Bagaimana penatalaksanaan yang tepat untuk mengatasi
rasa nyeri pada penderita diabetes melitus dengan komplikasi Neuropati perifer?
Neuropati adalah
suatu keadaan dimana terjadi penurunan atau hilangnya fungsi serat saraf secara
progresif. Definisi neuropati perifer diabetes secara luas adalah adanya gejala
dan atau tanda-tanda disfungsi saraf perifer pada penderita diabetes setelah
mengesampingkan penyebab (penyakit) lainnya.1
Pada neuropati diabetes rasa nyeri yang ditimbulkan
bukan sekedar merupakan nyeri somatik (somatic
pain) akibat kerusakan jaringan, akan tetapi juga nyeri neurotik (neurotic pain) yang disebabkan oleh terjadi proses abnormal pada neuron berupa hipereksitasi neuron (presynaptic) sehingga menimbulkan
produksi neurotransmitter yang berlebihan. Selain itu juga terjadi kehilangan fungsi inhibisi pada saraf oleh
gangguan metabolisme pada penderita diabetes. Perasaan nyeri pada nyeri neurotik bisa muncul secara
spontan ataupun setelah ada rangsangan, meski inadekuat. Sensasi yang dirasakan
dapat bermacam macam seperti rasa terbakar, tertusuk, dan dapat pula berupa
rasa baal, kesemutan.2
Karena nyeri pada
neuropati diabetes adalah nyeri somatik dan neurotik, obat anti nyeri yang
digunakan tidak cukup hanya obat anti nyeri biasa yang digunakan untuk
mengurangi rasa nyeri akibat penyakit lain.
American Academy of Neurology (AAN), American Academy of Physical Medicine and
Rehabilitation (AANEM) tahun 2011 dan
American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation (AAPMR) dalam
pedoman untuk pengobatan Painful Diabetic
Neuropathy (PDN) merekomendasikan pregabalin untuk pengobatan nyeri
neuropatik diabetik. Mekanisme kerja dari obat ini adalah dengan menekan produksi
dari neurotransmitter dengan cara modulasi Ca
channel dari neuron sehingga pada tahap selanjutnya akan mengurangi
produksi neurotransmitter yang menyebabkan rasa nyeri akibat hipereksitasi
neuron. Selain itu, sejumlah obat, termasuk gabapentin dan antidepresan
trisiklik, juga disarankan sebagai pilihan pengobatan lini pertama untuk nyeri
neuropatik.3
Penggunaan
antidepresan seperti amitriptilin, venlafaxin, dan duloxetine untuk pengobatan
PDN didasarkan pada fakta bahwa permasalahan lain yang hampir selalu menyertai
nyeri pada neuropathic pain adalah
gangguan tidur dan gangguan kejiwaan berupa
anxiety dan depresi yang secara keseluruhan menurunkan kualitas hidup
pasien. Belum ada data pasti yang menunjukkan efikasi dari ketiga obat tersebut
akan tetapi berdasarkan studi meta analisis oleh Chou dkk, ditemukan bahwa baik
gabapentin maupun antidepresan trisiklik menimbulkan efek yang sama dalam
menghilangkan rasa sakit neuropati diabetes ataupun neuralgia postherpetik.4
Pada kasus kasus
yang lanjut dimana kebanyakan sel serabut saraf telah mengalami disintegrasi, respons terhadap pengobatan
semakin kurang. Oleh sebab itulah, selain berbagai macam obat yang digunakan
untuk mengurangi rasa nyeri diatas, kontrol glikemik yang ketat merupakan
terapi yang paling penting untuk memperlambat perkembangan neuropati karena
peningkatan gula darah yang sangat tinggi merupakan penyebab dari stres
metabolik yang sedang berlangsung.
Selain itu, pada kasus kasus yang lanjut, dimana kebanyakan sel serabut
saraf telah mengalami disintegrasi,
respons terhadap pengobatan semakin kurang. 5
2. Pourmand R. Diabetic neuropathy. Neurol
Clin. 1997 Aug. 15(3):569-76.
