Thursday, January 24, 2013

IPD Koja Case Report HIV AIDS

HIV AIDS WITH TUBERCULOSIS, ANEMIA AND HYPONATREMIA
                                                             1Jawahir Bin Madeaming, 2Suzanna Ndraha
1Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
2Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUD Koja



ABSRTACT
Introduction
The risk of developing tuberculosis (TB) is 21-34 times greater in people with HIV than those without HIV. HIV AIDS and TB can lead to chronic anemia and hyponatremia even the mechanism is poorly understood.
Case
A 31 years old male presented with two months of cough and two days of hemoptysis. Pulmonary TB diagnosed through clinical features (decreased appetite, weight loss, night sweats, fever), lung ronchi sound, sputum positive acid-fast bacteria, and specific process in chest x-ray. He received full course oral anti-TB therapy. Besides, tranexamide acid, vitamin K, and codein given for cough and hemoptysis. Patients was diagnosed with HIV 4 months ago and on anti-retroviral (ARV) treatment with CD4 % 11,9%, and CD4 ABS 253cell/µL). Pallor conjunctiva found with Hb 9,4 g/dL and normocytic normochromic red blood cell morphology. Serum sodium decreased due to vomiting, so ondansentron and Nacl 0,9% given per 12 hours.
Discussion
According to WHO, this patient with lung TB infection is in 3rd stage of HIV/AIDS. Other diagnosis were anemia of chronic disease and hyponatremi. This patient was given full course oral anti-TB and ARV, tranexamide acid, vitamin K, and codein for cough and hemoptysis, Nacl infusion for hyponatremia, and ondansetron for antiemetic.
Conclusion
HIV AIDS diagnosis and staging is based on oppurtunistic infection, anti-HIV and  CD4 lab test. Pulmonary TB diagnose from clinical symptom, physical examination, sputum test, and  chest x-ray examination. Therapy given symptomatically as for cough, hemoptysis, vomiting and hyponatremia, combined with ARV and oral anti-tuberculosis.
Key words : tuberculosis, ronchi sound, lung specific process, anemia, hyponatremi

ABSTRAK
Introduksi
Risiko terkena tuberkulosis (TB) 21-34 kali lebih besar pada orang dengan HIV dibandingkan yang tanpa HIV. Infeksi HIV AIDS dan TB bisa menyebabkan anemia penyakit kronik dan hiponatremia walaupun mekanismenya masih belum jelas.
Kasus
Pria 31 tahun dengan keluhan batuk dua bulan dan dua hari batuk darah. Didiagnosis TB paru berdasarkan gejala klinis (penurunan nafsu makan dan berat badan, keringat malam, demam), suara ronkhi paru, bakteri tahan asam dahak positif, dan gambaran proses spesifik pada foto toraks. Dia mendapat obat anti-TB oral. Asam traneksamat, vitamin K, dan kodein diberikan untuk batuk dan hemoptisis. Pasien didiagnosis HIV 4 bulan yang lalu dan dalam pengobatan anti-retroviral (ARV) dengan CD4% 11,9%, dan CD4 ABS 253 cell/uL). Didapatkan konjungtiva anemis dengan Hb 9,4 dan morfologi sel darah merah normositik normokrom. Natrium serum menurun akibat muntah, jadi diberikan injeksi ondansetron dan infus NaCl 0,9% per 12 jam.
Diskusi
Menurut WHO, pasien ini dengan infeksi TB paru termasuk stadium 3 HIV/AIDS. Diagnosis lain adalah anemia penyakit kronis dan hyponatremi. Pasien ini diberikan dosis penuh anti-TB oral dan terapi ARV. Asam traneksamat, vit K, dan kodein diberikan  untuk batuk dan hemoptisis, ondansetron untuk muntah, dan infus NaCl untuk hiponatremia.
Kesimpulan
Diagnosis dan staging HIV AIDS didasarkan pada infeksi oppurtunistik dan tes laboratorium anti-HIV dan CD4, TB paru didiagnosis dari gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dahak, dan rontgen dada. Terapi diberikan simptomatik untuk batuk, hemoptisis, muntah, dan hiponatremia, dikombinasikan dengan ARV dan anti-TB oral.
Kata kunci : Tuberkulosis, suara ronkhi, proses spesifik paru, anemia, hiponatremia



