PENGARUH
LUMBROKINASE PADA
PENYAKIT ARTERI PERIFER
A PILOT STUDY
Suzanna Ndraha, Henny Tannady, Helena Fabiani, Fendra Wician
Staf Penyakit Dalam FK Ukrida Jakarta
Pendahuluan
Penyakit
arteri perifer didefinisikan sebagai obstruksi aliran darah pada percabangan
arteri diluar sirkulasi intrakranial dan sirkulasi koroner. Obstruksi ini
terjadi akibat proses aterotrombosis. Manifestasi klinis utama yang dapat disebabkan oleh aterotrombosis
adalah [1] Strok iskemik, yaitu kematian otak akibat kekurangan pasokan oksigen
dan nutrisi, [2] Transient ischemic
attack (TIA), yaitu kekurangan pasokan oksigen dan nutrisi ke otak yang
bersifat sementara, [3] Infark miokard, yaitu serangan jantung/ kematian sel di
jantung akibat kekurangan oksigen dan nutrisi, [4] Angina, yaitu rasa sakit di
dada sebelah kiri yang menjalar, disebabkan oleh kekurangan pasokan oksigen dan
nutrisi ke jantung secara sesaat, dan [5] Penyakit arteri perifer, seperti klaudikasio
intermiten, rest pain dan gangren.1
Klasifikasi
penyakit arteri perifer berdasarkan progesifitas perjalanan gejala klinis
menurut Fontaine dapat dilihat pada
tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Fontaine penyakit arteri perifer3
Fontaine Classification of PAD
|
Stadium I
|
Asimptomatik
|
Stadium II
|
Klaudikasio intermiten
|
Stadium III
|
Nyeri saat istirahat/ nyeri
malam hari
|
Stadium IV
|
Nekrosis/ gangrene
|
Faktor risiko
terjadinya PAP antara lain adalah usia, rokok, hipertensi, diabetes mellitus,
kurang olah raga, dan obesitas.2, Pada survei ke-3 yang dilakukan National Health and Nutrition Examination,
dilaporkan odds ratio (OR) pada
prevalensi tinggi didapatkan pada kebiasaan merokok, etnis Afro-Amerika, glomerular filtration rate (GFR) < 60
ml/min, diabetes melitus (DM), dan hiperkolesterolemia (OR, 1.7). Progesivitas
PAD hingga stadium III meningkat pada DM, kebiasaan merokok (OR, 3.0), ABI <
0,7 (OR, 2.0), ABI < 0,5, usia > 65 tahun, dan hiperkolesterolemia.2
Penyakit arteri perifer sering
tidak menimbulkan gejala. Kurang dari 50% pasien PAP yang mengalami simptomnya.
Gejala klinis yang sering muncul pada penyakit arteri perifer ialah
klaudikasio intermiten, yang merupakan stadium II dari klasifikasi Fontaine.3,4 Gejala ini
muncul bila lumen pembuluh darah mengalami obstruksi >50%. Pasien mengeluh merasa sakit di
kaki apabila berjalan atau menaiki tangga tetapi gejalanya hilang apabila
pasien istirahat. Klaudikasio intermiten membatasi kemampuan pasien untuk berjalan dan
beraktivitas.Rasa sakit tidak terbatas hanya pada sensasi nyeri, tetapi juga
bisa berupa langkah terasa berat, kesemutan, ketat dan lemah apabila kaki
berjalan atau mendaki.12 Pada pasien yang mempunyai gejala, sering
ditemukan nyeri pada tungkai. Sebagian kecil pasien PAP berkembang menjadinyeri
tungkai walau saat beristirahat dan ulkus iskemik.13
Pengobatan yang ditujukan
untuk penyakit ini ialah untuk mengatasi
gejala klaudikasio intermiten, yang meliputi revaskularisasi dan dengan
pengobatan non invasif.5
Terdapat
beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis pasien penyakit arteri
perifer, salah satunya adalah ABI. ABI merupakan metode yang sederhana, murah,
dan noninvasive untuk mendiagnosis penyakit ini selain itu ABI juga dapat
memprediksikan resiko kardiovaskular.Pemeriksaan ini menggunakan Doppler USG
untuk mengukur tekanan darah sistolik pada kaki dan lengan atas.Normalnya
tekanan darah sistolik pada kaki sedikit lebih tinggi dibanding lengan
atas.Pemeriksaan tekanan darah di kaki dapat dilakukan pada arteri dorsalis
pedis dan arteri tibia posterior. Perbandingan antara arteri brakialis dengan
arteri dorsalis pedis atau arteri tibia posterior normalnya >0.9 (tabel 2).
