Tuesday, August 25, 2020

Ketoasidosis Diabetikum (Diabetic Ketoacidosis)

Disampaikan oleh

dr. Suzanna Ndraha. SpPD, KGEH, FINASIM

Diringkas oleh 

Raymond Agung Wibisono

 






SEMOGA BERMANFAAT 💪💪🙏🙏

Monday, August 24, 2020

Ujian DOPS (Direct Observation of Procedural Skills)

 

Disampaikan oleh

 


dr. Suzanna Ndraha., SpPD., KGEH., FINASIM

 

Diringkas oleh

 

Augustinus Yohanes

  

Ujian DOPS (Direct Observation of Procedural Skills) merupakan salah satu ujian tindakan sesuai dengan prosedur yang ada pada pasien yang akan ditangani. Dalam Ujian DOPS, hal-hal yang akan dilakukan yaitu berupa tindakan pemasangan infus, pemasangan kateter, pemasangan NGT, melakukan penyuluhan pada pasien berupa edukasi dan tindakan procedural lain. Ujian ini lebih mengarah pada keterampilan skill peserta didik dalam melakukan tindakan procedural. Peserta didik akan berhadapan dan mengobservasi secara langsung pasien yang akan ditangani. Setelah ujian dijalani, penguji akan memberikan feedback kepada peserta didik apa saja kekurangan dan kelebihan dari peserta didik tersebut, sehingga peserta didik mengetahui hal apa saja yang kurang pada saat ujian berlangsung. Ujian DOPS, merupakan bagian tertinggi dari Piramida Miller, dimana peserta didik diharuskan untuk melakukan tindakan secara langsung kepada pasien sesuai dengan prosedur yang ada.

 

Sumber Video

https://www.youtube.com/watch?v=th032d3NzeU

 

Akhir kata saya sebagai penulis berterima-kasih kepada dr. Suzanna Ndraha, SpPD, KGEH, FINASIM yang sudah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat menulis dalam blog ini, mohon maaf jika dalam penyusunan blog ini masih terdapat kesalahan. Terima Kasih, Semoga Bermanfaat.

PENYAKIT GINJAL KRONIK DI INSTALASI GAWAT DARURAT

 Disampaikan oleh


dr Suzanna Ndraha SpPD KGEH FINASIM

 

Diringkas oleh


Augustinus Yohanes

 

Penyakit ginjal kronik atau dalam bahasa medis yang sering dikenal dengan Chronic Kidney Disease, adalah penurunan progresif fungsi ginjal dalam beberapa bulan atau tahun. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kelainan struktural atau fungsi ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan dan mempunyai implikasi terhadap kesehatan serta diklasifikasikan berdasarkan penyebab, laju flitrasi glomerulus (LFG) dan albuminuria.1 Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.1 Hasil systematic review dan metaanalysis yang dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan prevalensi global PGK sebesar 13,4%.2 Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus KockcroftGault sebagai berikut: 2 (140-umur) x berat badan LFG (ml/mnt/1,73m2) dibagi dengan 72 x Kreatinin Plasma. Berbda dengan perempuan, 72 diganti dengan dikalikan 0,85.3 Penyakit ginjal kronik atau dalam bahasa medis yang sering dikenal dengan Chronic Kidney Disease, memiliki beberapa penatalaksanaan, tergantung pada gejala yang didapat oleh pasien itu sendiri. Beberapa gejala klinis pada penyakit gagal ginjal kronik diantaranya, yaitu;

A.    Oliguria

B.     Asidosis Metabolik

C.     Infeksi

D.    Anemia

E.     Hiperkalemia

F.      Ensefalopati

A.    




