tindakan menyaring dan mengeliminasi sisa metabolisme dengan bantuan alat. Fungsinya untuk mengganti fungsi ginjal dan merupakan terapi utama selain transplantasi ginjal dan peritoneal dialisis pada orang-orang dengan penyakit ginjal kronik. Indikasi hemodialisis adalah semua pasien dengan GFR < 15mL/menit. Tujuan utama hemodialisis adalah menghilangkan gejala yaitu mengendalikan uremia, kelebihan cairan, dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien Penyakit Ginjal Kronik dengan End Stage Renal Disease.
Dalam pelaksanaan hemodialisis diperlukan suatu vascular access, yaitu akses untuk memudahkan mengeluarkan darah dari pembuluhnya untuk proses hemodialisis. Terdapat 2 tipe tusukan vaskuler yaitu tusukan vaskuler sementara dan permanen. Akses vaskuler permanen atau lebih dikenal dengan cimino berbentuk internal arteriovenous (AV) shunt, yang dibuat di pergelangan tangan yaitu fistula antara arteri radialis dan vena sefalika. Perabaan pada daerah pemasangan cimino akan didapatkan thrill dan auskultasi akan terdengar bruit. Sementara pada akses vaskuler sementara, dilakukan pada vena jugular interna dengan menggunakan silastic twin catheter atau double lumen catheter (CDL) dimana teknik ini dapat digunakan beberapa minggu hingga akses vaskular permanen siap untuk digunakan.

Catatan penting lainnya :
 Mekanisme kerja metformin adalah dengan membatasi produksi glukosa di hati dan meningkatkan sensitivitas insulin di hati dan jaringan periferal (otot).
 Glibenclamide adalah OHO termasuk ke dalam golongan sulfonilurea, bekerja menurunkan kadar gula darah dengan cara meningkatkan kalsium intraseluler dalam sel beta pankreas sehingga menstimulasi produksi insulin. Dengan peningkatan rasio insulin, maka glukosa yang diubah menjadi energi bertambah sehingga kadar gula darah menurun. Namun efek samping yang perlu diperhatikan adalah resiko terjadinya hipoglikemia (kadar gula darah yang terlalu rendah), terutama jika digunakan untuk jangka waktu lama dan dengan dosis yang lebih tinggi.
 Neutrofil merupakan salah satu jenis dari sel darah putih yang ada dalam tubuh. Neutrofil memiliki peranan dalam memakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh, termasuk juga kuman. Neutrofi granulosit dapat diperiksa dengan menggunakan alat pemeriksaan darah untuk menghitung jenis sel darah putih. Penyebab dari kenaikan neutrofil adalah faktor infeksi tubuh yang sedang terjadi. Biasanya infeksi bersifat akut yang artinya bahwa infeksi tersebut baru dan sedang terjadi pada tubuh pasien itu. Kenaikan pada hasil darah menandakan bahwa tubuh yaitu sel darah putih sedang melawan infeksi yang menyerang tubuh dan terus memakan produksi kuman dan juga benda-benda asing yang ada dalam tubuh, seperti kuman bakteri itu sendiri.
 Tuberkulosis (TB) paru dan Diabetes Melitus (DM) merupakan dua masalah kesehatan yang cukup besar secara epidemiologi dan berdampak besar karena merupakan penyakit kronik dan saling berkaitan. Peningkatan prevalensi DM diikuti dengan peningkatan prevalensi TB paru. Penderita DM mempunyai risiko 2 hingga 3 kali lebih tinggi untuk mengidap penyakit TB paru. Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang berkaitan dengan gangguan fungsi imunitas tubuh, sehingga penderita lebih rentan terserang infeksi, termasuk TB paru. Penyebab infeksi TB paru pada penderita DM adalah karena defek fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan tubuh, termasuk gangguan fungsi dari epitel pernapasan serta motilitas silia. Paru pada penderita DM akan mengalami perubahan patologis, seperti penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat sekunder dari komplikasi mikroangiopati sama seperti yang terjadi pada retinopati dan nefropati. Tuberkulosis yang aktif juga dapat memperburuk kadar gula darah dan meningkatkan risiko sepsis pada penderita diabetes. Demam, kuman TB paru aktif, dan malnutrisi menstimulasi hormon stres seperti epinefrin, glukagon, kortisol, dan hormon pertumbuhan, yang secara sinergis bekerja meningkatkan kadar gula dalam darah hingga lebih dari 200 mg/dL. Kadar IL-1 dan TNF plasma juga meningkat dan menstimulasi hormon anti-insulin, sehingga memperburuk keadaan infeksinya.

