TES CRITICAL FLICKER FREQUENCY
PADA SIROSIS HATI
DI RSUD KOJA
1Suzanna Ndraha, 2Marshell Tendean, 2Fendra Wician,
3Surjadi Sujana, 2Mardi Santoso
1SMF Penyakit Dalam RSUD Koja, Jakarta
2Staf Pengajar SMF Penyakit Dalam FK UKRIDA
3SMF Radiologi FK UKRIDA
Alamat Korespondensi Jl.Arjuna Utara No.6
Jakarta Barat 11510
ABSTRAK
Latar Belakang. Ensefalopati hepatikum minimal (EHM) adalah
keadaan dimana secara klinis tidak terdapat tanda gangguan mental namun pada
tes psikometrik sudah ditemukan kelainan. EHM sulit didiagnosis karena tes
psikometrik tidak mudah dilakukan, hasilnya dipengaruhi usia dan tingkat
pendidikan, serta memakan banyak waktu. Belakangan ini tes critical
flicker frequency (CFF) telah dikembangkan untuk diagnosis EHM. Tujuan
penelitian ini adalah mengevaluasi hasil tes critical flicker
frequency pada pasien sirosis hati di RSUD Koja.
Metoda. Semua pasien sirosis hati yang datang ke RSUD
Koja selama Juni-Agustus 2009 dievaluasi. Tes CFF dilakukan dengan menggunakan
alat HEPAtonormTM Analyzer. Pasien sirosis dengan frekuensi
kritis < 39 Hz digolongkan kedalam ensefalopati.
Hasil. Didapatkan 38 penderita sirosis hati yang datang
berkunjung. Tigapuluh empat subjek (89,5%) tergolong ensefalopati berdasarkan
tes CFF.
Kesimpulan: Dari pemeriksaan CFF, didapatkan 89,5% dari
penderita sirosis hati tergolong EHM.
Keywords: Sirosis hati, Ensefalopati hepatikum minimal
(EHM), Critical Flicker Frequency (CFF)
ABSTRACT
Introduction. Minimal hepatic encephalopathy (MHE) is a
term in liver cirrhosis with abnormal psychometric test while mental status examination still normal. MHE is
difficult to investigate clinically, while psychometric tests were not easy and
time consuming.
Recently, the critical flicker
frequency (CFF) test has been developed for the diagnosis of MHE. Aim
of this study was to evaluate the critical flicker frequency in liver cirrhosis
Method. All liver cirrhosis patients visited Koja
Hospital during June - August 2009 was evaluated. The distributions of age,
gender, and Child Pugh classification were assessed. The CFF test was evaluated
using HEPAtonormTMAnalyzer. Cirrhotic
patients who had critical frequency measurement less than 39 Hz was classified
as having hepatic encephalopathy.
Results. There were 38 liver cirrhosis patients fit the criteria. Thirty-four (89.5%) cases were classified as minimal encephalopathy according to CFF.
Conclusion: In our study we found 89.5% of liver cirrhosis patients were minimal
encephalopathy according to CFF.
Keywords: Liver cirrhosis, encephalopathy, the Critical Flicker
Frequency
Pendahuluan
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan salah satu komplikasi sirosis
hati yang membawa dampak morbiditas dan mortalitas yang tinggi.1,2 Angka
kejadian EH pada sirosis hati di negara barat bervariasi dari 30-45% (USA)3 dan
50-70% (UK)4, dimana sebagian besar diantaranya adalah EH minimal.
Data di Asia juga bervariasi. Di India didapatkan kejadian EH sebesar 62,4%.5 Penelitian
yang dilakukan di Poliklinik rawat jalan RSCM dan RSUD Koja menunjukkan angka
EH minimal sebesar masing-masing 75,8 % dan 94,4%.6,7
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis antara
lain : [1]. Tes elektrofisiologik. Tes elektrofisiologik
yang meliputi visual-evoked, somatosensory-evoked, dan brain
stem auditoryevoked potentials ternyata tidak mudah dilakukan dalam
praktek karena mahal, memerlukan peralatan canggih dan kemudian ternyata
sensitivitasnya masih dibawah tes psikometrik.8 [2].
