BAB V
PEMBAHASAN
Pada
penelitian ini, didapatkan bahwa sirosis hati lebih banyak terjadi pada pasien
laki-laki (62,5%), usia rata-rata 51,5 tahun, dengan rentang usia antara 27-70
tahun, terbanyak
40-60 tahun (45,8%), penemuan klinis terbanyak
adalah asites (83,3%), hematemesis (54,2%), dan melena (45,8%). Sebagian besar Child Pugh B (66,7%), sisanya
Child Pugh C (25%). Hal
ini sesuai dengan penemuan yang telah diperoleh sebelumnya.7,8,23
Dari
segi pola asupan
gula ternyata sebagian besar (54,2%)
subyek mengaku jarang
mengkonsumsi makanan atau minuman yang tinggi glukosa. Hanya 20,8% yang mengaku mengkonsumsi makanan
atau minuman yang tinggi glukosa setiap hari. Fakta ini tidak sesuai dengan
dugaan bahwa umumnya penderita sirosis hati akan mengkonsumsi gula secara
berlebihan karena secara tradisi diyakini gula akan memperbaiki penyakit
sirosis hati.
Penilaian status nutrisi pada
penelitian ini didasarkan atas 3 jenis parameter yang berbeda yaitu dengan
menggunakan IMT, MAMC, dan SGA. Berdasarkan IMT, didapatkan 75% subyek memiliki
dengan gizi yang cukup, 12,5% gizi kurang gizi, dan 8,3% gizi lebih. Berdasarkan
MAMC, didapatkan 62,5% tidak malnutrisi (normal), dan 37,5% malnutrisi ringan.
Berdasarkan SGA, didapatkan malnutrisi sebesar 33,3%. Dari ketiga parameter
gizi ini terlihat bahwa pengukuran status nutrisi berdasarkan MAMC tidak
berbeda jauh dengan SGA (37,5% dan 33,3%), namun bila menggunakan IMT maka
hasilnya malnutrisi jauh lebih rendah (12,5%). Perbedaan ini dikarenakan bias
dari edema dan asites bila menggunakan IMT, sehingga pemeriksaan MAMC dan SGA
lebih dipilih daripada IMT.9,10,11
DM tipe sirosis umumnya
subklinis, dan pemeriksaan glukosa puasa umumnya normal, sehingga diperlukan
tes toleransi glukosa oral untuk mendeteksinya.6 Dari hasil tes
toleransi glukosa oral, didapatkan 46% pasien sirosis hati di RSUD Koja juga
menderita diabetes, 25% mengalami gangguan tes toleransi glukosa dan hanya 29%
lainnya tidak memiliki kelainan metabolik glukosa. Compean6
mengemukakan, pada sirosis hati bisa didapatkan gangguan toleransi glukosa
hingga 96%, dan 30% diantaranya diabetes tipe sirosis. Pada data kami,
didapatkan gangguan toleransi glukosa sebanyak 71%, dan 65% diantaranya
diabetes tipe sirosis. Dibanding data Compean, angka di RSUD lebih rendah untuk
gangguan toleransi glukosa secara keseluruhan (71% vs 96%), namun yang memenuhi
kriteria diabetes lebih tinggi (46% dari total subyek, atau 65% dari total
gangguan toleransi glukosa). Cukup tingginya angka kejadian DM tipe sirosis ini
mendukung saran dari penulis terdahulu agar dibuat pedoman tatalaksana yang
lebih baik bagi penyakit ini.6
Untuk mengetahui adanya
hiperinsulinemia, maka pada 24 subyek diperiksa kadar insulin puasa. Didapatkan
kadar rata-rata adalah 10,2
± 4,4 µIU/mL.
