Wednesday, July 12, 2017

BIMBINGAN IPD 18 - Bedside Teaching Sirosis Hepatis
Selasa, 4 Juli 2017 

Disampaikan oleh : 
dr. Suzanna Ndraha, Sp.PD, KGEH, FINASIM

Diringkas oleh :
Calysta Nadya Wijaya


Bedside Teaching - Sirosis Hepatis

Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan lemas 1 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu:
3 tahun yang lalu memiliki riwayat melena akibat sirosis hepatis.

Pemeriksaan Fisik Abdomen:
1.     Inspeksi: Spider nevi (-), vena kolateral (-), kaput medusa (-), striae (+).
2.     Palpasi:
            Pada palpasi pasien sirosis dilakukan palpasi limpa, dan diharapkan ditemukan splenomegali. Splenomegali dapat terjadi akibat hambatan aliran vena porta, yang menyebabkan tekanan porta meningkat dan tekanan diteruskan ke limpa, sehingga terjadi kongestif pada limpa yang mengakibatkan splenomegali. Palpasi limpa dilakukan dengan garis schuffner. Pada palpasi juga pasien diharusakan menarik nafas dalam saat dokter melakukan penekanan, karena saat menarik nafas diafragma turun sehingga limpa dapat teraba. Pada pasien ini limpa teraba pada schuffner 2, sehingga pada pasien ini dapat disimpukan telah terjadi splenomegali.
3.     Perkusi:
Pada perkusi pasien sirosis diharapkan terdapat asites, sehingga kita melakukan pemeriksaan shifting dullness. Asites dapat terjadi pada pasien sirosis akibat hipoalbuminemia, hiperaldosteronisme, dan hipertensi porta. Pemeriksaan shifting dullness dilakukan dengan cara melakukan perkusi dari umbilikus ke arah lateral hingga terjadi perubahan bunyi dari timpani ke pekak, lalu berhenti di titik pekak. Setelah itu lakukan perkusi kembali ke arah sebaliknya, jika suara berubah dari pekak menjadi timpani kembali, maka shifting dullness dinyatakan positif. Pada pasien ini didapatkan shifting dullness positif.
4.     Pemeriksaan Flapping Tremor:
Pada pasien sirosis dilakukan pemeriksaan flapping tremor untuk melihat apakah sudah terdapat komplikasi ensefalopati atau tidak. Pemeriksaan flapping tremor dilakukan dengan cara pemeriksa melakukan ekstensi pergelangan tangan pasien, lalu pemeriksa memberi instruksi agar pasien menahan pergelangan tangannya pada posisi ekstensi, setelah itu pemeriksa melepas tangan pasien. Jika pasien dapat menahan pergelangan tangannya pada posisi ekstensi, maka flapping tremor negatif, jika pergelangan tangan pasien turun secara perlahan maka flapping tremor positif, jika pergelangan tangan langsung jatuh tanpa memberi tahanan maka flapping tremor negatif namun pasien sudah berada pada stage akhir sirosis hepatis, yaitu stage IV dan V. Pada pasien ini didapatkan flapping tremor negatif karena pasien masih dapat menahan tangannya.
5.     Pemeriksaan Pitting Oedem:
Pada pasien sirosis diharapkan terdapat pitting oedem, hal ini dapat disebabkan karena hipoalbumin. Pemeriksaan pitting oedem paling bagus dilakukan pada pretibial dan dorsum pedis. Pada pasien ini didapatkan pitting oedem positif.

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium:
1.     Pansitopenia: Pada pasien ini didapatkan haemoglobin, leukosit, trombosit turun. Hal ini dapat disebabkan karena hipertensi porta yang menyebabkan kongestif limpa, dan jika berkelanjutan dapat menyebabkan hipersplenisme yang dapat menyebabkan pansitopenia.
2.     Hipoalbumin: Pada pasien sirosis biasanya ditemukan hipoalbumin. Hal ini dapat disebabkan akibat fungsi sintesis hati yang menurun, sehingga produksi albumin menurun.

