HIV AIDS WITH TUBERCULOSIS, ANEMIA AND HYPONATREMIA
1Jawahir
Bin Madeaming, 2Suzanna Ndraha
1Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Krida Wacana.
2Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUD
Koja
ABSRTACT
Introduction
The risk of
developing tuberculosis (TB) is 21-34 times greater in people with HIV than
those without HIV. HIV AIDS and TB can lead to chronic anemia and hyponatremia even the mechanism is poorly understood.
Case
A 31 years old male presented with
two months of cough and two days of hemoptysis. Pulmonary TB diagnosed through
clinical features (decreased appetite, weight loss, night sweats, fever), lung ronchi
sound, sputum positive
acid-fast bacteria, and specific process in chest x-ray. He received full
course oral anti-TB therapy. Besides, tranexamide acid, vitamin K,
and codein given for cough and hemoptysis. Patients was diagnosed with HIV 4 months ago and on
anti-retroviral (ARV) treatment with CD4 % 11,9%, and CD4 ABS
253cell/µL).
Pallor conjunctiva found with Hb 9,4 g/dL
and normocytic normochromic red blood cell morphology. Serum sodium decreased due
to vomiting, so ondansentron and Nacl 0,9% given per 12 hours.
Discussion
According to
WHO, this patient with lung TB infection is in 3rd stage of
HIV/AIDS. Other diagnosis were anemia of chronic disease and hyponatremi. This
patient was given full course oral anti-TB and ARV,
tranexamide acid, vitamin
K, and codein for cough and hemoptysis, Nacl infusion for hyponatremia, and ondansetron
for antiemetic.
Conclusion
HIV
AIDS diagnosis and staging is based on oppurtunistic infection, anti-HIV
and CD4 lab test. Pulmonary TB diagnose
from clinical symptom, physical examination, sputum test, and chest x-ray examination. Therapy given
symptomatically as for cough, hemoptysis, vomiting and hyponatremia, combined
with ARV and oral anti-tuberculosis.
Key
words : tuberculosis, ronchi sound, lung specific process, anemia,
hyponatremi
ABSTRAK
Introduksi
Risiko terkena tuberkulosis (TB) 21-34 kali lebih
besar pada orang dengan HIV dibandingkan yang tanpa HIV. Infeksi HIV AIDS dan
TB bisa menyebabkan anemia penyakit kronik dan hiponatremia walaupun
mekanismenya masih belum jelas.
Kasus
Pria 31 tahun dengan keluhan batuk dua bulan dan dua
hari batuk darah. Didiagnosis TB paru berdasarkan gejala klinis (penurunan
nafsu makan dan berat badan, keringat malam, demam), suara ronkhi paru, bakteri
tahan asam dahak positif, dan gambaran proses spesifik pada foto toraks. Dia mendapat
obat anti-TB oral. Asam traneksamat, vitamin K, dan kodein diberikan untuk
batuk dan hemoptisis. Pasien didiagnosis HIV 4 bulan yang lalu dan dalam pengobatan
anti-retroviral (ARV) dengan CD4% 11,9%, dan CD4 ABS 253 cell/uL). Didapatkan konjungtiva
anemis dengan Hb 9,4 dan morfologi sel darah merah normositik normokrom.
Natrium serum menurun akibat muntah, jadi diberikan injeksi ondansetron dan infus NaCl 0,9% per 12 jam.
Diskusi
Menurut
WHO, pasien ini dengan infeksi TB paru termasuk stadium 3 HIV/AIDS. Diagnosis
lain adalah anemia penyakit kronis dan hyponatremi. Pasien ini diberikan dosis
penuh anti-TB oral dan terapi ARV. Asam traneksamat, vit K, dan kodein
diberikan untuk batuk dan hemoptisis,
ondansetron untuk muntah, dan infus NaCl untuk hiponatremia.
Kesimpulan
Diagnosis dan staging HIV AIDS didasarkan pada
infeksi oppurtunistik dan tes laboratorium anti-HIV dan CD4, TB paru
didiagnosis dari gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dahak, dan
rontgen dada. Terapi diberikan simptomatik untuk batuk, hemoptisis, muntah, dan
hiponatremia, dikombinasikan dengan ARV dan anti-TB oral.