Friday, October 6, 2017

Minggu Pertama IPD 20

Bagaimana penatalaksanaan yang tepat untuk mengatasi rasa nyeri pada penderita diabetes melitus dengan komplikasi Neuropati perifer?

Neuropati adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan atau hilangnya fungsi serat saraf secara progresif. Definisi neuropati perifer diabetes secara luas adalah adanya gejala dan atau tanda-tanda disfungsi saraf perifer pada penderita diabetes setelah mengesampingkan penyebab (penyakit) lainnya.1

Pada neuropati diabetes rasa nyeri yang ditimbulkan bukan sekedar merupakan nyeri somatik (somatic pain) akibat kerusakan jaringan, akan tetapi juga nyeri neurotik (neurotic pain) yang disebabkan oleh terjadi proses abnormal pada neuron berupa hipereksitasi neuron (presynaptic) sehingga menimbulkan produksi neurotransmitter yang berlebihan. Selain itu juga terjadi kehilangan fungsi inhibisi pada saraf oleh gangguan metabolisme pada penderita diabetes. Perasaan nyeri pada nyeri neurotik bisa muncul secara spontan ataupun setelah ada rangsangan, meski inadekuat. Sensasi yang dirasakan dapat bermacam macam seperti rasa terbakar, tertusuk, dan dapat pula berupa rasa baal, kesemutan.2

Karena nyeri pada neuropati diabetes adalah nyeri somatik dan neurotik, obat anti nyeri yang digunakan tidak cukup hanya obat anti nyeri biasa yang digunakan untuk mengurangi rasa nyeri akibat penyakit lain. American Academy of Neurology (AAN), American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation (AANEM) tahun 2011 dan American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation (AAPMR) dalam pedoman untuk pengobatan Painful Diabetic Neuropathy (PDN) merekomendasikan pregabalin untuk pengobatan nyeri neuropatik diabetik. Mekanisme kerja dari obat ini adalah dengan menekan produksi dari neurotransmitter dengan cara modulasi Ca channel dari neuron sehingga pada tahap selanjutnya akan mengurangi produksi neurotransmitter yang menyebabkan rasa nyeri akibat hipereksitasi neuron. Selain itu, sejumlah obat, termasuk gabapentin dan antidepresan trisiklik, juga disarankan sebagai pilihan pengobatan lini pertama untuk nyeri neuropatik.3

Penggunaan antidepresan seperti amitriptilin, venlafaxin, dan duloxetine untuk pengobatan PDN didasarkan pada fakta bahwa permasalahan lain yang hampir selalu menyertai nyeri pada neuropathic pain adalah gangguan tidur dan gangguan kejiwaan berupa anxiety dan depresi yang secara keseluruhan menurunkan kualitas hidup pasien. Belum ada data pasti yang menunjukkan efikasi dari ketiga obat tersebut akan tetapi berdasarkan studi meta analisis oleh Chou dkk, ditemukan bahwa baik gabapentin maupun antidepresan trisiklik menimbulkan efek yang sama dalam menghilangkan rasa sakit neuropati diabetes ataupun neuralgia postherpetik.4
Pada kasus kasus yang lanjut dimana kebanyakan sel serabut saraf telah mengalami  disintegrasi, respons terhadap pengobatan semakin kurang. Oleh sebab itulah, selain berbagai macam obat yang digunakan untuk mengurangi rasa nyeri diatas, kontrol glikemik yang ketat merupakan terapi yang paling penting untuk memperlambat perkembangan neuropati karena peningkatan gula darah yang sangat tinggi merupakan penyebab dari stres metabolik yang sedang berlangsung.  Selain itu, pada kasus kasus yang lanjut, dimana kebanyakan sel serabut saraf telah mengalami  disintegrasi, respons terhadap pengobatan semakin kurang. 5