Tes Psikometri. Tes psikometrik yang
meliputi 5 tes yaitu the digit symbol test (DST), the number
connection test A (NCTA), the number connection test B (NCT-B), the serial
dotting test (SDT), dan the line drawing test (LDT) direkomendasi
sebagai baku emas diagnosis EHM dalam konsensus di Viena tahun 1998.9 Kelima
tes yang dinamakan PHES (The psychometric hepatic hncephalopathy score)
ini ternyata tidak mudah dalam pelaksanaannya karena memakan waktu lama dan
sangat dipengaruhi oleh tingkat edukasi dan usia penderitanya.8,9 [3].
Tes Critical Flicker Frequency (CFF). Kesulitan dalam tes psikometrik dan
elektrofisiologik membuat EHM sulit didiagnosis.8,9,10,11, Hal
ini mendorong para ahli untuk mencari alat diagnosis lain yang lebih mudah
namun akurat dalam mendiagnosis EHM. Kircheis (2002) mulai
memperkenalkan tes CFF untuk diagnosis EHM. Berdasarkan hipotesis bahwa
gliopati retina dapat dijadikan petanda adanya gliopati serebral, maka gangguan
fungsi visual dapat menjadi dasar diagnosis EHM. Kircheis menggunakan cut
off 39 Hz, dengan sensitivitas 76,2% dan spesifisitas 61,4%.
Karena tes CFF kurang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan usia, dan
mempunyai sensitivitas serta spesifisitas yang baik, maka Kircheis menyimpulkan
bahwa tes CFF dapat digunakan untuk mendiagnosis dan memonitor EHM.8 Di
Indonesia, juga telah dilakukan penelitian untuk menilai presisi tes CFF.
Penelitian yang dilakukan terhadap pasien sirosis hati di RSCM dan RS Koja ini
mendapatkan bahwa tes ini mempunyai presisi yang baik. Berdasarkan uji
validasi CFF di Spanyol dan India yang mendapatkan hasil baik, dan uji presisi
CFF di Indonesia yang juga mendapatkan hasil baik, maka tes CFF dapat dilakukan
sebagai alat diagnostik EHM di Indonesia.6,12
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi hasil tes CFF pada
pasien sirosis hati di RSUD Koja
.
Material dan Metode
Penelitian bersifat observasional, cross sectional, dilakukan di RSUD Koja di bulan Juni 2009 – Juli 2009, pada pasien sirosis hati yang mengunjungi poli
Penyakit Dalam. Pasien dieksklusi bila ada infeksi akut, gangguan
neurologis dan gangguan penglihatan. Pada semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan
pemeriksaan tes CFF dengan
menggunakan alat HEPAtonormTMAnalyzer. Pada tes ini
dinilai frekuensi sumber cahaya yang dapat diinterpretasi oleh korteks serebri
saat berubah menjadi suatu kedipan. Sebelum tes dilakukan, diberi penjelasan
kepada pasien mengenai tujuan tes, langkah prosedur tes, dan pasien diminta
menekan tombol bila melihat cahaya merah mulai redup dan berkedip-kedip. Tes
dilakukan di Ruang Prosedur Penyakit Dalam, dalam kamar gelap, pasien posisi
duduk. Headset dipasang di posisi kepala pasien, kemudian
pasien diberi tombol untuk dipegang (gambar 1). Saat pemeriksa mengoperasikan hand-held
controller yang dihubungkan dengan komputer, pasien akan melihat
cahaya merah muncul dan dalam beberapa detik cahaya tersebut akan redup dan
berkedip-kedip. Saat itulah pasien diminta menekan tombol, dan di layar
komputer akan muncul angka hasil pengukuran tes CFF. Pengukuran dilakukan 9 kali dan diambil
nilai rata-ratanya. Nilai CFF <
39 Hz menunjukkan EH.8 Analisis data bivariat dilakukan dengan
menggunakan SPSS 15, dan disajikan dalam tabel.