Kata
kunci : Tuberkulosis, suara ronkhi, proses spesifik paru, anemia,
hiponatremia
INTRODUKSI
TB adalah penyebab utama
kematian di antara penderita HIV. Hampir satu dari empat kematian di antara odha
(orang dengan HIV AIDS) adalah karena TB. Pada tahun 2010, 350.000 orang
meninggal karena TB terkait HIV. TB juga merupakan penyakit paling umum
ditemukan pada odha, termasuk mereka yang mendapat ARV. Diperkirakan 1,1 juta
kasus baru TB HIV positif secara global pada tahun 2010. Setidaknya sepertiga
dari 34 juta odha di seluruh dunia terinfeksi TB. Penderita HIV menghadapi
ancaman timbulnya multidrug-resistant
TB (MDRTB) yaitu resistensi terhadap
lini pertama obat anti-TB atau extensively drug-resistant TB atau (TB-XDR) yaitu resistensi terhadap lini kedua obat
anti-TB. Di seluruh dunia, diperkirakan 650.000 kasus TB-MDR pada tahun 2010.1
Indonesia
adalah negera dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah India dan
China. Di Indonesia, TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular
dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan
penyakit akut pernapasan.2,3 Antara gejala penyerta pada pasien
koinfeksi HIV-TB adalah hiponatremia dan anemia. Sehingga kini mekanisme dan
patofisiologi terjadinya hiponatremia dan anemia masih terus diteliti.
KASUS
Pria 31 tahun dengan keluhan batuk
dua bulan dan dua hari batuk darah. Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan
gejala klinis (penurunan nafsu makan dan berat badan, keringat malam, sakit
kepala, demam), suara ronkhi pada auskultasi paru, pemeriksaan bakteri tahan
asam (BTA) dahak positif, dan gambaran proses spesifik pada foto toraks. Pasien
mendapat obat anti-TB oral (OAT) (rifampisin 450mg, isoniazid 300mg, pirazinamid
1000mg, etambutol 1000mg, satu tablet/hari). Asam Traneksamat 3x50mg IV,
vitamin K 2x10mg IV, dan kodein tablet 3x10 mg oral diberikan untuk gejala
batuk dan hemoptisis. Pasien didiagnosis HIV 4 bulan yang lalu dan dalam
pengobatan anti-retroviral (ARV) (Efavirens 600mg, lamivudin 150mg, dan
stavudin 30mg, satu tablet/hari) dengan CD4% 11,9%, dan CD4 ABS 253 cell/uL).
Didapatkan konjungtiva anemis dengan Hb 9,4 g/dL, VER 87Fl, HER 30pg, dan KHER
35g/dl. Natrium serum menurun (125 mmol/L) akibat muntah, jadi diberikan
injeksi ondansetron 2x4mg dan infus NaCl 0,9% per 12 jam. Setelah 2 hari terapi, hiponatremia membaik dimana kadar
natrium meningkat menjadi 136 mmol/L dan pada hari ke 5 hemoptisis berhenti.
Beberapa
bulan yang lalu, pasien dirawat karena mual dan muntah hebat serta diare yang
tidak sembuh selama seminggu. Diare sudah terjadi berulang kali dalam sebulan
tapi baru kali ini dirawat. Pada usia remaja pasien merupakan pengguna narkoba
hirup. Pasien menikah dengan istrinya yang merupakan pengguna narkoba suntik
dan tidak pernah menggunakan proteksi saat berhubungan. Istrinya diketahui
menderita HIV AIDS setelah beberapa tahun menikah dan akhirnya istrinya
meninggal karena penyakit itu.
DISKUSI
Infeksi TB
pada pasien HIV
Diagnosis TB
pada orang yang terinfeksi HIV sering tertunda dan sulit karena penderita HIV
yang terinfeksi TB tinggi kemungkinan
memiliki sediaan apus dahak BTA negatif dan kelainan kecil atau
non-spesifik pada foto rontgen. Pada orang terinfeksi HIV dengan sistem
kekebalan tubuh yang masih utuh, fitur klinis TB tidak cukup khas, namun,
perubahan ini nyata antara orang HIV positif
dengan imunodefisiensi lebih berat (AIDS). Pada penelitian yang dilakukan
oleh Swaminathan dkk, dari 78
pasien yang dilibatkan pada studi, didapatkan gejala paling sering adalah batuk
dan penurunan berat badan, diikuti oleh demam (lihat tabel 1). Durasi rata-rata
gejala adalah 12 minggu, menunjukkan bahwa ada penundaan dalam mendiagnosa TB
dan memulai pengobatan. Untuk manifestasi radiologis, didapatkan gambaran
bervariasi dengan lesi yang paling umum adalah kekeruhan eksudatif (exudative
opacities)
yang ditemukan pada 51% pasien. Lesi pada lobus bawah lebih sering ditemukan
dan penyakit cukup cenderung melibatkan lapangan paru yang luas pada kedua
paru-paru. Hanya 14% pasien memiliki lesi kavitas. Oleh karena itu, diagnosis
TB harus dicurigai pada HIV positif
terlepas dari lokasi, jenis dan luasnya lesi radiologi. Selanjutnya,
karena TB bisa hadir bahkan pada orang dengan radiografi dada normal, adanya
gejala TB harus diwaspadai dan dilakukan penyelidikan rinci.4 Pada
pasein ini, didapatkan gejala yang sesuai dengan hasil penilitian yaitu batuk,
penurunan berat badan, demam dan batuk darah. Gejala lain yang menyertai adalah keringat malam, dan
suara ronkhi. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan pemeriksaan dahak BTA
positif. Gambaran radiologis menunjukkan adanya gambaran kavitas di apeks pulmo
sinistra dan bercak infiltrat di apeks pulmo dextra.