1. Juster-Switlyk K, Smith AG. Updates in diabetic peripheral neuropathy. F1000Res. 2016. 5. Diakses dari: http://reference.medscape.com/medline/abstract/27158461, 29 Septemebr 2017.
2. Pourmand R. Diabetic neuropathy. Neurol Clin. 1997 Aug. 15(3):569-76.
3. Dworkin RH, O'Connor AB, Backonja M, Farrar JT, Finnerup NB, Jensen TS, Kalso EA, Loeser JD, Miaskowski C, Nurmikko TJ, Portenoy RK, Rice AS, Stacey BR, Treede RD, Turk DC, Wallace MS Pain. 2007 Dec 5; 132(3):237-51.
4. Chou R, Carson S, Chan BK. Gabapentin versus tricyclic antidepressants for diabetic neuropathy and post-herpetic neuralgia: discrepancies between direct and indirect meta-analyses of randomized controlled trials. J Gen Intern Med. 2009 Feb. 24(2):178-88. 
5. Skyler JS. Diabetic complications. The importance of glucose control. Endocrinol Metab Clin North Am. 1996 Jun. 25(2):243-54.

Kapan pasien Infeksi Saluran Kemih harus di rawat inap?

Infeksi saluran kemih atau ISK merupakan istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin. Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria) menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari sama dengan 105 colony forming units pada biakan urin.1

ISK terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan sejauh mana infeksi banteri mengenai keterlibatan traktus urinarius, yaitu ISK atas dan bawah yang dibatasi oleh valvula uretovesika. ISK Bawah pada perempuan adalah sistitis dan Sindrom Uretra Akut (SUA) sedangkan pada laki-laki adalah sistitis, prostatitis, epididymitis, dan uretitis.  Tidak semua ISK menunjukan presentasi klinis (asimtomatik) terutama pada ISK bawah yang lebih sering dialami oleh perempuan.1

Pada ISK atas, penyebab utamanya adalah infeksi bakteri yang terjadi secara ascending dan tidak jarang merupakan komplikasi dari ISK bawah. ISK atas atau yang secara spesifik disebut pielonefritis dapat terjadi secara akut dan kronik. Pielonefritis akut diakibatkan oleh invasi bakteri pada parenkim ginjal. Selain karena infeksi secara ascending, bakteri juga bisa mencapai ginjal melalui aliran darah. 

Kuman-kuman yang sering adalah Escheria coli,Proteus, Klebsiella spp, dan kokus gram positif.1
Presentasi klasik pada pasien dengan pielonefritis akut adalah demam tinggi, nyeri perut hingga pinggang (sudut costovertebral), mual dan atau muntah bahkan anoreksia. Selain itu, penderita juga dapat mengalami disuria, hematuria, dan urgensi. Oleh sebab itu, banyak pasien dengan pielonefritis akut yang memerlukan penanganan secara cepat. Presentasi klinis tersebut lebih sering dialami oleh orang dewasa dan jarang dialami oleh anak-anak, terutama pada anak usia 2 tahun atau lebih muda.2

Pielonefritis kronis ditandai dengan adanya peradangan ginjal dan terbentuknya fibrosis yang disebabkan oleh infeksi ginjal berulang atau persisten, refluks vesikoureteral, atau penyebab penyumbatan saluran kemih lainnya. Pada pielonefritis kronik, manifestasi klinis tidak muncul dengan jelas seperti pada keadaan akut, dan terjadi pada pasien dengan anomali anatomi mayor, paling sering pada anak kecil terutama yang berusia dibawah 2 tahun, dengan vesicourethral reflux (VUR).3

Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan adalah hematologi lengkap dan analisa urin. Secara khusus, adanya nitrit dan sel darah putih pada strip tes urin pada pasien dengan gejala khas cukup untuk diagnosis pielonefritis, dan merupakan indikasi untuk pengobatan empiris. Kultur mikrobiologi urin dan uji sensitivitas antibiotik, dengan atau tanpa kultur mikrobiologi darah harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan menentukan antibiotik yang paling tepat sebagai terapi. Selain pemeriksaan lab, pemeriksaan imaging berupa CT scan dan USG juga dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dan membantu menegakkan diagnosis.4

