Disampaikan oleh: dr. Suzanna Ndraha, Sp.PD, KGEH, FINASIM
DIringkas oleh: Grace Elizabeth Claudia
1. SOP CKD
Pada umumnya, pasien CKD tidak perlu dirawat. Indikasi rawat pada pasien CKD adalah bila terdapat komplikasi akut dan keadaan gawat darurat. Keadaaan gawat darurat pada pasien CKD adalah oliguria (fluid overload), asidosis metabolik, infeksi, anemia, hiperkalemia, dan ensefalopati uremikum.
Oliguria adalah penurunan produksi urin karena adanya gangguan pada diuresis. Sehingga, pada pasien CKD dengan oliguria memiliki resiko lebih tinggi terjadi fluid overload yang dapat menyebabkan pasien menjadi decomp. Untuk mengatasi keadaan tersebut, pasien perlu diterapi dengan Furosemid injeksi 2 – 6 ampul (100 cc) / 24 jam. Bila tidak berhasil, dapat diberikan Furosemid drip 10 – 20 ampul (100 cc) / 24 jam. Maksimal Furosemid yang dapat diberikan adalah 20 ampul. Pemberian Furosemid injeksi lebih dari 20 ampul dapat menyebabkan hiperkalemia dan ototoksik. Bila masih gagal, pasien harus dilakukan tindakan HD Cito.
Asidosis metabolik adalah salah satu gangguan keseimbangan asam basa yang ditandai dengan turunnya kadar ion HCO3 diikuti dengan penurunan tekanan parsiil CO2 di dalam arteri. Tampilan klinis yang paling khas pada pasien adalah sesak napas dengan napas kussmaul. Pada pasien CKD dengan asidosis metabolik, keseimbangan asam basa perlu dikoreksi dengan Bicnat menggunakan rumus 0,3 x BB x SBE. Jumlah yang perlu dikoreksi kemudian dicampur ke dalam cairan Dextrose 5%, dan seluruhnya di drip dalam 24 jam. Pada kondisi pasien dengan DM cairan untuk mencampur Bicnat dapat menggunakan cairan NaCl 0,9 % atau Asering. Namun, garam pada cairan akan bereaksi dan menyebabkan pengendapan. Sehingga, bila tidak terpaksa, jangan mencampur Bicnat pada NaCl atau Asering. Bila drip Bicnat tidak berhasil, harus dilakukan tindakan HD Cito.
Infeksi yang terjadi pada pasien dengan CKD perlu diterapi menggunakan antibiotik sesuai dengan kebutuhan. Hindari antibiotik yang nefrotoksik. Untuk beberapa antibiotik yang di ekskresi di ginjal, penggunaannya perlu di sesuaikan, karena pada pasien CKD, ekskresi ginjal menurun sehingga perlu menjauhkan jarak minum obat. Beberapa antibiotik yang penggunaannya tidak perlu disesuaikan kembali adalah cefoperazon dan ceftriaxon. Kedua obat tersebut ekskresinya terdapat di ginjal dan hati, sehingga tidak perlu memperjauh jarak minum obat.
Anemia pada pasien CKD dapat terjadi karena defisiensi eritropoietin dan defisiensi besi. Pada pasien CKD dengan anemia perlu dilakukan pemeriksaan SI. Bila SI normal, pasien dapat diterapi dengan injeksi EPO. Bila SI rendah, pasien perlu diterapi menggunakan preparat besi. Kondisi anemia berat dapat mengakibatkan takikardi yang pada akhirnya menyebabkan gagal jantung. Sehingga perlu dilakukan transfusi PRC. Namun, transfusi PRC pada pasien CKD perlu dilakukan pre medikasi menggunakan Furosemid injeksi sampai terjadi diuresis lebih dari 1000 cc, agar tidak terjadi fluid overload.