3. Dworkin RH, O'Connor AB, Backonja M, Farrar JT,
Finnerup NB, Jensen TS, Kalso EA, Loeser JD, Miaskowski C, Nurmikko TJ,
Portenoy RK, Rice AS, Stacey BR, Treede RD, Turk DC, Wallace MS Pain. 2007 Dec
5; 132(3):237-51.
4. Chou R, Carson S, Chan BK. Gabapentin versus
tricyclic antidepressants for diabetic neuropathy and post-herpetic neuralgia:
discrepancies between direct and indirect meta-analyses of randomized
controlled trials. J Gen Intern Med. 2009 Feb.
24(2):178-88.
5. Skyler JS.
Diabetic complications. The importance of glucose control. Endocrinol
Metab Clin North Am. 1996 Jun. 25(2):243-54.
Kapan
pasien Infeksi Saluran Kemih harus di rawat inap?
Infeksi saluran kemih atau ISK merupakan istilah umum
yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin. Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria) menunjukkan pertumbuhan
mikroorganisme murni lebih dari sama dengan 105 colony forming units pada biakan urin.1
ISK terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan sejauh mana
infeksi banteri mengenai keterlibatan traktus urinarius, yaitu ISK atas dan
bawah yang dibatasi oleh valvula uretovesika. ISK Bawah pada perempuan adalah
sistitis dan Sindrom Uretra Akut (SUA) sedangkan pada laki-laki adalah
sistitis, prostatitis, epididymitis, dan uretitis. Tidak semua ISK menunjukan presentasi klinis
(asimtomatik) terutama pada ISK bawah yang lebih sering dialami oleh perempuan.1
Pada ISK atas, penyebab utamanya adalah infeksi
bakteri yang terjadi secara ascending
dan tidak jarang merupakan komplikasi dari ISK bawah. ISK atas atau yang secara
spesifik disebut pielonefritis dapat terjadi secara akut dan kronik.
Pielonefritis akut diakibatkan oleh invasi bakteri pada parenkim ginjal. Selain
karena infeksi secara ascending, bakteri juga bisa mencapai ginjal melalui
aliran darah.
Kuman-kuman yang
sering adalah Escheria coli,Proteus, Klebsiella spp, dan kokus gram
positif.1
Presentasi klasik pada pasien dengan pielonefritis
akut adalah demam tinggi, nyeri perut hingga pinggang (sudut costovertebral),
mual dan atau muntah bahkan anoreksia. Selain itu, penderita juga dapat
mengalami disuria, hematuria, dan urgensi. Oleh sebab itu, banyak pasien dengan
pielonefritis akut yang memerlukan penanganan secara cepat. Presentasi klinis
tersebut lebih sering dialami oleh orang dewasa dan jarang dialami oleh
anak-anak, terutama pada anak usia 2 tahun atau lebih muda.2
Pielonefritis kronis ditandai dengan adanya peradangan
ginjal dan terbentuknya fibrosis yang disebabkan oleh infeksi ginjal berulang
atau persisten, refluks vesikoureteral, atau penyebab penyumbatan saluran kemih
lainnya. Pada pielonefritis kronik, manifestasi klinis tidak muncul dengan
jelas seperti pada keadaan akut, dan terjadi pada pasien dengan anomali anatomi
mayor, paling sering pada anak kecil terutama yang berusia dibawah 2 tahun, dengan
vesicourethral reflux (VUR).3
Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan
adalah hematologi lengkap dan analisa urin. Secara khusus, adanya nitrit dan
sel darah putih pada strip tes urin pada pasien dengan gejala khas cukup untuk
diagnosis pielonefritis, dan merupakan indikasi untuk pengobatan empiris.