Sebanyak 17 (70,8%) pasien memiliki kadar insulin puasa dalam nilai normal (2,6
µIU/mL - 24,9 µIU/mL), 4 (16,7%) dengan kadar rendah (<2,6µIU/mL) dan 3 (12,5%)
memiliki kadar insulin puasa tinggi (>24,9µIU/mL). Kawaguchi12
mencatat sebanyak 57% dari penderita
sirosis hati menunjukkan peningkatan resistensi insulin. Kadar insulin pada
penderita DM tipe sirosis lebih tinggi dibanding DM tipe-2. Hiperinsulinemia
pada sirosis hati diduga terjadi akibat kerusakan sel parenkim hati, sehingga
proses degradasi insulin terganggu. Pada subyek kami hiperinsulinemia hanya
didapatkan pada 12,5%. Pada tahap 2 kadar insulin puasa rata-rata kelompok DM
tipe sirosis dibandingkan dengan kelompok DM tipe 2. Didapatkan rata-rata kadar insulin puasa pada pasien DM
tipe sirosis 10,8±4,2 µIU/mL dan DM tipe-2 9,3±5,3
µIU/mL (p=0,5). Data ini menunjukkan adanya hiperinsulinemia relatif pada
kelompok DM tipe
sirosis terhadap DM tipe-2 (10,8±4,2 µIU/mL vs 9,3±5,3 µIU/mL), namun ternyata perbedaan ini
secara statistik tidak bermakna. Hal ini kemungkinan karena besar sampel yang
kurang, tekhik pengambilan sampel darah tidak tepat, atau tehnik pengolahan
bahan tidak baik.
Selanjutnya pada kedua kelompok dinilai rasio
GDPP/GDP. Rasio GDPP/GDP yang lebih
tinggi menunjukkan kegagalan insulin memasukkan glukosa kedalam sel, sehingga
semakin tinggi rasio maka semakin tinggi resistensi terhadap insulin. Pada
pasien DM tipe sirosis didapatkan rasio GDPP/GDP sebesar 2±0,5
dan pasien DM tipe-2 sebesar
1,5±0,4
(p=0,01). Rasio GDPP/GDP lebih tinggi
pada DM tipe sirosis, dan bermakna secara statistik. Data ini mendukung adanya resistensi insulin
yang lebih tinggi pada DM tipe sirosis dibandingkan DM tipe-2.
Beberapa
kelemahan yang ditemukan selama melakukan penelitian ini adalah antara lain
sulitnya mencari kelompok kontrol yang mempunyai usia sebanding, karena pasien
DM tipe sirosis umumnya mempunyai usia lebih muda sedangkan DM tipe 2 mempunyai
usia yang lebih tua. Untuk mengatasinya diambil rentang usia 5 tahun. Kelemahan
lain adalah jumlah subyek yang sedikit, tekhik
pengambilan sampel darah tidak tepat dan dilakukan oleh petugas yang
berbeda-beda juga dapat mempengaruhi akurasi hasil laboratorium.
BAB VI
KESIMPULAN
1. Pola asupan gula pada pasien
sirosis hati di RSUD
Koja ternyata
sebagian besar jarang mengkonsumsi makanan atau minuman yang
tinggi glukosa
2. Pola klinis
pada pasien sirosis
hati di RSUD Koja
didapatkan lebih banyak laki-laki, usia rata-rata 51,5 tahun,
penemuan klinis terbanyak adalah asites, dan
sebagian besar Child Pugh B.
3. Status nutrisi dari pada pasien
sirosis hati di RSUD
Koja berdasarkan pemeriksaan antropometrik MAMC, didapatkan 62,5% normal dan 37,5% malnutrisi
ringan
4. Kadar insulin puasa pada sirosis
hati di RSUD Koja rata-rata 10,2 ± 4,4 µIU/mL, sedangkan hasil tes
toleransi glukosa didapatkan 46% pasien menderita diabetes, 25% gangguan
toleransi glukosa dan hanya 29% normal
5. Pada pasien DM tipe sirosis didapatkan rasio
GDPP/GDP sebesar 2±0,5 dan pasien DM tipe-2 sebesar
1,5±0,4
(p=0,01).
6. Rata-rata kadar insulin puasa pada pasien DM
tipe sirosis 10,8±4,2 µIU/mL dan DM tipe-2 9,3±5,3
µIU/mL (p=0,5).
DAFTAR PUSTAKA
on request
|
Menyelesaikan Laporan Penelitian |