Hasil Penelitian
Telah dilakukan penelitian pada 38 pasien
sirosis hati, dengan hasil sebagaimana disajikan pada tabel 1. Didapatkan
31 laki-laki dan 7 perempuan. Rerata usia adalah 48 ± 24
tahun, terbanyak pada kelompok usia 40-60 tahun (72%). Sebagian besar mempunyai
skor Child Pugh B (54,2%). Dari 38 subyek, didapatkan sebanyak 34 orang (89,5%) tergolong ensefalopati
hepatic berdasarkan hasil tes Flicker (gambar 2).
Tabel
1. Karakteristik 38 pasien sirosis hati
Karakteristik
|
n
|
%
|
1. Jenis kelamin
|
||
a. Laki-laki
|
31
|
83.3
|
b. Perempuan
|
7
|
16.7
|
2. Usia
|
||
Rata-rata (mean ± SD)
|
48
|
24
|
a. < 40 tahun
|
6
|
15.3
|
b. 40-60 tahun
|
28
|
72.2
|
c. > 60 tahun
|
4
|
12.5
|
3. Skor Child Pugh
|
||
a. Child Pugh A
|
13
|
36.1
|
b. Child Pugh B
|
21
|
54.2
|
c. Child Pugh C
|
4
|
9.7
|
4. Hasil Fliker pada pasien
- >39
- <39
|
4
34
|
10,5
89,5
|
data kategori disajikan
dalam n (%),data numerik dalam mean (SD)
Pembahasan
Dari 38 pasien yang diteliti, didapatkan 83,3% laki-laki dan 16,7%
perempuan. Dari literatur didapatkan bahwa prevalensi sirosis hati memang
terbanyak pada laki-laki.5,13 Yun dkk mendaparkan prevalensi
86% laki-laki dan 14% perempuan, dengan rata-rata usia 43,6±10,4. Penemuan ini
tidak jauh berbeda dari penelitian kami.14
Angka kejadian EH pada sirosis hati di negara barat bervariasi
dari 30-45% (USA)2 dan 50-70% (UK)3, dimana sebagian
besar diantaranya adalah EH minimal. Data di Asia juga bervariasi. Di India
didapatkan kejadian EH sebesar 62,4%.4 Penelitian yang
dilakukan di Poliklinik rawat jalan RSCM menunjukkan angka EH minimal
sebesar 75,8
%.5
Penelitian di RSUD Koja mendapatkan angka prevalensi
EHM sebesar 89,5%, lebih tinggi dari negara barat maupun Asia.
Bahkan juga lebih tinggi dari RSCM Jakarta. Tingginya prevalensi EHM pada
populasi kami antara lain disebabkan: [1] Perbedaan metoda yang digunakan,
dimana kami menggunakan metoda pemeriksaan dengan tes CFF dengan cut-off 39 Hz,
sedangkan studi RSCM menggunakan cut-off 38 Hz.
[2] Pengunjung RS Koja umumnya berasal dari kalangan sosial
ekonomi yang lebih rendah sehingga angka komplikasi penyakit kronik termasuk
sirosis menjadi lebih tinggi.
Kelemahan studi ini adalah jumlah sampel sedikit dan jangka waktu
pelaksanaannya hanya 3 bulan. Studi ini juga tidak membedakan angka EHM pada
masing-masing kelas Child Pugh, juga tidak membedakan penderita sirosis hati
dengan gizi cukup maupun gizi kurang.
Kesimpulan
Dari pemeriksaan CFF, didapatkan 89,5% dari penderita sirosis hati
tergolong ensefalopati hepatikum minimal.
Daftar
Pustaka
On
request
Publikasi:
Penelitian
ini dipublikasi di Jurnal Kedokteran Meditek vol 16, No 42A, Januari-April 2010
Jurnal
Kedokteran Meditek diterbitkan oleh: Unit Penelitian, Publikasi dan Pelatihan
Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta
No comments:
Post a Comment