Kultur mikrobiologi urin dan uji sensitivitas antibiotik, dengan atau tanpa
kultur mikrobiologi darah harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan
menentukan antibiotik yang paling tepat sebagai terapi. Selain pemeriksaan lab,
pemeriksaan imaging berupa CT scan dan USG juga dapat dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding dan membantu menegakkan diagnosis.4
Pada pasien pielonefritis akut yang disertai demam
tinggi dan leukositosis biasanya dirawat di rumah sakit untuk diberikan hidrasi
intravena dan perawatan antibiotik intravena. Pengobatan biasanya dimulai
dengan fluoroquinolone intravena, aminoglikosida, penisilin spektrum luas,
sefalosporin, atau karbapenem. Kombinasi terapi antibiotik sering dilakukan.
Regimen pengobatan dipilih berdasarkan data resistensi lokal dan profil
kerentanan organisme perusak spesifik.5
Karena kebanyakan kasus pielonefritis disebabkan oleh
infeksi bakteri, antibiotik merupakan pengobatan utama. Pilihan antibiotik
tergantung pada profil spesies bakteri dan profil sensitivitas antibiotik.
Beberapa golongan yang sering digunakan untuk mengeradikasi bakteri penyebab
pielonefritis adalah florokuinolon, sefalosporin, aminoglikosida, atau
trimetoprim / sulfametoksazol, baik tunggal atau kombinasi. Untuk ISK bawah,
dan pielonefritis kronik tampa komplikasi, terapi yang digunakan adalah
antibiotik oral sehingga pasien tidak perlu dirawat dirumah sakit.5
1. Tanagho, Emil A. Smith's General Urology.
Mc Graw Hill Medical. 2008.
2. Cabellon,
MCL. Chapter 8: Urinary Tract Infections. In Starlin, R. The Washington Manual:
Infectious diseases subspecialty consult (1st ed.). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. 2005. pp. 95–108.
3. Guarino
N, Casamassima MG, Tadini B, et al. Natural history of vesicoureteral reflux
associated with kidney anomalies. Urology. 2005 Jun. 65(6):1208-11.
4. Ramakrishnan
K, Scheid DC. Diagnosis and management of acute pyelonephritis in adults.
American Family Physician. 2005; 71 (5): 933–42.
5. Gupta
K, Hooton TM, et al. International Clinical Practice Guidelines for the
Treatment of Acute Uncomplicated Cystitis and Pyelonephritis in Women: A 2010
Update by the Infectious Diseases Society of America and the European Society
for Microbiology and Infectious Diseases. Clinical Infectious Diseases. 2011; 52
(5): e103–20.
Mengapa
terapi cairan intravena pada pasien lansia perlu diperhatikan?
Penuaan dikaitkan dengan penurunan fungsi fisiologis
dan terganggunya kemampuan seseorang untuk mengkompensasi fluktuasi kondisi
lingkungan. Perubahan pada oorgan tertentu seperti jantung dan ginjal mengakibatkan lansia lebih
rentan terhadap perubahan volume cairan dalam tubuh maupun ketidakseimbangan
elektrolit. Terapi cairan yang berlebihan (hipervolemia) dapat menyebabkan
komplikasi yaitu gagal jantung kongestif atau chronic heart failure (CHF) yang
juga berkorelasi dengan hiponatremia.1
Pada lansia, perubahan struktural maupun fungsional
terjadi pada organ jantung. Perubahan struktural yang terjadi adalah kekakuan
vaskular, peningkatan ketebalan dinding ventrikel (dalam batas normal) dan
fibrosis. Pada tahap selanjutnya keadaan tersebut akan menyebabkan disfungsi
diastolik, peningkatan afterload, dan
Heart Failure with preserved ejection
fraction (HFPEF).2
Perubahan Fungsional yang terjadi pada jantung
meliputi perubahan denyut jantung maksimal, volume sistolik akhir (end-systolic volume / ESV), volume
diastolik akhir (end-dyastolic volume /
EDV), kontraktilitas, kontraksi sistolik yang berkepanjangan, relaksasi
diastolik yang berkepanjangan, sinyal simpatik, dll. Keadaan tersebut
menyebabkan turunnya daya kompensasi jantung usia untuk merespons peningkatan
beban kerja.2
Terapi cairan
intravena yang berlebihan akan meningkatkan preload. Pada lansia dengan
perubahan struktural dan fungsional jantung, preload yang berlebihan ini akan
menjadi penyebab terjadinya gagal jantung kongestif karena jantung gagal untuk
mengkompensasi keadaan tersebut. Oleh sebab itulah, pemberian cairan intraven
apada lansia terutama pada pasien sengan penyakit degeneratif atau yang
mempunyai riwayat penyakit ginjal maupupn jantung harus dimonitoring secara
intensif guna mencegah terjadinya kelebihan pemberian cairan.