Tabel 1: gejala klinis pada pasien HIV
terinfeksi TB5
Gejala
|
Frekuensi
|
Persen (%)
|
Batuk
|
76
|
97
|
Penurunan berat badan
|
73
|
94
|
Demam
|
62
|
79
|
Sesak napas
|
53
|
68
|
Sakit dada
|
37
|
47
|
Hemoptisis
|
14
|
18
|
Pengobatan OAT dan ARV pada pasien koinfeksi
TB-HIV
Masalah
koinfeksi TB dengan HIV sering dihadapi di Indonesia. Pada prinsipnya OAT pada
odha tidak berbeda dengan pasien HIV negatif. Interaksi antara OAT dan ARV
terutama efek hepatotoksisitasnya harus sangat diperhatikan. Pada odha yang
telah mendapat obat ARV sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka obat ARV tetap
diteruskan dengan evaluasi yang lebih ketat. Seperti pada pasien ini, obat ARV
telah diberikan terlebih dahulu sebelum didiagnosis TB, maka obat ARV
diteruskan dan ditambakan dengan OAT.5 Pada pasien ini diberikan
kombinasi OAT rifampisin
450mg, isoniazid 300mg, pirazinamid 1000mg, etambutol 1000mg, dengan dosis satu
tablet/hari. Pasien juga telah memulakan terapi ARV sejak 4 bulan dengan
kombinasi efavirens 600mg satu
tablet/hari, dan caviro LS-30 (lamivudin 150mg, dan stavudin 30mg) dua
tablet/hari. Kombinasi OAT dan ARV ini sesuai dengan anjuran Djoerban dkk.5
Namun, dari hasil studi yang dilakukan oleh Didik dkk pada
83 pasien HIV di RSU DR.Soetomo Surabaya, didapatkan regimen ARV yang paling
banyak digunakan adalah duviral + neviral (51,09%), duviral + efaviren
(25,00%), stavudin + lamivudin + nevirapin (10,87%), dan stavudin + lamivudin + efaviren (11,96%).6
Permulaan terapi ARV pada pasien ini adalah sesuai dengan rekomedasi WHO yaitu
pasien HIV AIDS stadium 3 harus memulakan ARV apabila jumlah CD4 < 350
sel/mm (CD4 pasien 253 cell/mm). Pada pasien ini yang
sudah mengalami anemia, zidovudin tidak diberikan karena efek toksisitasnya
yang kuat bisa memperparah anemianya. Studi Didik dkk juga menemukan efek
samping zidovudin menyebabkan anemia (6,02%), intoleransi traktus
gastrointestinal (1,20%), dan sakit kepala (1,20%)6.
Anemia terkait koinfeksi TB-HIV
Peningkatan
virus HIV seiring progresivitas penyakit menyebabkan anemia karena sekresi
sitokin yang mengakibatkan mielosupresi. Terdapat peran potensial dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) tat-protein dalam menyebabkan kelainan
hematopoeitik. Recombinant tat (r-tat)
protein memiliki efek penghambatan
kelangsungan hidup dan kapasitas proliferasi CD34+, sel progenitor
hematopoietik. Faktor utama yang bertanggung jawab adalah transforming growth
factor-beta 1 (TGF-beta 1).