Tabel 2. Nilai Ankle
Brachial Index (ABI)1
Keparahan penyakit
|
ABI
|
Istirahat
|
Latihan
|
Normal
|
>0.9
|
>0.9
|
Ringan
|
0.8-0.9
|
0.5-0.9
|
Sedang
|
0.5-0.79
|
0.15-0.49
|
Berat
|
<0.5
|
<0.15
|
Tabel 3: Kriteria diagnostik PAD berdasarkan
pengukuran ABI13
Range Diagnosis
|
0.91-1.30 Normal
|
0.70-0.90 Obstruksi ringan
|
0.40-0.69 Obstruksi sedang
|
<0,4 Obstruksi berat
|
> 1.30
Gangguan kompresi
|
Beberapa tahun
ini, cacing tanah (Lumbricus rubellasfamili
Lumbricidae) digunakan secara empiris
di Indonesia, Cina, Jepang, dan daerah Asia Timur lainnya untuk mengobati
beberapa penyakit.5 Tahun 1992, Mihara
menemukan bahwa cacing tanah secara langsung dapat melarutkan fibrin dan
mengaktifkan plasminogen.9
Lumbrius rubellus ditemukan dari
Indonesia, cacing ini memiliki suatu enzim fibrinolitik yaitu lumbrokinase dan
didalamnya telah berhasil diekstrak suatu protein yang dinamakan DLBS1033.11
Protein ini memiliki efek fibrinolitik, fibrinogenolitik, menurunkan viskositas
darah, menurunkan agregasi trombosit, dan mencetuskan degradasi thrombus di
dalam darah. DBS1033 merupakan agen fibrinolitik yang bekerja cepat dan
panjang. Di mana pada suatu penelitian yang menggunakan fibrin plate,proses lisis yang terjadi pada fibrin plate mulai berlangsung dalam waktu 1 jam sejak inkubasi dan
terus menunjukkan aktifitas fibrinolitiknya sampai 12 jam.11 Lumbrokinase
diserap melalui epitel usus, sehingga dapat diberikan secara per oral. Saat
ini, penggunaan lumbrokinase sebagai obat trombolitik oral sedang diteliti
secara ekstensif, terutama pada penyakit-penyakit vaskular.9,10,11
Suatu pilot study mengenai efikasi lumbrokinase
pada perfusi miokard pada penyakit arteri coroner dengan gejala angina stabil
menyatakan bahwa pemberian lumbrokinase selama 30 hari berkaitan dengan
penurunan keparahan iskemik miokard secara objektif. Dari 10 sampel, 6
diantaranya dilaporkan mengalami perbaikan dalam durasi dan frekuensi
angina.Mekanisme lumbrokinase dalam perbaikan gejala ini belum diketahui dengan
jelas.Lumbrokinase mungkin memberikan efek anti iskemik pada jalur yang
diketahui berhubungan dengan agen fibrinolitik, seperti memodifikasi fungsi
koagulasi, berefek langsung pada fungsi endotel atau mencetuskan angiogenesis.
Efek antiinflamasi lumbrokinase juga diduga berpengaruh terhadap penurunan
proses arterosklerosis dan ketidakstabilan plak.5
Daftar Pustaka
1.
Garcia,
LA. Epidemiology and pathophysiology of lower extremity peripheral arterial disease.
Journal of Endovascular Therapy 2006;13:113.
2.
Arain,
FA, Cooper LT. Peripheral arterial disease: diagnosis and treatment. Mayo
Clinic Proceedings 2008;83,8:944.
3.
Scottish
Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and management peripheral
arterial disease: a national clinical guideline. United Kingdom: NHS Quality
Improvement Scotland:2006.
4.
Anonymous.
Peripheral
Arterial Disease. Updated: 05/02/2008. Diunduh dari url:
http://www.ohiohealth.com/bodymayo.cfm?id=6&action=detail&ref=1341,
diakses pada November 2009.