Pada pasien pielonefritis akut yang disertai demam tinggi dan leukositosis biasanya dirawat di rumah sakit untuk diberikan hidrasi intravena dan perawatan antibiotik intravena. Pengobatan biasanya dimulai dengan fluoroquinolone intravena, aminoglikosida, penisilin spektrum luas, sefalosporin, atau karbapenem. Kombinasi terapi antibiotik sering dilakukan. Regimen pengobatan dipilih berdasarkan data resistensi lokal dan profil kerentanan organisme perusak spesifik.5

Karena kebanyakan kasus pielonefritis disebabkan oleh infeksi bakteri, antibiotik merupakan pengobatan utama. Pilihan antibiotik tergantung pada profil spesies bakteri dan profil sensitivitas antibiotik. Beberapa golongan yang sering digunakan untuk mengeradikasi bakteri penyebab pielonefritis adalah florokuinolon, sefalosporin, aminoglikosida, atau trimetoprim / sulfametoksazol, baik tunggal atau kombinasi. Untuk ISK bawah, dan pielonefritis kronik tampa komplikasi, terapi yang digunakan adalah antibiotik oral sehingga pasien tidak perlu dirawat dirumah sakit.5

1. Tanagho, Emil A. Smith's General Urology. Mc Graw Hill Medical. 2008. 
2. Cabellon, MCL. Chapter 8: Urinary Tract Infections. In Starlin, R. The Washington Manual: Infectious diseases subspecialty consult (1st ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2005. pp. 95–108.
3. Guarino N, Casamassima MG, Tadini B, et al. Natural history of vesicoureteral reflux associated with kidney anomalies. Urology. 2005 Jun. 65(6):1208-11.
4. Ramakrishnan K, Scheid DC. Diagnosis and management of acute pyelonephritis in adults. American Family Physician. 2005; 71 (5): 933–42.
5. Gupta K, Hooton TM, et al. International Clinical Practice Guidelines for the Treatment of Acute Uncomplicated Cystitis and Pyelonephritis in Women: A 2010 Update by the Infectious Diseases Society of America and the European Society for Microbiology and Infectious Diseases. Clinical Infectious Diseases. 2011; 52 (5): e103–20.

Mengapa terapi cairan intravena pada pasien lansia perlu diperhatikan?

Penuaan dikaitkan dengan penurunan fungsi fisiologis dan terganggunya kemampuan seseorang untuk mengkompensasi fluktuasi kondisi lingkungan. Perubahan pada oorgan tertentu seperti  jantung dan ginjal mengakibatkan lansia lebih rentan terhadap perubahan volume cairan dalam tubuh maupun ketidakseimbangan elektrolit. Terapi cairan yang berlebihan (hipervolemia) dapat menyebabkan komplikasi yaitu gagal jantung kongestif atau chronic heart failure (CHF) yang juga berkorelasi dengan hiponatremia.1

Pada lansia, perubahan struktural maupun fungsional terjadi pada organ jantung. Perubahan struktural yang terjadi adalah kekakuan vaskular, peningkatan ketebalan dinding ventrikel (dalam batas normal) dan fibrosis. Pada tahap selanjutnya keadaan tersebut akan menyebabkan disfungsi diastolik, peningkatan afterload, dan Heart Failure with preserved ejection fraction (HFPEF).2

Perubahan Fungsional yang terjadi pada jantung meliputi perubahan denyut jantung maksimal, volume sistolik akhir (end-systolic volume / ESV), volume diastolik akhir (end-dyastolic volume / EDV), kontraktilitas, kontraksi sistolik yang berkepanjangan, relaksasi diastolik yang berkepanjangan, sinyal simpatik, dll. Keadaan tersebut menyebabkan turunnya daya kompensasi jantung usia untuk merespons peningkatan beban kerja.2

Terapi cairan intravena yang berlebihan akan meningkatkan preload. Pada lansia dengan perubahan struktural dan fungsional jantung, preload yang berlebihan ini akan menjadi penyebab terjadinya gagal jantung kongestif karena jantung gagal untuk mengkompensasi keadaan tersebut. Oleh sebab itulah, pemberian cairan intraven apada lansia terutama pada pasien sengan penyakit degeneratif atau yang mempunyai riwayat penyakit ginjal maupupn jantung harus dimonitoring secara intensif guna mencegah terjadinya kelebihan pemberian cairan.

