BIMBINGAN IPD 18 - SIROSIS HEPATIS DAN KOMPLIKASINYA
Jumat, 2 Juni 2017
Disampaikan oleh:
dr. Suzanna Ndraha, Sp.PD, KGEH, FINASIM
Diringkas oleh:
Cicilia Desynta
Sirosis Hepatis
Sirosis
hepatis merupakan keadaan patologik yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Sirosis hati dapat tidak
menimbulkan gejala bila tanpa hipertensi portal, tetapi bila disertai dengan
hipertensi portal maka berbagai komplikasi akan muncul. Selain akibat alkohol
dan infeksi, sirosis hati sebenarnya dapat disebabkan oleh berbagai macam
diantaranya yaitu penyakit billiaris, bendungan hati kronik, gangguan metabolic, zat
hepatotoksik, maupun faktor keturunan. Berdasarkan morfologinya, sirosis
dibedakan menjadi mikronoduler, makronoduler, dan campuran antara mikronoduler
dan makronoduler. Pada sirosis mikronoduler, nodul uniform dengan diameter
kurang dari 3mm dan penyebabnya karena alcohol, hemokromatosis, obstruksi
bilier maupun vena. Sedangkan pada sirosis makronoduler, nodul bervariasi
dengan diameter lebih dari 3mm dan biasanya karena hepatitis B atau C kronik,
defisiensi alfa-1-antitripsin, dan sirosis bilier primer.
Gejala awal yaitu berupa gejala ringan
seperti keluhan lemas, mudah lelah, nafsu makan berkurang, kembung, mual, dan
berat badan menurun. Pada tahap lebih lanjut yaitu rambut berkurang, gangguan
tidur, demam ringan, perdarahan gusi/ atau mimisan atau hematemesis melena,
asites, ikterus, dan gangguan mental. Seseorang dengan sirosis hati memiliki
tanda patognomonik diantaranya dapat ditemukan spider naevi, vena kolateral,
caput medusa, asites, terry’s nails (white nails), muehcrhe’s nails, maupun
palmar erythema pada pemeriksaan fisik. Stadium sirosis hati menurut konsensus
Baveno IV yaitu:
KOMPENSATA
|
DEKOMPENSATA
|
Stadium 1: varises (-), asites (-)
Stadium 2: varises (+), asites (-)
|
Stadium 3: asites
(+), varises (+/-)
Stadium 4:
perdarahan (+), asites (+/-)
|
Pada
pemeriksaan laboratorium akan ditemukan peningkatan SGOT dan SGPT ringan,
alkali fosfatase meningkat ringan, bilirubin normal (meningkat bila
dekompensata), albumin turun dan globulin meningkat, masa protrombin memanjang
karena hati tidak dapat memproduksi faktor pembekuan, dan natrium menurun bila
terjadi asites. Selain pemeriksaan laboratorium, dapat dilakukan USG rutin
untuk pemeriksaan awal didapatkan hati mengecil dengan permukaan yang tidak
rata. Biopsi hati dilakukan untuk diagnosis secara pasti, dan barium meal (OMD)
atau esofago-gastro-duodenoskopi (EGD) untuk mendeteksi adanya varises pada
pasien dengan hematemesis melena. Sirosis hati dapat menyebabkan berbagai macam
komplikasi diantaranya asites, peritonitis bacterial spontan, sindroma
hepatorenal, hematemesis melena akibat pecahnya varises esophagus, ensefalopati
hepatikum, dan sindrom hepatorenal.
Untuk penatalaksanaan pada sirosis hati
yang kompensata (yaitu yang tidak terdapat komplikasi) berupa diet 35-40
kkal/kgBB, protein 1,2gr/kgBB pada seseorang dengan gizi baik dan 1,5g/kgBB
pada malnutrisi, hindari bahan-bahan yang menambah kerusakan hati seperti
alkohol. Pada pasien sirosis karena hepatitis B dapat diberikan antiviral bila
HBV DNA >2.000 IU/mL (>104 copy /mL), atau apabila disebabkan
oleh hepatitis C kompensata dapat diberi sofosbuvir 400mg dan daclatasvir 60mg oral
selama 6 bulan, atau diberikan steroid bila sirosis karena hepatitis autoimun. Sedangkan
penatalaksanaan sirosis hati dekompensata dilakukan sesuai dengan
komplikasinya. Prognosis pasien dengan sirosis hati dapat dinilai berdasarkan pada
kriteria Child-Pugh dimana bila skor berjumlah 5-6 termasuk dalam kelas A, skor
7-9 yaitu kelas B, dan skor 10-15 yaitu kelas C.