Hiperkalemia adalah keadaan dimana kalium darah lebih dari 5 mEq/L. Kondisi ini dapat mempengaruhi sistem konduksi listrik jantung. Oleh karena itu, perlu di koreksi dengan segera. Biasanya pada keadaan asidosis metabolik, bila dilakukan koreksi kepada asidosis metaboliknya, kondisi hiperkalemia juga akan terkoreksi. Namun, bila hiperkalemia menetap setelah asidosis metabolik, dapat diterapi dengan Sansulin R 10 U yang dilarutkan kedalam Dextrose 10% di drip 10 tpm. Observasi keadaan pasien, lakukan pemantauan GDS/6 jam, hati – hati bila pasien menjadi hipoglikemi. Bila hiperkalemia menetap setelah terapi, perlu dilakukan tindakan HD Cito.
Ensefalopati uremikum terjadi bila kesadaran pasien menurun tanpa adanya stroke, hipoglikemi atau hiponatremi. Batas ureum pasien dengan ensefalopati uremikum adalah 200 mg/dL. Bila terdapat pasien dengan penurunan kesadaran, namun kadar ureum 110 mg/dL, artinya pasien tidak mengalami ensefalopati uremikum. Pada pasien dengan ensefalopati uremikum, satu – satunya terapi yang dapat dilakukan adalah dengan tindakan HD Cito.
2. SOP AKI
Diagnosa Acute Kidney Injury (AKI) ditegakkan bila ureum kreatinin tinggi, Hb normal, tidak ada riwayat penyakit ginjal sebelumnya dan tidak ada penyakit kronik penyebab CKD seperti DM, hipertensi, hiperurisemia. Penyebab AKI dapat dibagi menjadi 3 yaitu pre renal, renal dan post renal.
AKI Pre renal terjadi bila terdapat penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal, seperti kehilangan banyak cairan tubuh karena diare, dehidrasi, muntah – muntah atau perdarahan. AKI pre renal ditandai dengan meningkatnya ureum kreatinin dengan perbandingan > 1 : 40. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan cairan 3 L/24 jam, kemudian ulang ureum kreatinin. Bila membaik, lanjutkan hidrasi sampai ureum kreatinin baik, sesudah itu lanjutkan dengan cairan maintenance. Namun, perlu diperhatikan apakah pasien mengalami oliguria atau non oliguria. Bila kondisi pasien oliguria, pasien memiliki resiko menjadi decomp bila diterapi cairan terlalu banyak. Kemudian kita juga perlu memperhatikan apakah keadaan jantung pasien memungkinkan atau tidak untuk diterapi cairan. Bila cairan yang diberikan terlalu banyak akan mengakibatkan terjadinya fluid overload yang menyebabkan decomp.
AKI Renal terjadi bila pada pasien terdapat riwayat terpapar zat kontras, jamu, analgetik, atau obat – obat nefrotoksik seperti gentamisin, amikasin, dan obat kemoterapi, yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan obat – obatan dan paparan yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Umumnya dapat membaik bila penyebab kerusakan ginjal dihentikan. Indikasi dilakukannya HD pada AKI Renal adalah bila terjadi sindrom uremia, nafas kussmaul yang tidak dapat diatasi secara medikamentosa, kadar ureum > 150 mg%, kalium > 7 mEq/L, dan plasma bikarbonat < 12 mEq/L.
AKI Post renal terjadi pada penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih seperti hidronefrosis atau adanya retensio urin. Tatalaksana nya adalah dengan mengatasi sumbatannya, biasanya dilakukan konsul ke bagian urologi. HD dapat dilakukan sebelum tindakan pembedahan tumor atau batu saluran kemih dilakukan.
3. SOP DBD
Diagnosa DBD menurut WHO adalah adanya demam tinggi selama 2 – 7 hari, adanya perdarahan, trombositopenia dan hematokrit yang meningkat 20%. Pasien DBD perlu dirawat bila terdapat syok, perdarahan masif seperti hematemesis melena, epistaksis terus menerus atau hemoptu berkepanjangan, atau pada kondisi Hb dan Ht normal namun trombosit < 100.000/mL atau Hb dan Ht meningkat dan trombosit < 150.000/mL.