1. Allison SP, Dileep NL. Fluid and electrolytes in the elderly. In : Clinical Nutrition and Metabolic Care. PubMed. February 2004. Diakses dari: https://www.researchgate.net/publication/8612561_Fluid_and_electrolytes_in_the_elderly, 1 oktober 2017.
2. Strait JB, Lakatta EG. Aging-associated cardiovascular changes and their relationship to heart failure. Heart Fail Clin. 2012 Jan; 8(1): 143–164.

Kapan transfusi darah dapat diberikan pada pasien dengan anemia?

Anemia merupakan penurunan massa sel darah merah atau red blood cells (RBC). Fungsi RBC adalah mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru. Fungsi tersebut difasilitasi oleh hemoglobin (Hb), protein tetramer yang terdiri dari heme dan globin. Pada anemia, terjadi penurunan jumlah sel darah merah yang mengangkut oksigen dan karbon dioksida.1

Oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1968, anemia didefinisikan sebagai penurunan kadar hemoglobin (Hb) di bawah 13 g / dl pada pria dan di bawah 12 g / dl pada wanita.2
Anemia merupakan salah satu akibat dari berbagai macam penyakit dan kondisi tubuh. Secara umum, tiga penyebab utama anemia adalah perdarahan, penurunan produksi eritrosit, dan peningkatan destruksi eritrosit. Penyebab perdarahan meliputi trauma dan perdarahan gastrointestinal, penyebab penurunan produksi meliputi kekurangan zat besi, kekurangan vitamin B12, talasemia, dan sejumlah neoplasma sumsum tulang. Sedangkan penyebab peningkatan destruksi mencakup sejumlah kondisi genetik seperti anemia sel sabit, infeksi seperti malaria, dan penyakit autoimun tertentu.3

Terapi anemia disesuaikan dengan penyebab anemia itu sendiri. Salah satu terapi umum anemia adalah transfusi darah atau Packed Red Cell (PRC). Indikasi transfusi darah adalah jika kadar hemoglobin ≤7 g / dL untuk orang dewasa yang memiliki status hemodinamik stabil, termasuk untuk mereka yang sedang berada dalam keadaan kritis,  dan ≤8 g / dL untuk pasien dengan penyakit kardiovaskular atau pasien yang akan menjalani operasi jantung atau ortopedi. Target transfusi darah adalah hb ≥10 g / dL.4

Pada praktik klinis, penurunan Hb tidak perlu secara terburu-buru dikoreksi dengan transfusi darah terutama apabila penyebab dari anemia itu sendiri belum diketahui (bukan karena perdarahah atau syok hypovolemia) dan keadaan klinis pasien tidak terlalu buruk. Hal tersebut dikarenakan pemberian transfusi darah yang terlalu dini dapat “menutupi” anemia untuk sementara waktu (meningkatkan Hb darah) akan tetapi penyebab sesungguhnya tidak tertanggulangi sehingga kemungkinan terjadinya anemia berulang juga semakin besar.

Berdasarkan protokol transfusi darah oleh WHO, obat-obatan atau cairan lainnya tidak boleh disuntikkan ke dalam saluran yang sama dengan saluran transfusi darah dan komponen darah. Pengecualiannya adalah garam normal (natrium klorida 0,9%) yang dapat digunakan dalam keadaan khusus, misalnya jika pada saat transfusi darah alirannya lambat karena terjadi peningkatan hemtokrit atau pada saat menunggu ketersediaan kantung darah.5

Jika transfusi diindikasikan, pasien geriatri harus ditransfusi dengan kecepatan yang lebih lambat daripada orang dewasa muda dan dianjurkan untuk diberikan premedikasi diuretik, dapat berupa furosemid sebanyak 1 ampul.6