Indikasi Punksi Asites:
Pada pasien asites biasanya dapat dilakukan terapi spironolakton saja untuk mengeluarkan cairan asites. Namun pada beberapa pasien harus dilakukan punksi asites. Ada 2 indikasi melakukan punksi asites, yaitu:
1.     Diagnostik: Jika pemeriksa masih ragu apa penyebab asites, dan jika pasien di duga PBS.
2.     Terapeutik: Ini dilakukan jika asites massif dan mengganggu aktivitas pasien.
Pada pasien ini dilakukan punksi asites dengan indikasi terapeutik karena asites sudah masif dan menggangu aktivitas pasien.




Tuesday, July 11, 2017

BIMBINGAN IPD 18 - PENYAKIT BATU EMPEDU DAN HEPATOMA
Sabtu, 3 Juni 2017 

Disampaikan oleh : 
dr. Suzanna Ndraha, Sp.PD, KGEH, FINASIM
 

Diringkas oleh :
Gebby Aresta

PENYAKIT BATU EMPEDU

              Batu di empedu bisa ada di kantong empedu namanya kolelitiasis, namun dapat pula batu ini bermigrasi ke CBD(ductus coledocus) namanya koledokolitiais. Batu yang berada di kantong empedu dan berada diam saja di kantong empedu sebetulnya tidak akan menjadi masalah sehingga banyak orang yang memiliki batu di kantong empedunya namun asimtomatik, tetapi jika batu ini keluar dari kantong empedu dan masuk ke CBD maka disini batu ini akan menimbulkan masalah. Ada beberapa jenis batu empedu seperti batu kolesterol dan batu pigmen. Batu kolestrol banyak didapatkan di Barat, sedangkan batu pigmen lebih banyak di Indonesia dan kawasan Asia. Penting untuk mengetahui jenis batu ini karena ada beberapa obat yang efektif hanya untuk jenis batu tertentu saja, misalnya obat urso hanya efektif pada batu kolesterol, sedangkan pada batu pigmen tidak efektif, sehingga pada orang Asia jika diberi obat urso umunya tidak berhasil karena pada orang Asia kebanyakan jenis batunya adalah batu pigmen, bukan batu kolesterol. Predisposis untuk batu empedu adalah 4F yaitu Female, Forty, Fat, dan Fertile. Etiopatogenesis terjadinya batu yang utamanya adalah karena stasis empedu, malnutrisi, dan faktor diet. Penyakit batu empedu dibagi menjadi 3 yaitu penyakit dengan batu yang tidak bergejala, jika ada satu batu dan diam saja maka akan masuk dalam kategori asimtomatik, jika batu ini banyak bisa saja asimtomatik, namun umumnya jika batu ini kecil dan banyak biasanya ada batu yang berpindah tempat dan ini akan menimbulkan masalah  serta komplikasi. Jika sudah ada batu yang masuk ke CBD maka mulai timbul komplikasi seperti jaundice, kolangitis, dan pankreatitis. Jika batu yang ada hanya satu dan diam saja maka gejala yang dirasakan umunya hanya dispepsia saja, umumnya pasien datang karena keluhan dispepsia yang dideritanya, dan setelah di USG baru diketahui bahwa ada terdapat batu empedu, karena tidak ada kriteria klinis hyeri yang khas pada batu empedu. Selain itu batu ini juga dapat menimbulkan kolik, hal ini terjadi pada saat batu tersebut bermigrasi atau berjalan di ductus maka akan timbul kolik. Kolik terjadi karena ada sesuatu yang terjadi pada saluran. Jadi jika batu dari kantong empedu berjalan ke cystic duct maka akan ada keluhan kolik. Keluhan kolik harus dibedakan dengan nyeri visceral. Pada kolik harus ada fase bebas nyeri, dimana jika nyeri itu datang akan terasa nyeri hebat, namun saat nyeri hilang maka benar-benar asimtomatik sehingga ada fase bebas nyeri pada kolik. Selain nyeri kolik dapat juga terjadi nyeri visceral, dimana nyeri visceral akibat batu terjadi bila terjadi infeksi. Nyeri visceral dirasakan terus-menerus, berbeda dengan nyeri kolik. Misalnya pada kolesistitis, kolangtis, dan pankreatitis. Sehingga nyeri pada batu bisa nyeri kolik maupun nyeri visceral yang menetap karena radang. Jaundice atau kuning akibat batu empedu terjadi bila batu tersebut menyumbat di CBD, sehingga menyebabkan bilirubin total meningkat sekali dibandingkan nilai normal. Jika ada kolestasis atau sumbatan di CBD maka salah satu kelihan yang muncul akibat kolestasis yang lama adalah pasien mengeluh gatal atau pruritus. Mendiagnosis kolelitiasis melalui keluhan dispepsia, faktor 4F, dan bila sedang ada infeksi maka dapat ditemukan Murphy sign positif, namun jika tidak ada infeksi Murphy sign negatif. Bila ada batu namun tidak ada infeksi, maka Murphy sign tetap negatif. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan leukositosis, dan bila ada kolestasis maka bilirubin bisa meningkat sangat tinggi terutama bilirubin direk karena batu yang menyumbat di CBD, namun jika batu hanya berada di kantong empedu bilirubin bisa saja naik namun hanya sedikit. Untuk menegakkan diagnosis batu empedu, jika batu berada pada kantong empedu maka diagnosis dapat ditegakkan melalui USG, tetapi bila batu berada di saluran empedu USG tidak dapat digunakan karena lokasi CBD sat di USG banyak tertutup oleh usus, dan apabila ditekan akan terasa nyeri, sehingga tidak dapat digunakan USG. Sehingga untuk melihat batu yang berada di CBD biasangya akan digunakan MRCT (Magnetic Resonance Cholangeo pancreatography) yang sangat baik untuk melihat batu yang berada di CBD. Pada USG batu akan menimbulkan shadow. Akibat adanya kolelitiasis akan timbul kolesistitis, hydrops vesica fellea, icterus obstruktif, kolangitis, pankreatitis.