Transfusi trombosit dapat dilakukan bila terdapat kedua indikasi berikut, yaitu perdarahan masif (4 – 5 mL/kgBB/jam) atau sekitar 250 cc/jam pada pasien dengan BB 50 kg (pada hematemesis melena) dan bila jumlah trombosit < 100.000/uL. Pada transfusi trombosit dilakukan pre medikasi dengan Dexamethason injeksi, karena pada transfusi trombosit resiko terjadinya reaksi trasnfusi pada pasien lebih tinggi dibandingkan dengan transfusi lainnya.
Pada kasus DBD, terutama bila terdapat hemokonsentrasi, plasma leakage seperti asites atau efusi pleura dan DSS, cairan yang lebih sering dipakai adalah cairan koloid yaitu gelofusin. Cairan tersebut lebih dipakai karena cairan koloid dapat bertahan di intravaskular lebih lama.
Tatalaksana DBD adalah dengan hidrasi dan simptomatik. Namun, bila pada pasien terdapat infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik. Kondisi lain yang dapat diterapi degan antibiotik pada DBD adalah pada kondisi DSS, perdarahan saluran cerna dan adanya bukti plasma leakage. Pasien DBD perlu dilakukan pemantauan H2T setiap 24 jam untuk mengetahui perkembangan penyakitnya.
Pada kondisi DSS, tatalaksana yang harus dilakukan adalah guyur RL 20 cc/kg/jam (1000 cc/jam bila pasien memiliki BB 50 kg), evaluasi keadaan pasien setiap 120 menit. Bila tekanan darah sistolik naik > 100 mmHg, guyur RL 10 cc/kg/jam (500 cc/jam bila pasien memiliki BB 50 kg). Evaluasi keadaan pasien selama 120 menit. Bila tekanan darah stabil, drip RL 500 cc/4 jam, evaluasi pasien selama 48 jam. Bila tekanan darah sistolik tidak naik, dan HT > 30 vol%, guyur koloid 10 cc/kg/jam (500 cc/jam bila pasien memiliki BB 50 kg), dengan maksimal 1500 cc dalam 24 jam, selebihnya berikan kristaloid. Koloid yang dipilih adalah gelofusin karena tidak mengganggu mekanisme pembekuan darah. Antibiotik yang digunakan dianjurkan yang dapat memproteksi terhadap translokasi bakteri saluran cerna.
4. SOP ANEMIA
Pasien dengan anemia umumnya akan langsung di transfusi dari IGD. Hal ini menyebabkan sulitnya mengetahui penyebab anemia pada pasien karena darahnya sudah tercampur dengan darah donor. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab bila tidak terdapat riwayat perdarahan aktif atau CKD adalah dengan melakukan pemeriksaan morfologi darah tepi (MDT). Bila penyebab dari anemia sudah diketahui, pemeriksaan MDT tidak perlu dilakukan.
Pasien pada ruang rawat perlu ditransfusi bila terdapat perdarahan, CKD, sepsis, leukemia, atau anemia aplastik. Transfusi dilakukan sampai target Hb 10 g/dL. Pada pasien HIV juga perlu ditransfusi PRC bila terdapat anemia, karena pada pasien HIV dalam pengobatan ARV, harus dipertahankan Hb > 10 g/dL. Pengobatan ARV lini pertama yang digunakan umumnya adalah duviral yaitu Lamivudin dan Zidovudin. ARV Zidovudin zidovudin memiliki efek samping yaitu anemia, oleh karena itu Hb pada pasien HIV perlu di observasi lebih lanjut.
Anemia yang harus langsung transfusi adalah bila Hb rendah (< 3 g%), anemia kronis yang tidak disertai dengan perdarahan akut, dan anemia karena perdarahan akut. Bila Hb <3 g%, dapat menimbulkan takikardi dan ancaman gagal jantung, sehingga harus ditransfusi segera. Cairan infus yang dipakai adalah NaCl 0,9%. Cairan NaCl dipakai karena merupakan cairan yang paling fisiologi di dalam tubuh.