1. National Heart, Lung, and Blood Institute. "What Is Anemia? – NHLBI, NIH". Diakses dari: https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/anemia/, pada 29 September 2017.
2. Beutler E, Waalen J. The definition of anemia: What is the lower limit of normal of the blood hemoglobin concentration?. Blood Journal. 2006; 107: 1747-50.
3. Janz TG, Johnson RL, Rubenstein SD. Anemia in the emergency department: evaluation and treatment. Emergency medicine practice. 2013 Nov. 15 (11): 1–15; quiz 15–6.
4. Carson JL, Guyatt G, Heddle NM, Grossman BJ, Cohn CS, Fung MK, et al. Clinical Practice Guidelines From the AABB: Red Blood Cell Transfusion Thresholds and Storage. JAMA. 2016 Nov 15;316(19):2025-2035.
5. Clinical transfusion practice: Guidelines for medical Interns. Diakses dari: http://www.who.int/bloodsafety/transfusion_services/ClinicalTransfusionPracticeGuidelinesforMedicalInternsBangladesh.pdf, 29 September 2017.
6. Beyer I, Compté N, Busuioc A, Cappelle S, Lanoy C, Cytryn E. Anemia and transfusions in geriatric patients: a time for evaluation. Hematology. 2010 Apr;15(2):116-21.

CRP vs PCT?.

Baik CRP (C- Reactive Protein) maupun PCT (Procalcitonin) merupakan protein yang meningkat ketika terjadi inflamasi akut.CRP adalah suatu protein yang diproduksi di hati dan akan meningkat pada kondisi inflames. Tidak jarang CRP diperiksa sebagai pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis penyakit-penyakit seperti Rheumatoid Arthritis (RA), Chron’s disease, Acute Miocardial Infark, dan lainnya. CRP juga diperiksan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi antibiotik, karena CRP serum akan menurun seiring dengan pemulihan sepsis, meskipun CRP itu sendiri merupakan penanda yang sangat tidak spesifik untuk sepsis. Pemeriksaan kadar CRP serum membutuhkan biaya yang relatif murah.1 Nilai normal CRP adalah 0-10 mg/L, sedangkan nilai normal high sensitivity CRP (hs-CRP) adalah < 3 mg/L.2  Karena tingkat CRP awal sering meningkat sebagai akibat dari kondisi inflamasi kronis pada pasien dengan penyakit komorbid tertentu, pemeriksaan CRP dianjurkan untuk dilakukan sebanyak beberapa kali.3

Procalcitonin (PCT) adalah prekursor peptida untuk hormon kalsitonin, yang terlibat dalam homeostasis kalsium. PCT terdiri dari 116 asam amino dan diproduksi oleh sel parafollikular (sel C) tiroid dan oleh sel neuroendokrin paru-paru dan usus.4

Pengukuran procalcitonin dapat digunakan sebagai penanda terjadinya sepsis berat yang disebabkan oleh bakteri dan umumnya dapat menilai dengan tingkat keparahan sepsis, walaupun kadar prokalsitonin dalam darah sangat rendah. PCT memiliki sensitivitas sebesar (85%) dan spesifisitas (91%) untuk membedakan pasien dengan sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) pada pasien sepsis.5

Peningkatan PCT ringan (0,15-2 ng/mL) dapat mrnunjukan adanya infeksi bakteri yang ringan-sedang dan terlokalisir,  dan gagal ginjal terminal. Sedangkan peningkatan PCT serum >2 ng/mL menunjukkan terjadinya bacterial sepsis maupun infeksi bakteri tingkat parah yang terlokalisir seperti pneumonia, meningitis dan peritonitis.