Tat-protein HIV meningkatkan
sekresi TGF-beta 1, regulator negatif
hematopoiesis yang menekan hematopoesis (Zauli G dkk).7
Sel-sel
progenitor hematopoietik (CD34+) yang dipurifikasi dari sumsum tulang pasien
cytopenic (HIV) tipe 1-seropositif menunjukkan berkurangnya jumlah granulosit /makrofag,
eritroid, dan progenitor megakariosit dan juga penurunan progresif dari jumlah
sel CD34+ dalam kultur (Visani G
dkk).8 Semua infeksi kronis termasuk TB
dapat menyebabkan anemia. Anemia telah dilaporkan pada 16% hingga 94%
pasien TB paru. TB terkait anemia diatasi secara tuntas dengan pengobatan
anti-TB pada 64,5% pasien. Kebanyakan penelitian menunjukkan adanya penekanan
eritropoiesis oleh mediator inflamasi. Namun, pengamatan pada pasien anemia
terkait TB mendapatkan tidak adanya besi sumsum tulang dan morfologi sel darah
merah (SDM) sama dengan anemia defisiensi besi. Ini menunjukkan bahwa
kekurangan zat besi adalah mungkin penyebab anemia pada pasien dengan TB (Sei
Won Lee dkk).9 Pada kasus ini, ditemukan gejala anemia seperti
pusing, sering merasa lemas, konjunktiva anemis dan Hb 9,4 g/dL.
Namun didapatkan morfologi SDM normositik normokrom bukan mikrositik
hipokrom yang ditemukan pada anemia
defisiensi besi. Alasan untuk
pengobatan anemia penyakit kronis didasarkan pada dua prinsip. Pertama, anemia
yang secara umum dapat berbahaya dan membutuhkan peningkatan kompensasi curah
jantung untuk mempertahankan pemberian oksigen sistemik. Kedua, apabila anemia
dikaitkan dengan prognosis yang buruk dalam berbagai kondisi (Weiss dkk).10
Pada pasien ini belum ada alasan yang kuat untuk pemberian terapi anemianya.
Hiponatremia terkait koinfeksi TB-HIV
Hiponatremia
dilaporkan pada 30-60% pasien dirawat di rumah sakit dengan infeksi HIV.
Hiponatremia dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien HIV. Deplesi volume akibat diare atau
muntah adalah penyebab tersering hiponatremia pada saat masuk rumah sakit.
Manajemen klinis meliputi penggantian defisit cairan dan mengobati penyebab
kehilangan cairan. Sindrom sekresi hormon antidiuretik tidak adekuat (SIADH)
adalah penyebab kemungkinan pada pasien hiponatremia selama rawat inap. SIADH biasanya berhubungan dengan penyakit
paru dan intrakranial, seperti pneumonia pneumosistis, toksoplasmosis, dan TB (Rudolph A dkk).11 Hubungan antara SIADH
dan TB juga disokong oleh Rakel ER dkk.12 Satu
studi tentang hiponatremia dilakukan pada pasien TB
terlepas dari obat apapun yang diambil pasien. Studi ini dibuat oleh eHealthMe pada pasien
Tuberkulosis dari FDA dan komunitas pengguna. Hasil studi dilaporkan pada
tanggal 6 Agustus 2012. Didapatkan dari 1 853 pasien 22 (1.19%)
mengalami hiponatremia (lihat gambar 1).13 Pada kasus ini,
hiponatremia terjadi kemungkinan karena muntah. Tapi SIADH sebagai etiologi
hiponatremia belum tersingkirkan. Pemeriksaan lebih lanjut hormon anti diuretik
bisa dilakukan. Untuk penanganan saat ini, pasien diberikan ondansetron injeksi
4mg dan infus Nacl 0,9% per 12 jam. Setelah
2 hari, hiponatremia membaik dimana kadar natrium serum meningkat dari 125 mmol/L menjadi 136 mmol/L. Menurut hyponatremia treatment
guidelines 2007, rekomendasi vasopresin antagonis reseptor telah lama
diantisipasi sebagai metode yang lebih efektif untuk mengobati hiponatremia
berdasarkan efek uniknya yang selektif meningkatkan ekskresi air bebas zat
terlarut oleh ginjal.14
Gambar satu:
trend of hyponatremia in TB reports
SIMPULAN
Kombinasi gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang mendukung diagnosis pasti TB. Anemia penyakit kronik yang dialami
masih belum mendapat penanganan khusus anemia karena belum ada alasan yang kuat
untuk memulai pengobatan. Penyebab hiponatremia saat ini duduga karena
kehilangan volume cairan, namum SIADH masih belum tersingkirkan. Penanganan
hiponatremia dengan infus Nacl 0,9%/12 jam terbukti berhasil. Kombinasi obat
ARV dan OAT sudah benar dan hanya perlu evaluasi efek samping dan keberhasilan
terapi.
DAFTAR PUSTAKA