Parameter
|
Ringan (1 poin)
|
Sedang (2 poin)
|
Berat (3 poin)
|
Bilirubin
serum (mg/dl)
|
<2
|
2-3
|
>3
|
Albumin
serum (g/dl)
|
>3,5
|
2,8-3,5
|
<2,8
|
MAsa
protrombin (detik)
|
<3,5
|
4-6
|
>6
|
INR
|
<1,7
|
1,8-2,3
|
>2,3
|
Asites
|
-
|
Terkontrol
|
Tidak
terkontrol
|
Ensefalopati
|
-
|
Minimal
|
Berat
|
KOMPLIKASI SIROSIS HEPATIS:
Asites
Asites adalah penimbunan cairan
abnormal di peritoneum dimana hal ini terjadi akibat fungsi hati yang menurun
sehingga produksi albumin juga menjadi menurun. Kadar albumin yang rendah ini
menyebabkan mudah terjadinya ekstravasasi cairan. dimana fungsi albumin salah
satunya yaitu untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma. Ekstravasasi cairan
juga terjadi akibat hipertensi porta yang menyebabkan tekanan hidrostatik
intravaskuler meningkat. Pada sirosis hati dan hipertensi portal, penimbunan
cairan yang terjadi yaitu berupa transudate sedangkan pada keganasan dan
tuberculosis yaitu berupa eksudat.
Klasifikasi asites dibagi dalam 3
tingkatan diantaranya grade 1 (mild) dimana asites hanya diketahui dengan
pemeriksaan USG dan pada pemeriksaan shifting dullness hasil negatif, grade 2
(moderate) yaitu asites menyebabkan distensi abdomen yang simetris, dan pada grade
3 (large) asites menyebabkan distensi abdomen yang khas. Selain melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik, untuk menegakkan diagnosis asites pada sirosis
hati dapat dilakukan parasintese dengan hasil cairan berwarna kuning jernih lalu
cairan pungsi tersebut selanjutnya diperiksa di laboratorium. Bila sel PMN
meningkat artinya terjadi peritonitis bacterial spontan tetapi bila sel MN
meningkat penyebabnya karena tuberculosis. Lalu pemeriksaan Serum Ascites
Albumin Gradient (SAAG) untuk membedakan apakah asites yang dialami disebabkan
oleh penyakit non-peritoneal seperti hipertensi portal, hipoalbuminemia, tumor
ovarium atau penyakit peritoneum seperti keganasanan, peritonitis-tuberculosis
dan lain-lain. Penatalaksanaan asites yaitu pertama tirah baring, dimana pada tirah
baring aktivitas simpatis dan sistem RAA akan menurun dan terjadi perbaikan
aliran darah ginjal sehingga diuretika akan membaik. Kedua yaitu diet rendah
garam 2 gram per hari dan batasi cairan 1000cc per hari. Pemberian obat seperti
spironolakton (anti aldosteronisme) 100-200 mg pada asites yang disebabkan oleh
sirosis hati, dimana asites terjadi karena reabsorbsi Na dan air akibat hiperaldosteronisme,
bila perlu ditambah dengan furosemid 20-40 mg bila ada edema tungkai. Hal ini
dilakukan sampai target tercapai yaitu penurunan berat badan 0,5kg per hari
pada pasien tanpa edema atau 1kg per hari pada pasien dengan edema. Sedangkan
pada asites masif, perlu dilakukan parasintesis sebanyak lebih dari 5 liter
disertai dengan pemberian albumin karena resiko terjadinya sindrom hepatorenal.
Setiap liter yang dikeluarkan diganti dengan 6-8 gram albumin parenteral dan
parasinetesis ini tidak dianjurkan pada pasien dengan prognosis child-pugh
kelas C.
Peritonitis Bakterial Spontan
Peritonitis bacterial spontan pada
sirosis hati terjadi karena cairan yang terkumpul di peritoneum tidak mampu
menghambat invasi bakteri gram negatif dari usus sehingga terjadilah infeksi.
Infeksi ini dapat tidak menimbulkan keluhan tetapi sebagian mengeluh demam,
menggigil, nyeri tekan abdomen, rasa tidak enak di perut, maupun diare. Peritonitis
bacterial spontan ini mudah terjadi pada pasien asites dengan kadar albumin
yang rendah, dimana pasien dengan peritonitis bacterial spontan memiliki resiko
sindrom hepatorenal yang berujung pada gagal ginjal. Tatalaksananya yaitu
dilakukan parasentesis dan juga pemberian antibiotic meropenem atau imipenem
(golongan sefalosporin generasi IV). Selain itu, pemberian albumin juga penting
untuk mencegah terjadinya sindrom hepatorenal.
Sindrom Hepatorenal
Sindroma Hepatorenal (SHR) adalah gangguan fungsi ginjal sekunder pada
penyakit hati berat, baik akut maupun kronik. Sindrom hepatorenal pada sirosis
hati terjadi karena hipertensi portal lalu terjadi vasodilatasi arteri splankik
sehingga terjadi hipovolemi arteri sentral. Keadaan hipovolemi ini akan
mengaktivasi saraf simpatis, RAA sistem, dan hormon anti diuretik sehingga
vasokonstriksi renal meningkat.