1. Vincent JL, Donadello K, Schmit X. Biomarkers in the critically ill patient: C-reactive protein. Crit. Care Clin. 2011; 27(2), 241–251.
2.  McPherson RA, Matthew R. Pincus MR. Henry's Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 22nd ed. Elsevier Saunders: Philadelphia; 2011. 254-5.
3. Póvoa P, Coelho L, Almeida E et al. C-reactive protein as a marker of infection in critically ill patients. Clin. Microbiol. Infect. 2005; 11(2), 101–108.
4. Deftos LJ, Roos BA, Parthemore JG. "Calcium and skeletal metabolism.. Western Journal of Medicine. 1975-12-0; 123 (6): 447–458.
5. Meisner M, Tschaikowsky K, Palmaers T, Schmidt J. Comparison of Procalcitonin (PCT) and C-reactive Protein (CRP) plasma concentrations at different SOFA scores during the course of sepsis and MODS. Critical Care. 1999; 3 (1): 45–50.
6. Simon L, Gauvin F, Amre DK, Saint-Louis P, Lacroix J, et al. Serum procalcitonin and C-reactive protein levels as markers of bacterial infection: a systematic review and meta-analysis. Clinical Infectious Diseases. 2004; 39:206-17.



Mengapa Allopurinol tidak dapat digunakan pada serangan akut artritis gout?
 Artritis gout adalah bentuk arthritis inflamasi yang ditandai dengan serangan berulang pada sendi dimana sendi berwarna kemerahan, terasa nyeri, teraba hangat, dan bengkak. Predileksi artritis gout adalah Sendi metatarsal I (jempol kaki).1
Artritis gout disebabkan oleh peningkatan kadar asam urat dalam darah yang diperngaruhi oleh faktor diet dan genetik. Pada tingkat tertentu, asam urat dalam darah akan mengkristal dan kristal tersebut akan terdeposit pada sendi, tendon dan jaringan sekitarnya, mengakibatkan artritis gout.2
Pada serangan akut, gout diterapi dengan kolkisin. Kolkisin akan menghambat respons inflamasi akut dengan cara menghambat adhesi, motilitas, dan kemotaksis neutrofil, menghambat aktivasi fosfolipase A2, penjabaran faktor pengaktifan platelet dan leukotrien B4, menghambat pelepasan histamin oleh sel mast, dan mengganggu fungsi reseptor Tumor Necrosis Factor (TNF) - α pada makrofag dan sel endotel sehingga akan mencegah proses infalmasi lokal lebih lanjut pada sendi yang terkena. Dosis awal kolkisin adalah 0,5 - 1,2 mg diikuti dengan 0,5 mg tiap 2 jam sampai nyeri mereda. Profilaksis jangka pendek selama awal terapi dengan alopurinol dan obat orikusurik : satu kali seminggu atau satu kali sehari 0,5 mg.3
Obat asam urat lain yaitu Allopurinol, akan diubah ke dalam bentuk aktif menjadi oxypurinol. Oxypurinol akan menghambat enzim xanthin oxidase sehingga mengurangi terbentuknya asam urat. Obat ini digunakan untuk menurunkan kadar asam urat darah yang tinggi. Dosis maksimum allopurinol adalah 800 mg per hari.4
Pada serangan akut, allopurinol tidak dianjurkan untuk dikomsumsi. Penurunan urat serum secara mendadak setelah pemakaian allopurinol sering memicu artritis gout akut. Kolkisin profilaksis atau NSAID direkomendasikan, dimulai 2 minggu sebelum pemakaian allopurinol bila memungkinkan, dan berlanjut dengan pemakaian allopurinol selama 3-6 bulan untuk mencegah serangan. Alternatif lain adalah dengan memulai allopurinol pada 50-100 mg / hari dan meningkat dengan penambahan yang sama setiap minggu sampai target asam urat serum tercapai.4
1. Chen LX, Schumacher HR (October 2008). "Gout: an evidence-based review". J Clin Rheumatol. 14 (5 Suppl): S55–6.
2. Richette P, Bardin T. Gout. Lancet. January 2010; 375(9711): 318–28.
3. Molad Y. Update on colchicine and its mechanism of action. 2002. Curr Rheum Rep 4: 252–256.
4. Pacher P, Nivorozhkin A, Szabó C . Therapeutic effects of xanthine oxidase inhibitors: renaissance half a century after the discovery of allopurinol. Pharmacological Reviews. 2006; 58 (1): 87–114.
5. Burns CM, Wortmann R. Latest evidence on gout management: what the clinician needs to know. Ther Adv Chronic Dis. 2012 Nov; 3(6): 271–286.