            Kolesistitis adalah reaksi inflamasi t pada dinding glad bledder akibat infeksi pada kantong yang terdapat batu, karena dimana ada batu atau benda asing maka disitu kuman dapat tumbuh yang akan menimbulkan nyeri inflamasi, dimana terdapat nyeri perut kanan atas yang menetap, demam, dan Murphy sign positif. Yang mempengaruhinya adalaha adanya stasis aliran empedu. Kuman pada kolesistitis akut hampir sama dengan kuman pada abses hati, yaitu kuman gram negatif. Menegakkan diagnosis kolesistitis akut adalah nyeri yang terus-menerus atau konstan dan severe atau cukup berat, icterus ringan, demam, SGOT dan SGPT meningkat namun sedikit. Jika kronik keluhan yang timbul umunya minimal, biasanya didapatkan keluhan dispepsia, dan pada USG didapatkan kantong empedunya menciut, nyeri ringan, dan icterus ringan. USG sangat baik untuk mendeteksi adanya batu empedu. Kolesistitis akut bila tidak diobati akan menimbulkan empyem atau supurasi dari kantong empedu, dan akhirnya dapat terjadi perporasi, dan jika sudah perforasi akan terjadi akut abdomen, dan kegawatdaruratan.
            Hydrops vesica fellea dimana dalam gambaran USG didapatkan gambaran kantong empedu yang sangat membesar dan biasanya di muara ductus cysticus ada batu kecil yang mengobstruksi dan berlangsung lama, sehingga kandung empedu mengalami pembesaran. Hal ini biasanya terjadi pada pasien yang puasa lama, dan kemudian ada kuman yang masuk.
            Pada icterus obstruktif, jika ada obstruksi aliran empedu tidak dapat mengalir masuk ke duodenum, sehingga terjadi hiperbilirubinemia, dan bilirubin direk akan meningkat, enzim empedu meningkat, dan pada USG akan terlihat pelebaran dari CBD karena ada obstruksi dari batu empedu, sehingga pada bagian proksimal akan melebar.
            Stasis aliran empedu di CBD dapat diakibatkan oleh batu, namun dapat pula disebabkan oleh pancreas yang mengalami keganasan, terutama pada caput dari CA pancreas maka infiltrasi dari CA itu dapat menyumbat. Penyenan obstruksi jaundice yang paling sering ada 2 yaitu batu dan CA caput pancreas. Kolangitis akut jika stasis di ductus coledocus terjadi lebih lama biasanya 2 minggu, bila lebih dari 2 minggu stasis biasanya akn terjadi infeksi menyeluruh di saluran empedu yang disebut kolangitis akut, dengan gejala demam, nyeri perut kanan atas, dan jaundice, dan bila ini berkelanjutan akan terjadi syok sepsis. Bentuk lain yang dapat ditimbulkan akibat batu di CBD adalah pankreatitis, dengan cara batu yang menyumbat membuat aliran empedu yang seharusnya keluar di duodenum tidak bisa keluar sehingga refluks, dan masuk ke ductus pankreatikus dan terjadi pankreatitis akut. Batu empedu yang dapat menyebabkan pankreatitis akut adalah batu yang kecil yang dapat berpindah tempat.  Bila obstruksi berlangsung lama akan terjadi fibrosis hati, dan selanjutnya akan terjadi sirosis, ang disebut sirosis bilier sekunder.
            Penalataksanaanya adalah bila ada infeksi berikan antibiotik, namun sebelumnya cukupkan terlebih dahulu kebutuhan kalori. Antibotik yang diberikan adalah yang dapat mengatasi kuman gram negatif karena bakteri yang menginvasi system saluran empedu adalah bakteri gram negatif, seperti E.Colli dan Klebsiella, sehingga kita dapat menggunakan antobiotik seperti aminoglikosida dan amycasin, namun pastikan bahwa fungsi ginjal baik dan mencegah jangan sampai terjadi dehidrasi karena dapat menyebabkan nefrotoksik. Setelah pemberian antibiotik, cukupkan kebutuhan cairan dan kalori. Selain itu stasis bilier harus dikompresi dengan cara drainase bilier, namun mortalitas tinggi, sehingga banyak yang memilih cara endoskopi dengan memasang kateter nasobilier hingga cairan empedu yang stasis tersebut keluar, setelah itu secara otomatis keadaan umum pasien akan membaik dan infeksi akan teratasi, serta kondisi menjadi lebih baik. Saat kondisi lebih baik maka dapat dilakukan ERCP untuk membuang batu tersebut. Tidak hanya itu, kantong empedu juga harus diangkat agar tidak terjadi obstruksi berikutnya.