Pasien
dengan sindrom hepatorenal tipe 1 perjalanan penyakitnya sangat progresif
dimana terjadi penurunan kreatinin dua kali lipat dan peningkatan creatinine
clearance test (CCT) 50% mecapai 20 ml per menit dalam 2 minggu. Sedangkan pada
tipe 2 perjalanan penyakit lebih kronik, penurunan Glomerular Filtration Rate
(GFR) lebih lambat dan angka harapan hidup lebih lama dibanding tipe 1. Penatalaksanaannya
yaitu hindari diuretic yang agresif, parasintesis asites, dan restriksi cairan
berlebihan. Yang perlu dilakukan adalah diet tinggi kalori rendah protein, koreksi
keseimbangan asam basa, hindari OAINS, cegah ensefalopati hepatikum, dan
apabila ada peritonitis bacterial spontan segera atasi sedini dan seadekuat mungkin
disertai dengan pemberian albumin. Sedangkan tindakan invasive yang dapat
dilakukan yaitu transplantasi hati dan ginjal karena prognosis umumnya buruk
dan dapat berujung pada kematian.
Ensefalopati Hepatikum
Ensefalopati
hepatikum adalah sindrom neuropsikiatri yang dijumpai pada gagal fungsi hati
baik akut maupun kronik. Ensefalopati ini dapat berubah menjadi koma dimana
pada koma hepatik akut terjadi kerusakan parenkim hati yang fulminan tanpa
faktor pencetus, yang disebabkan oleh hepatitis virus akut, hepatitis toksik
obat, dan perlemakan hati akut pada kehamilan. Sedangkan pada koma hepatik
kronik (koma portosistemik) terjadi kerusakan parenkim hati yang fulminan
dengan faktor pencetus antara lain azotemia, sedatif, analgetik, perdarahan
gastrointestinal, infeksi, obstipasi, diuretik, dan lain-lain. Ada beberapa
teori patogenesis terjadinya ensefalopati hepatikum dimana yang sering
digunakan adalah teori hipotesis amoniak yang menyebutkan degradasi protein
oleh bakteri usus akan diubah menjadi ammonia lalu oleh sel hati akan diubah
menjadi urea dan glutamin. Tetapi pada sirosis hati kadar ammonia dalam darah
akan meningkat karena sel hati tidak dapat mengubah ammonia. Ammonia yang
bersifat neurotoksin ini akan menyebabkan edema otak lalu menimbulkan
ensefalopati hepatikum.
Gejala pada
fase awal, akan terjadi perubahan pola tidur dengan keluhan lain seperti mudah
tersinggung, penurunan konsentrasi dan kemampuan berhitung, kehilangan memori,
bingung, dan terjadi penurunan kesadaran secara bertahap yang pada fase lanjut
akan terjadi koma dan kematian. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran
menurun mulai dari apatis-delirium-somnolen-sopor-koma, dan flapping tremor.
Tingkat derajat ensefalopati diantaranya yaitu:
Tingkat
|
Gejala
|
Tanda
|
EEG
|
Prodromal
|
Afektif hilang, euphoria, depresi,
apati, kelakuan tidak wajar, perubahan kebiasaan tidur
|
Asteriksis, kesulitan bicara dan
menulis
|
(+)
|
Koma
mengancam
|
Kebingungan, disorientasi, mengantuk
|
Asteriksis, fetor hepatik
|
(++)
|
Koma ringan
|
Kebingungan nyata, dapat bangun
dari tidur, bereaksi terhadap rangsangan
|
Asteriksis, fetor hepatic, lengan
kaku, hipereflek, klonus, reflek menggenggam, menghisap
|
(+++)
|
Koma dalam
|
Tidak sadar, hilang reaksi rangsangan
|
Fetor hepatic, tonus otot hilang
|
(++++)
|
Diagnosis ensefalopati hepatikum ditegakkan apabila klinis didapatkan kesadaran menurun dan flapping tremor, dan hasil pemeriksaan yang positif pada EEG, tes psikometri dan kadar ammonia darah tinggi. Tatalaksananya yaitu atasi faktor pencetus lalu untuk menurunkan pembentukan toksin nitrogen ke jaringan otak dengan pemberian protein 10 gram per hari lalu dinaikkan menjadi 20 gram, 40 gram, dan 60 gram. Dapat juga diberi laktulosa 60-120 ml per hari dimana laktulosa akan terhidrolisa menjadi asam organic dan pH yang asam ini akan menghambat penyerapan ammonia, pemberian antibiotic (nemoisin, metronidazole), klisma, dan L-Ornitin L-aspartat untuk menurunkan kadar ammonia darah sebanyak 20 gram drip intravena pada fase akut lalu diganti oral 3 kali sehari 3 gram.
No comments:
Post a Comment