Pada pasien anemia berat dengan penyebab yang tidak jelas tatalaksananya adalah infus NaCl 0,9% 6 tpm, pemeriksaan MDT, transfusi bertahap 250 cc/hari, dia pre medikasi Furosemid injeksi untuk mencegah fluid overload. Bila penyebab dari anemia diketahui, dapat dilakukan trasnfusi sesuai kebuhutan. Bila pada pasien Hb tidak mengancam timbulnya decomp atau tidak ada perdarahan akut, transfusi dapat ditunda sampai kedatangan spesialis penyakit dalam. Target Hb post transfusi PRC adalah 10 g/dL, namun pada pasien CKD, target Hb nya adalah 7 – 8 g/dL.
5. SOP HEMATEMESIS MELENA
Hematemesis melena dapat terjadi dengan 2 macam kemungkinan penyebab, yaitu pada pasien sirosis karena pecahnya varises esofagus atau non sirosis yang dapat disebabkan karena gastritis erosifa. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menstabilkan hemodinamik pasien terutama bila terjadi syok hipovolemik. Cairan yang dapat diberikan adalah Infus NaCl 0,9% tanpa Adona, dengan tetesan sesuai hemodinamik pasien. Pada pasien syok, dapat diberikan infus koloid seperti Hemacel. Transfusi PRC dapat dilakukan sesuai hasil Hb pasien.
Kedua, tentukan kemungkinan penyebab secara cepat apakah karena sirosis atau non sirosis. Hal ini penting dalam menentukan pengobatan pasien.
Pada pasien hematemesis melena dengan klinis sirosis, dapat diketahui dalam anamnesis apakah pasien pernah di ligasi sebelumnya, kemudian pada pemeriksaan fisik dapat dilihat apakah terdapat stigmata sirosis hepatis seperti spider nevi, palmar eritema, ginekomastia, atrofi testis, splenomegali, asites, vena kolateral, kaput medusa, dan fetor hepatikum, kemudian pada hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan pansitopenia, SGOT dan SGPT yang meningkat ringan, dan pemeriksaan Albumin.
Bila pasien sudah dipastikan klinis sirosis, tatalaksananya adalah dengan drip Omeprazol 80 mg IV 5 ampul dalam 24 jam selama 2 – 3 kali/24 jam. Omeprazol dibutuhkan untuk mempertahankan pH lambung diatas 6 agar fibrin (hemostasis sekunder) dapat bekerja secara stabil untuk pembekuan darah. Kemudian, berikan vasoaktif Sandostatin drip 2 ampul/4 jam, yang dicampurkan dalam Dextrose 5%, bila perdarahan tetap aktif. Sandostatin (Ocreotide) digunakan untuk menurunkan aliran darah splanknik sehingga darah yang menuju varises esofagus berkurang. Inpepsa dapat diberikan 4 x 15 cc sebagai sitoprotektor. Laktulosa dapat diberikan 4 x 15 cc untuk mengeluarkan bakteri di dalam usus. Antibiotik juga dapat diberikan untuk mengeradikasi bakteri dalam usus, sehingga dapat mencegah ensefalopati hepatikum. Antibiotik yang dapat dipakai adalah Cefotaksim injeksi 3 x 1 gr IV. Bila perdarahan masih aktif, dapat diberikan Vit K 3 x 1 ampul, asam traneksamat 3 x 1 ampul. Pada penyakit hati kronis, dapat terjadi gangguan faktor – faktor pembekuan sehingga aPTT dan PT memanjang. Pada kondisi tersebut dapat dilakukan Transfusi FFP dengan pre medikasi Dexamethason. Transfusi TC (Thrombocyte Concentrate) dapat dilakukan bila trombosit < 50.000/uL dan masih terjadi perdarahan. Diet pada pasien sirosis adalah DH 1 yaitu diet hati 1 dalam bentuk cair 6 x 150 – 200 cc. Diet hati adalah diet rendah protein. Hasil metabolisme protein adalah amonia yang toksik di otak, bila kadar amonia tinggi dapat menyebabkan ensefalopati hepatikum. Sehingga, untuk mencegahnya perlu diberikan diet rendah protein.