HEPATOMA
 
Hepatoma merupakan salah satu perjalanan dari sirosis hati. Tumor ganas hati hampir seluruhnya karsinoma hepatoseluler yang berasal dari hepatosit.  Biasanya ini merupakan komplikasi dari sirosis hati. Faktor-faktor predisposisinya adalah laki-laki, memiliki hepatitis B atau C, mengonsumsi minuman beralkohol, riwayat diabetes mellitus, dan obesitas. Untuk hepatoma bila masih kecil biasanya tidak ada keluhan, tetapi jika sudah besar biasanya ada keluhan, awalnya nyeri, tidak nyaman, dan akan semakin buruk keadaan umunya, serta asites yang semakin sulit diatasi. Pemeriksaan penunjang yang dapat mendiagnosa hepatoma adalah skrining USG dan periksa angioferitin. Hepatoma yang di USG karena adanya keluhan biasanya kerena massa yang sudah besar. Diagnosis pasti hepatoma adalah dengan biopsi, tetapi jarang dilakukan karena penyakit hati kronik ditandai oleh kegagalan hati, diantaranya defisiensi faktor-faktor pembekuan. Jika faktor pembekuan menurun dan dilakukan biopsi, maka dapat terjadi perdarahan, dan pasien bisa meninggal akibat biopsi, sehingga biasa digunakan CT scan dan AFP untuk menegakkan diagnosis.