INTRODUKSI
            TB adalah penyebab utama kematian di antara penderita HIV. Hampir satu dari empat kematian di antara odha (orang dengan HIV AIDS) adalah karena TB. Pada tahun 2010, 350.000 orang meninggal karena TB terkait HIV. TB juga merupakan penyakit paling umum ditemukan pada odha, termasuk mereka yang mendapat ARV. Diperkirakan 1,1 juta kasus baru TB HIV positif secara global pada tahun 2010. Setidaknya sepertiga dari 34 juta odha di seluruh dunia terinfeksi TB. Penderita HIV menghadapi ancaman timbulnya multidrug-resistant TB (MDRTB) yaitu resistensi terhadap lini pertama obat anti-TB atau extensively drug-resistant TB atau (TB-XDR) yaitu resistensi terhadap lini kedua obat anti-TB. Di seluruh dunia, diperkirakan 650.000 kasus TB-MDR pada tahun 2010.1 Indonesia adalah negera dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah India dan China. Di Indonesia, TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit akut pernapasan.2,3 Antara gejala penyerta pada pasien koinfeksi HIV-TB adalah hiponatremia dan anemia. Sehingga kini mekanisme dan patofisiologi terjadinya hiponatremia dan anemia masih terus diteliti.
KASUS
Pria 31 tahun dengan keluhan batuk dua bulan dan dua hari batuk darah. Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis (penurunan nafsu makan dan berat badan, keringat malam, sakit kepala, demam), suara ronkhi pada auskultasi paru, pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) dahak positif, dan gambaran proses spesifik pada foto toraks. Pasien mendapat obat anti-TB oral (OAT) (rifampisin 450mg, isoniazid 300mg, pirazinamid 1000mg, etambutol 1000mg, satu tablet/hari). Asam Traneksamat 3x50mg IV, vitamin K 2x10mg IV, dan kodein tablet 3x10 mg oral diberikan untuk gejala batuk dan hemoptisis. Pasien didiagnosis HIV 4 bulan yang lalu dan dalam pengobatan anti-retroviral (ARV) (Efavirens 600mg, lamivudin 150mg, dan stavudin 30mg, satu tablet/hari) dengan CD4% 11,9%, dan CD4 ABS 253 cell/uL). Didapatkan konjungtiva anemis dengan Hb 9,4 g/dL, VER 87Fl, HER 30pg, dan KHER 35g/dl. Natrium serum menurun (125 mmol/L) akibat muntah, jadi diberikan injeksi ondansetron 2x4mg dan infus NaCl 0,9% per 12 jam. Setelah 2 hari terapi, hiponatremia membaik dimana kadar natrium meningkat menjadi  136 mmol/L dan pada hari ke 5 hemoptisis berhenti.
Beberapa bulan yang lalu, pasien dirawat karena mual dan muntah hebat serta diare yang tidak sembuh selama seminggu. Diare sudah terjadi berulang kali dalam sebulan tapi baru kali ini dirawat. Pada usia remaja pasien merupakan pengguna narkoba hirup. Pasien menikah dengan istrinya yang merupakan pengguna narkoba suntik dan tidak pernah menggunakan proteksi saat berhubungan. Istrinya diketahui menderita HIV AIDS setelah beberapa tahun menikah dan akhirnya istrinya meninggal karena penyakit itu.
DISKUSI
Infeksi TB pada pasien HIV
Diagnosis TB pada orang yang terinfeksi HIV sering tertunda dan sulit karena penderita HIV yang terinfeksi TB tinggi kemungkinan  memiliki sediaan apus dahak BTA negatif dan kelainan kecil atau non-spesifik pada foto rontgen. Pada orang terinfeksi HIV dengan sistem kekebalan tubuh yang masih utuh, fitur klinis TB tidak cukup khas, namun, perubahan ini nyata antara orang HIV positif dengan imunodefisiensi lebih berat (AIDS). Pada penelitian yang dilakukan oleh Swaminathan dkk, dari 78 pasien yang dilibatkan pada studi, didapatkan gejala paling sering adalah batuk dan penurunan berat badan, diikuti oleh demam (lihat tabel 1). Durasi rata-rata gejala adalah 12 minggu, menunjukkan bahwa ada penundaan dalam mendiagnosa TB dan memulai pengobatan. Untuk manifestasi radiologis, didapatkan gambaran bervariasi dengan lesi yang paling umum adalah kekeruhan eksudatif (exudative opacities) yang ditemukan pada 51% pasien. Lesi pada lobus bawah lebih sering ditemukan dan penyakit cukup cenderung melibatkan lapangan paru yang luas pada kedua paru-paru. Hanya 14% pasien memiliki lesi kavitas. Oleh karena itu, diagnosis TB harus dicurigai pada HIV positif  terlepas dari lokasi, jenis dan luasnya lesi radiologi. Selanjutnya, karena TB bisa hadir bahkan pada orang dengan radiografi dada normal, adanya gejala TB harus diwaspadai dan dilakukan penyelidikan rinci.4 Pada pasein ini, didapatkan gejala yang sesuai dengan hasil penilitian yaitu batuk, penurunan berat badan, demam dan batuk darah. Gejala lain  yang menyertai adalah keringat malam, dan suara ronkhi. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan pemeriksaan dahak BTA positif. Gambaran radiologis menunjukkan adanya gambaran kavitas di apeks pulmo sinistra dan bercak infiltrat di apeks pulmo dextra.