2. Strait
JB, Lakatta EG. Aging-associated cardiovascular changes and their relationship
to heart failure. Heart Fail Clin. 2012 Jan; 8(1): 143–164.
Kapan transfusi darah dapat diberikan pada pasien
dengan anemia?
Anemia merupakan penurunan massa sel darah merah atau red blood cells (RBC). Fungsi RBC adalah
mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbon dioksida dari
jaringan ke paru-paru. Fungsi tersebut difasilitasi oleh hemoglobin (Hb),
protein tetramer yang terdiri dari heme dan globin. Pada anemia, terjadi
penurunan jumlah sel darah merah yang mengangkut oksigen dan karbon dioksida.1
Oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1968,
anemia didefinisikan sebagai penurunan kadar hemoglobin (Hb) di bawah 13 g / dl
pada pria dan di bawah 12 g / dl pada wanita.2
Anemia merupakan salah satu akibat dari berbagai macam
penyakit dan kondisi tubuh. Secara umum, tiga penyebab utama anemia adalah
perdarahan, penurunan produksi eritrosit, dan peningkatan destruksi eritrosit.
Penyebab perdarahan meliputi trauma dan perdarahan gastrointestinal, penyebab
penurunan produksi meliputi kekurangan zat besi, kekurangan vitamin B12,
talasemia, dan sejumlah neoplasma sumsum tulang. Sedangkan penyebab peningkatan
destruksi mencakup sejumlah kondisi genetik seperti anemia sel sabit, infeksi
seperti malaria, dan penyakit autoimun tertentu.3
Terapi anemia disesuaikan dengan penyebab anemia itu
sendiri. Salah satu terapi umum anemia adalah transfusi darah atau Packed Red Cell (PRC). Indikasi
transfusi darah adalah jika kadar hemoglobin ≤7 g / dL untuk orang dewasa yang
memiliki status hemodinamik stabil, termasuk untuk mereka yang sedang berada
dalam keadaan kritis, dan ≤8 g / dL
untuk pasien dengan penyakit kardiovaskular atau pasien yang akan menjalani
operasi jantung atau ortopedi. Target transfusi darah adalah hb ≥10 g / dL.4
Pada praktik klinis, penurunan Hb tidak perlu secara
terburu-buru dikoreksi dengan transfusi darah terutama apabila penyebab dari
anemia itu sendiri belum diketahui (bukan karena perdarahah atau syok
hypovolemia) dan keadaan klinis pasien tidak terlalu buruk. Hal tersebut
dikarenakan pemberian transfusi darah yang terlalu dini dapat “menutupi” anemia
untuk sementara waktu (meningkatkan Hb darah) akan tetapi penyebab sesungguhnya
tidak tertanggulangi sehingga kemungkinan terjadinya anemia berulang juga
semakin besar.
Berdasarkan protokol transfusi darah oleh WHO, obat-obatan
atau cairan lainnya tidak boleh disuntikkan ke dalam saluran yang sama dengan
saluran transfusi darah dan komponen darah. Pengecualiannya adalah garam normal
(natrium klorida 0,9%) yang dapat digunakan dalam keadaan khusus, misalnya jika
pada saat transfusi darah alirannya lambat karena terjadi peningkatan hemtokrit
atau pada saat menunggu ketersediaan kantung darah.5
Jika transfusi diindikasikan, pasien geriatri harus
ditransfusi dengan kecepatan yang lebih lambat daripada orang dewasa muda dan
dianjurkan untuk diberikan premedikasi diuretik, dapat berupa furosemid
sebanyak 1 ampul.6
2. Beutler
E, Waalen J. The definition of anemia: What is the lower limit of normal of the
blood hemoglobin concentration?. Blood Journal. 2006; 107: 1747-50.