Pada pasien dengan klinis non sirosis, biasanya perdarahan lebih cepat berhenti dibandingkan sirosis. Tatalaksana yang dapat diberikan adalah Omeprazol 80 mg IV dilanjutkan 8 mg/jam selama perdarahan aktif dan masif. Kemudian, berikan Sucralfat 4 x 15 cc sebagai sitoprotektor, asam traneksamat 3 x 1 ampul bila perdarahan masih aktif dan antibiotik IV untuk mencegah infeksi. Pasien hematemesis melena dengan klinis non sirosis perlu diberikan diet DL I (Diet Lambung I) cair 6 x 150 – 200 cc. NGT digunakan bila kesadaran pasien menurun dan terjadi perdarahan masif. Pasien dipuasakan bila terjadi perdarahan masif.
6. SOP ASAM BASA ELEKTROLIT
Gangguan asam basa elektrolit yang dapat terjadi adalah asidosis metabolik, asidosis respiratorik, hipokalemia dan hiponatremia (tanpa edema). Asidosis metabolik ditandai dengan turunnya kadar ion HCO3 diikuti dengan penurunan tekanan parsiil CO2 di dalam arteri. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah dengan terapi Bicnat dengan dosis 0,3 x BB x SBE (mmol/L), di drip dalam 24 jam. Pada pasien dengan CKD terapi Bicnat diberikan seluruhnya dalam 24 jam, karena kondisi CKD adalah kondisi irreversible dimana ginjal tidak dapat kembali ke fungsi awalnya. Tidak seperti asidosis metabolik pada KAD (Ketoasidosis Diabetikum). Pada kondisi pasien KAD, pasien di berikan terapi insulin terlebih dahulu untuk menurunkan kadar glukosa darah. Dengan membaiknya kondisi glukosa darah, asidosis metabolik pun akan terkoreksi. Namun, bila kondisi asidosis metabolik tidak terkoreksi, dapat diberikan terapi Bicnat. Terapi diberikan separuh saja dalam 24 jam. Pada pH < 7, diberikan Bicnat 100 mEq dan pada pH 7 – 7,1 diberikan Bicnat 50 mEq/L. Hal ini dikarenakan kondisi KAD sangat reversible, sehingga bila pasien diberikan terapi lebih banyak, dapat menyebabkan alkalosis.
Asidosis respiratorik dapat disebabkan oleh gangguan paru berat atau kelelahan otot pernapasan. Hasil pemeriksaan AGD akan menunjukkan peningkatan P CO2 (hiperkapnia) dan penurunan pH. Pada pasien dengan asidosis respiratorik diberikan bronkodilator atau nebulizer untuk mengatasi asidosis respiratoriknya.
Hipokalemia adalah kadar kalium dalam plasma kurang dari 3,5 mEq/L. Penyebab dari hipokalemia dibagi menjadi tiga yaitu asupan kalium yang kurang, pengeluaran kalium yang berlebihan melalui saluran cerna atau ginjal atau keringat, dan kalium yang masuk ke dalam sel. Gejala klinis yang tampak pada pasien adalah kelemahan pada otot, perasaan lelah, nyeri otot, dan restless legs syndrome. Gejala – gejala tersebut dapat timbul pada keadaan kalium kurang dari 3 mEq/L. Penurunan yang lebih berat dapat menyebabkan kelumpuhan atau rabdomiolisis. Kriteria koreksi pada hipokalemia adalah kadar Kalium < 2,5 mEq/L. Dosis yang diberikan adalah KCl 25 mEq dicampur kedalam NaCl 0,9% 500 cc kemudian di drip 3 – 4 kolf/24 jam. Dibutuhkan dosis 100 mEq untuk menaikan kadar kalium 1 mEq/L.