5.
Gey DC,
Emil P. Lesho EP, Manngold J. Management
of Peripheral Arterial Disease. Am Fam Physician 2004;69:525-32,533
6.
Hiatt
WR. Pathophysiology of Intermittent Claudication in Peripheral Arterial
Disease. Cardiology Rounds 2006:10(1). Diunduh dari
http://www.cardiologyrounds.org/crus/cardus0106.pdf, diakses pada Agustus 2012.
7.
Belch J,
MacCuish A, Campbell I, Cobbe S, Taylor R, Prescott R. The prevention of progression of arterial
disease and diabetes (POPADAD) trial: factorial randomised placebo controlled
trial of aspirin and antioxidants in patients with diabetes and asymptomatic
peripheral arterial disease. BMJ
2008;337:a1840. Diunduh dari http://www.bmj.com/content/337/bmj.a1840.full,
diakses pada Agustus 2012.
8.
Castaño
G,
Más R,
Fernández L,
Gámez R,
Illnait J. Effects of policosanol and lovastatin in patients with intermittent
claudication: a double-blind comparative pilot study. Angiology. 2003 Jan;54(1):25-38
9.
Trisina
J, Sunardi F, Suhartono Mt, Tjandrawinata RR. DBLS1033, a protein extract from
lumbricus rubellus, possesses antithrombotic and thrombolytic activities.
Journal of Biomedicine and Biotechnology 2011.
10.
Kasim M,
Kiat AA, Rohman MS, Hanifah Y, Kiat H. Improved myocardial perfusion in stable
angina pectoris by oral lumbrokinase: a pilot study. The Journal of Alternative
and Complementary Medicine 2009;15(5):539-44.
11.
Kurnia
F, Tjandrawinata RR. Bioactive protein fraction DLBS1033 exerts its postitive
pleiotropic effect in the vascular cells via down regulation of gene
expression. Medicinus 2011;24(1):18.
12.
Criqui M.H. Peripheral arterial disease - epidemiological
aspects. Vascular Medicine 2001; 6(1suppl):3-7. Diunduh dari url:
http://vmj.sagepub.com/cgi/content/abstract/6/1_suppl/3, diakses pada
November 2009.
13.
Mahameed A.A “Peripheral Arterial Disease”. Diunduh dari
url:http://my.clevelandclinic.org/heart/default.aspx,
diakses pada Nopember 2009
14.
Carmo
GAL, Mandil A, Nascimento BR, Arantes BD, Bittencourt JC, Falqueto EB, et al.
Can we measure the ankle-brachial index using only a stethoscope? a pilot
study. Family Practice Advance Access 2008;22-6
16.
Meijer WT, Hoes AW, Rutgers D, Bots ML, Hofman
A, Grobbee DE. Arteriosclerosis,
thrombosis
and vascular biology. American Hearth Association 2007;18:185-92.
17.
Kugler
C, Rudofsky G. The Role of comorbidity burden for patients with symptomatic peripheral arterial disease (PAD).
International Angiology 2003;22:290-301.
18.
Eason SL, Petersen NJ, Suarez-Almazor M, Davis
B, Collins TC. Diabetes mellitus smooking, and the risk for asymptomatic
peripheral arterial disease : Whom
Should
We Screen? JABFP. 2005;18:355-61.
19.
Asgeirsdottir LP, Agnarsson U, Jonsson GS.
Lower extremity blood flow in healthy men : effect of smooking, Cholesterol and Physical activity-A Doppler
Study Angiology
2001;52:437-45.
20.
Meijer WT, Hoes AW, Rutgers D, Bots ML, Hofman
A, Grobbee DE. Arteriosclerosis,
thrombosis
and vascular biology. American Hearth Association. 2007;18:185-92.
21.
Teo KK. Risk Factor for peripheral arterial
disease traditional and emerging, lifestyle modification and evidence for symptom relief. Canadian Cardiovascular
Society Consensus
Confrence Peripheral Arterial Disease. 2005.
22.
Li S,
Huang P, Fu R, et al. Clinical studies of the treatment of 48 arteriosclerosis
obliterans patients with baiao-lumbrokinase. Capital Medicine 1996