3. Janz
TG, Johnson RL, Rubenstein SD. Anemia in the emergency department: evaluation
and treatment. Emergency medicine practice. 2013 Nov. 15 (11): 1–15; quiz 15–6.
4. Carson
JL, Guyatt G, Heddle NM, Grossman BJ, Cohn CS, Fung MK, et al. Clinical
Practice Guidelines From the AABB: Red Blood Cell Transfusion Thresholds and
Storage. JAMA. 2016 Nov 15;316(19):2025-2035.
6. Beyer
I, Compté N, Busuioc A, Cappelle S, Lanoy C, Cytryn E. Anemia and transfusions
in geriatric patients: a time for evaluation. Hematology. 2010
Apr;15(2):116-21.
CRP vs PCT?.
Baik CRP (C- Reactive Protein) maupun PCT (Procalcitonin) merupakan protein yang meningkat
ketika terjadi inflamasi akut.CRP adalah suatu
protein yang diproduksi di hati dan akan meningkat pada kondisi inflames. Tidak
jarang CRP diperiksa sebagai pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis
penyakit-penyakit seperti Rheumatoid
Arthritis (RA), Chron’s disease, Acute Miocardial Infark, dan lainnya.
CRP juga diperiksan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi antibiotik, karena CRP
serum akan menurun seiring dengan pemulihan sepsis, meskipun CRP itu sendiri
merupakan penanda yang sangat tidak spesifik untuk sepsis. Pemeriksaan kadar
CRP serum membutuhkan biaya yang relatif murah.1 Nilai normal CRP
adalah 0-10 mg/L, sedangkan nilai normal high
sensitivity CRP (hs-CRP) adalah < 3 mg/L.2 Karena tingkat CRP awal sering meningkat
sebagai akibat dari kondisi inflamasi kronis pada pasien dengan penyakit
komorbid tertentu, pemeriksaan CRP dianjurkan untuk dilakukan sebanyak beberapa
kali.3
Procalcitonin
(PCT) adalah prekursor peptida untuk hormon kalsitonin, yang terlibat dalam
homeostasis kalsium. PCT terdiri dari 116 asam amino dan diproduksi oleh sel
parafollikular (sel C) tiroid dan oleh sel neuroendokrin paru-paru dan usus.4
Pengukuran procalcitonin dapat digunakan sebagai
penanda terjadinya sepsis berat yang disebabkan oleh bakteri dan umumnya dapat
menilai dengan tingkat keparahan sepsis, walaupun kadar prokalsitonin dalam
darah sangat rendah. PCT memiliki sensitivitas sebesar (85%) dan spesifisitas
(91%) untuk membedakan pasien dengan sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS)
pada pasien sepsis.5
Peningkatan PCT ringan (0,15-2 ng/mL) dapat mrnunjukan
adanya infeksi bakteri yang ringan-sedang dan terlokalisir, dan gagal ginjal terminal. Sedangkan
peningkatan PCT serum >2 ng/mL menunjukkan terjadinya bacterial sepsis
maupun infeksi bakteri tingkat parah yang terlokalisir seperti pneumonia,
meningitis dan peritonitis.
1. Vincent
JL, Donadello K, Schmit X. Biomarkers in the critically ill patient: C-reactive
protein. Crit. Care Clin. 2011; 27(2), 241–251.
2. McPherson RA, Matthew R. Pincus MR. Henry's Clinical
Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 22nd ed. Elsevier Saunders:
Philadelphia; 2011. 254-5.
3. Póvoa P, Coelho L, Almeida E et al. C-reactive protein
as a marker of infection in critically ill patients. Clin. Microbiol. Infect. 2005;
11(2), 101–108.
4. Deftos
LJ, Roos BA, Parthemore JG. "Calcium and skeletal metabolism.. Western
Journal of Medicine. 1975-12-0; 123 (6): 447–458.