Hiponatremia terjadi bila jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi atau ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan melalui saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH (Syndrome of Inappropriate ADH – secretion). Kriteria dilakukan koreksi pada kondisi hiponatremia adalah bila kadar Natrium < 120 mEq/L. Koreksi hiponatremia menggunakan NaCl 3% (513 mEq/L). Dosisnya adalah delta Na x 0,6 x BB pasien. Kecepatan tetesan NaCl 3% maksimal 1 kolf/24 jam.
7. SOP TRANSFUSI DARAH INKOMPATIBEL
Sebelum dilakukannya transfusi darah perlu dilakukan uji cocok – silang mayor. Uji cocok – silang mayor dilakukan pada tes pratransfusi. Uji cocok – silang digunakan untuk mengetahui kecocokan darah pasien dengan darah donor invitro, dan tidak akan menimbulkan reaksi. Bila terdapat cross matching yang inkompatibel, PMI akan memberikan surat.
Bila inkompatibel minor +/++, darah masih bisa diberikan kepada pasien, namun pasien harus diberikan pre medikasi Dexamethason injeksi 1 ampul 5 mg/mL dan 1 ampul avil injeksi (pheniramine maleate 22,75 mg/ml). Selain itu, dokter harus menandatangani surat persetujuan darah inkompatibel.
Bila inkompatibel minor +++/++++ maka dokter akan meminta PRC cuci (Washed Erythrocyte atau WE) 300 cc dengan pre transfusi Dexamethason 1 ampul 5 mg/mL dan 1 ampul avil injeksi.
Bila inkompatibel mayor atau inkompatibel mayor yang disertai inkompatibel minor +/++, maka harus dilakukan pemeriksaan lanjutan penyebab dari inkompatibilitas mayornya. Bila hasilnya menunjukkan inkompatibilitas mayor, darah tersebut dapat diberikan dengan pre medikasi Dexamethason injeksi 1 ampul 5 mg/mL dan 1 ampul avil injeksi. Sebelum pemberian darah, dokter harus menandatangani surat persetujuan darah inkompatibel dan pasien pun harus mengisi informed consent transfusi darah inkompatibel. Lakukan pengawasan ketat untuk mengetahui apakah terdapat reaksi transfusi selama pemberian darah.
Bila inkompatibel mayor dan inkompatibel minor +++/++++, maka harus dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui penyebab inkompatibilitas mayornya. Kemudian, meminta PRC Cuci 300 cc dengan pre transfusi Dexamethason 1 ampul 5 mg/mL dan 1 ampul avil injeksi. Sebelum pemberian darah, dokter harus menandatangani surat persetujuan darah inkompatibel dan pasien pun harus mengisi informed consent transfusi darah inkompatibel. Lakukan pengawasan ketat untuk mengetahui apakah terdapat reaksi transfusi selama pemberian darah.
8. SOP ENSEFALOPATI HEPATIKUM
Ensefalopati hepatikum adalah sindrom disfungsi neuropsikiatri yang disebabkan oleh portosystemic venous shunting, dengan atau tanpa penyakit intrinsic liver. Pasien dengan EH sering menunjukkan perubahan status mental mulai dari kelainan psikologik ringan hingga koma dalam. Diperlukan identifikasi segera dan mengatasi faktor pencetusnya, untuk mencegah perburukan keadaan pasien.