Ol. Oliguria

Oliguria merupakan sebutan ilmiah kedokteran yang dimaksud dengan produksi urin yang kurang dari 2000 ml dalam 12 jam.1 Oliguria terjadi  karena  terganggunya  fungsi  ginjal  untuk mempertahankan  homeostasis  cairan  tubuh  dengan kontrol volume cairan, sehingga cairan menumpuk di dalam tubuh.3 Pada pasien gagal ginjal kronik, dengan gejala oliguria, pasien tersebut diberikan injeksi furosemide sebanyak 2 hingga 6 ampul per 24 jam pertama. Apabila penanganan tersebut belum memberikan hasil, maka akan diberikan kembali drip furosemide 10 hingga 20 ampul sekitar 100 cc per 24 jam. Apabila penanganan tersebut masih gagal, maka akan segera dilakukan cuci darah atau dalam bahasa kedokteran sering juga disebut HD CITO.

B.     Asidosis Metabolik

Pada pasien yang menderita asidosis metabolik, akan dikoreksi dengan natrium bikarbonat dengan perhiungan rumus (0,3xBBxSBE). Seluruhnya akan didrip dengan dekstrosa 5% selama 24 jam. Apabila penangan tersebut gagal maka akan dilanjutkan dengan cuci darah.

C.     Infeksi

Pada pasien yang menderita infeksi, akan diberikan injeksi seftriakson atau injeksi sefoperazon 2x1 gram. Apabila oada pasien mengalami sepsis juga diberikan imipenem 2x1 gram.

D.    Anemia

Pada pasien anemia, pasien akan diperiksa terlebih dahulu serum ion (SI) terlebih dahulu. Apabila SI pada pasien dalam kadar normal, maka pasien cukup diberikan injeksi eritropoietin (EPO). Apabila kadar serum besi pada pasien rendah, maka akan diberikan terapi preparat besi. Pada kasus pasien dengan anemia yang berat, dengan kadar hemoglobin dibawah 3g/dl maka pasien akan mendapatkan transfusi PRC (Packed  Red Cell) sebanyak 250 cc. Namun sebelum mendapatkan transfusi pasien harus mendapatkan injeksi furosemid sampai terjadi diuresis lebih dari 1000 cc.

E.     Hiperkalemia

Penanganan pada hyperkalemia yang umumnya terjadi menetap setelah dilakukannya koreksi asidosis metabolic, pasien akan diberikan terapi menggunakan Insulin 10 U yang dilarutkan dalam dekstrosa 10% dan di drip sebanyak 10 tetes per menit. Setelah diberikan terapi tersebut, pasien akan dipantau dengan pemeriksaan gula darah sewaku (GDS)/6 jam.

F.      Ensefalopati

Pada penanganan pasien ensefalopati, akan diberikan penanganan khusus yaitu dengan HD CITO atau dengan cuci darah.

 

Pada pasien yang mengalami penyakit ginjal kronik dengan gejala-gejala yang telah disebutkan diatas, memiliki penanganan tersendiri. Namun pada pasien dengan ensefalopati tidak ada penanganan lain selain dengan tindakan langsung cuci darah atau dalam bahasa kedokteran dengan HD CITO. Selain itu, apabila pasien dengan kadar hemoglobin kurang dari 3g/dl, jangan langsung diberikan transfusi PRC, melainkan pasien tersebut harus diberikan terapi injeksi furosemid, hingga mengalami diuresis lebih dari 1000 cc, setelah itu pasien baru dapat menjalani transfusi PRC. Mohon maaf apabila terdapat salah kata, sekian penjelasan dari saya, saya ucapkan terima kasih dan semoga bermanfaat.

Akhir kata saya sebagai penulis berterima-kasih kepada dr. Suzanna Ndraha, SpPD, KGEH, FINASIM yang sudah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat menulis dalam blog ini, mohon maaf jika dalam penyusunan blog ini masih terdapat kesalahan. Terima Kasih, Semoga Bermanfaat.

 

Daftar Pustaka

1.   1. Aisara S, Azmi S, Yanni M. Gambaran klinis penderita penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1).

2.      2. Kementrian Kesehatan RI. Infodatin Situasi penyakit ginjal kronis. 2017.

3.   3. Rayner H, Imai E. Approach to renal replacement therapy. In: Floege J, Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. Missouri: Elsevier Saunders; 2010. 4th Ed. p.1019-30