5. Meisner
M, Tschaikowsky K, Palmaers T, Schmidt J. Comparison of Procalcitonin (PCT)
and C-reactive Protein (CRP) plasma concentrations at different SOFA scores
during the course of sepsis and MODS. Critical Care. 1999; 3 (1): 45–50.
6. Simon
L, Gauvin F, Amre DK, Saint-Louis P, Lacroix J, et al. Serum procalcitonin and
C-reactive protein levels as markers of bacterial infection: a systematic
review and meta-analysis. Clinical Infectious Diseases. 2004; 39:206-17.
Mengapa
Allopurinol tidak dapat digunakan pada serangan akut artritis gout?
Artritis gout
adalah bentuk arthritis inflamasi yang ditandai dengan serangan berulang pada
sendi dimana sendi berwarna kemerahan, terasa nyeri, teraba hangat, dan
bengkak. Predileksi artritis gout adalah Sendi metatarsal I (jempol kaki).1
Artritis gout disebabkan oleh peningkatan kadar asam
urat dalam darah yang diperngaruhi oleh faktor diet dan genetik. Pada tingkat
tertentu, asam urat dalam darah akan mengkristal dan kristal tersebut akan
terdeposit pada sendi, tendon dan jaringan sekitarnya, mengakibatkan artritis
gout.2
Pada serangan akut, gout diterapi dengan kolkisin.
Kolkisin akan menghambat respons inflamasi akut dengan cara menghambat adhesi,
motilitas, dan kemotaksis neutrofil, menghambat aktivasi fosfolipase A2,
penjabaran faktor pengaktifan platelet dan leukotrien B4, menghambat pelepasan
histamin oleh sel mast, dan mengganggu fungsi reseptor Tumor Necrosis Factor (TNF) - α pada makrofag dan sel endotel
sehingga akan mencegah proses infalmasi lokal lebih lanjut pada sendi yang
terkena. Dosis awal kolkisin adalah 0,5 - 1,2 mg diikuti dengan 0,5 mg tiap 2
jam sampai nyeri mereda. Profilaksis jangka pendek selama awal terapi dengan
alopurinol dan obat orikusurik : satu kali seminggu atau satu kali sehari 0,5
mg.3
Obat asam urat lain yaitu Allopurinol, akan diubah ke
dalam bentuk aktif menjadi oxypurinol. Oxypurinol akan menghambat enzim xanthin
oxidase sehingga mengurangi terbentuknya asam urat. Obat ini digunakan untuk
menurunkan kadar asam urat darah yang tinggi. Dosis maksimum allopurinol adalah
800 mg per hari.4
Pada serangan akut, allopurinol tidak dianjurkan untuk
dikomsumsi. Penurunan urat serum secara mendadak setelah pemakaian allopurinol
sering memicu artritis gout akut. Kolkisin profilaksis atau NSAID
direkomendasikan, dimulai 2 minggu sebelum pemakaian allopurinol bila
memungkinkan, dan berlanjut dengan pemakaian allopurinol selama 3-6 bulan untuk
mencegah serangan. Alternatif lain adalah dengan memulai allopurinol pada
50-100 mg / hari dan meningkat dengan penambahan yang sama setiap minggu sampai
target asam urat serum tercapai.4
1. Chen LX, Schumacher HR (October 2008).
"Gout: an evidence-based review". J Clin Rheumatol. 14 (5 Suppl): S55–6.
2. Richette P, Bardin T. Gout. Lancet. January
2010; 375(9711): 318–28.
3. Molad Y. Update on
colchicine and its mechanism of action. 2002. Curr Rheum Rep 4:
252–256.
4. Pacher
P, Nivorozhkin A, Szabó C . Therapeutic effects of xanthine oxidase inhibitors:
renaissance half a century after the discovery of allopurinol. Pharmacological
Reviews. 2006; 58 (1): 87–114.
5. Burns
CM, Wortmann R. Latest evidence on gout management: what the clinician needs to
know. Ther Adv Chronic Dis. 2012 Nov; 3(6): 271–286.