Tatalaksana yang harus dilakukan adalah membatasi asupan protein yaitu dengan DH I diet protein 10 gr/hr 30 gr/hr (DH II) 60 gr/hr (DH III) 1,5 gr/kg/hr (DH IV). Hasil metabolisme protein adalah amonia yang toksik di otak, bila kadar amonia tinggi dapat menyebabkan ensefalopati hepatikum. Sehingga, untuk mencegahnya perlu diberikan diet rendah protein. Pemberian antibiotik juga diperlukan untuk mengeradikasi kuman di dalam usus sehingga tidak terjadi perburukan dari ensefalopati hepatikum. Laktulosa dapat diberikan 4 x 15 cc untuk mengeluarkan bakteri di dalam usus. Antibiotik yang digunakan adalah neomisin dan metronidazol. L – Ornitin L – Aspartat (LOLA) digunakan untuk menurunkan kadar amonia dalam tubuh, sehingga memperbaiki keadaan ensefalopati hepatikum. LOLA diberikan 20 gr/hari IV drip selama fase akut. Setelah fase akut teratasi, diberikan dosis maintenance oral 3 x 3 gram. Kemudian, diberikan cairan AARC untuk meningkatkan asupan protein, contohnya adalah Aminofusin Hepar.
9. SOP LABORATORIUM
Dalam meminta pemeriksaan laboratorium, apa yang diminta harus yakin akan berguna untuk menunjang diagnosa pasien. Pemeriksaan paling dasar yang dapat dilakukan adalah H2TL dan Urinalisis. Pemeriksaan ini dilakukan untuk skrining kondisi pasien. Pada H2TL dapat diketahui apakah keluhan pasien organik atau fungsional. Pada Urinalisis kita dapat mendeteksi lebih awal bila terdapat gangguan ginjal atau DM. Dimana pada gangguan ginjal, akan terdapat protein dan silinder di dalam urin pasien dan pada DM terdapat glukosa pada urin.
Pada pasien dengan kondisi demam, bila fokal infeksi tidak jelas dapat dilakukan pemeriksaan widal. Pada pasien DBD, dilakukan pemeriksaan H2TL setiap 24 jam.
Pada pasien dengan kesadaran menurun perlu disingkirkan adanya gangguan metabolik seperti hiperglikemi, hipoglikemi, uremia, ensefalopati hepatikum, hiponatremi, asidosis metabolik berat atau sepsis. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan H2TL, UL, GDs, Ureum, Kreatinin, SGOT, SGPT, atrup dan elektrolit.
Pada pasien dengan hepatitis atau sirosis hati, dilakukan pemeriksaan H2TL, UL, SGOT dan SGPT. Pemeriksaan albumin dilakukan bila terdapat asites masif. Pemeriksaan bilirubin total, direk dan indirek dilakukan bila terdapat ikterik.
Pada pasien dengan CKD, dilakukan pemeriksaan H2TL, UL, ureum, kreatinin, astrup dan elektrolit. Pemeriksaan ureum kreatinin berguna untuk mengetahui perkembangan dari CKD. Pemeriksaan astrup berguna untuk mengetahui apakah terdapat komplikasi dari CKD seperti asidosis metabolik. Pemeriksaan elektrolit dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat komplikasi hiperkalemia.
Pada pasien dengan anemia, dilakukan pemeriksaan MDT bila Hb < 3 g% dan penyebab anemia tidak jelas. Pemeriksaan MDT harus dilakukan sebelum dilakukannya transfusi. Pada anemia karena adanya perdarahan (melena) dimana Hb pasien < 3 g%, boleh langsung diberikan transfusi.
Pada pasien diabetes mellitus, dosis koreksi (sliding scale) dilakukan bila makanan pasien tidak terjamin. Bila makanan terjamin, cukup dilakukan pemeriksaan kurva gula darah harian 3 kali seminggu, pemeriksaan H2TL dan UL.
Pemeriksaan foto thorax cito di IGD dilakukan bila keadaan umum pasien buruk seperti ada kesadaran menurun, klinis sesak, kuatir overload. Pemeriksaan EKG dilakukan pada pasien berusia diatas 45 tahun, terdapat faktor resiko seperti HT, DM, rokok, pernah stroke, pernah infark jantung, atau obesitas.
No comments:
Post a Comment