Tabel 1: gejala klinis pada pasien HIV terinfeksi TB5
Gejala
Frekuensi
Persen (%)
Batuk
76
97
Penurunan berat badan
73
94
Demam
62
79
Sesak napas
53
68
Sakit dada
37
47
Hemoptisis
14
18

Pengobatan OAT dan ARV pada pasien koinfeksi TB-HIV
Masalah koinfeksi TB dengan HIV sering dihadapi di Indonesia. Pada prinsipnya OAT pada odha tidak berbeda dengan pasien HIV negatif. Interaksi antara OAT dan ARV terutama efek hepatotoksisitasnya harus sangat diperhatikan. Pada odha yang telah mendapat obat ARV sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka obat ARV tetap diteruskan dengan evaluasi yang lebih ketat. Seperti pada pasien ini, obat ARV telah diberikan terlebih dahulu sebelum didiagnosis TB, maka obat ARV diteruskan dan ditambakan dengan OAT.5 Pada pasien ini diberikan kombinasi OAT rifampisin 450mg, isoniazid 300mg, pirazinamid 1000mg, etambutol 1000mg, dengan dosis satu tablet/hari. Pasien juga telah memulakan terapi ARV sejak 4 bulan dengan kombinasi  efavirens 600mg satu tablet/hari, dan caviro LS-30 (lamivudin 150mg, dan stavudin 30mg) dua tablet/hari. Kombinasi OAT dan ARV ini sesuai dengan anjuran Djoerban dkk.5 Namun, dari hasil studi yang dilakukan oleh Didik dkk pada 83 pasien HIV di RSU DR.Soetomo Surabaya, didapatkan regimen ARV yang paling banyak digunakan adalah duviral + neviral (51,09%), duviral + efaviren (25,00%), stavudin + lamivudin + nevirapin (10,87%), dan  stavudin + lamivudin + efaviren (11,96%).6 Permulaan terapi ARV pada pasien ini adalah sesuai dengan rekomedasi WHO yaitu pasien HIV AIDS stadium 3 harus memulakan ARV apabila jumlah CD4 < 350 sel/mm (CD4 pasien 253 cell/mm). Pada pasien ini yang sudah mengalami anemia, zidovudin tidak diberikan karena efek toksisitasnya yang kuat bisa memperparah anemianya. Studi Didik dkk juga menemukan efek samping zidovudin menyebabkan anemia (6,02%), intoleransi traktus gastrointestinal (1,20%), dan sakit kepala (1,20%)6.

Anemia terkait koinfeksi TB-HIV
Peningkatan virus HIV seiring progresivitas penyakit menyebabkan anemia karena sekresi sitokin yang mengakibatkan mielosupresi. Terdapat peran potensial dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) tat-protein dalam menyebabkan kelainan hematopoeitik. Recombinant tat (r-tat) protein memiliki efek penghambatan kelangsungan hidup dan kapasitas proliferasi CD34+, sel progenitor hematopoietik. Faktor utama yang bertanggung jawab adalah transforming growth factor-beta 1 (TGF-beta 1). Tat-protein HIV meningkatkan sekresi  TGF-beta 1, regulator negatif hematopoiesis yang  menekan  hematopoesis (Zauli G dkk).7 Sel-sel progenitor hematopoietik (CD34+) yang dipurifikasi dari sumsum tulang pasien cytopenic (HIV) tipe 1-seropositif menunjukkan berkurangnya jumlah granulosit /makrofag, eritroid, dan progenitor megakariosit dan juga penurunan progresif dari jumlah sel CD34+ dalam kultur (Visani G dkk).8 Semua infeksi kronis termasuk TB  dapat menyebabkan anemia. Anemia telah dilaporkan pada 16% hingga 94% pasien TB paru. TB terkait anemia diatasi secara tuntas dengan pengobatan anti-TB pada 64,5% pasien. Kebanyakan penelitian menunjukkan adanya penekanan eritropoiesis oleh mediator inflamasi. Namun, pengamatan pada pasien anemia terkait TB mendapatkan tidak adanya besi sumsum tulang dan morfologi sel darah merah (SDM) sama dengan anemia defisiensi besi. Ini menunjukkan bahwa kekurangan zat besi adalah mungkin penyebab anemia pada pasien dengan TB (Sei Won Lee dkk).9 Pada kasus ini, ditemukan gejala anemia seperti pusing, sering merasa lemas, konjunktiva anemis dan Hb 9,4 g/dL. Namun didapatkan morfologi SDM normositik normokrom bukan mikrositik hipokrom  yang ditemukan pada anemia defisiensi besi. Alasan untuk pengobatan anemia penyakit kronis didasarkan pada dua prinsip. Pertama, anemia yang secara umum dapat berbahaya dan membutuhkan peningkatan kompensasi curah jantung untuk mempertahankan pemberian oksigen sistemik. Kedua, apabila anemia dikaitkan dengan prognosis yang buruk dalam berbagai kondisi (Weiss dkk).10 Pada pasien ini belum ada alasan yang kuat untuk pemberian terapi anemianya.

Hiponatremia terkait koinfeksi TB-HIV
Hiponatremia dilaporkan pada 30-60% pasien dirawat di rumah sakit dengan infeksi HIV. Hiponatremia dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas  pasien HIV. Deplesi volume akibat diare atau muntah adalah penyebab tersering hiponatremia pada saat masuk rumah sakit. Manajemen klinis meliputi penggantian defisit cairan dan mengobati penyebab kehilangan cairan. Sindrom sekresi hormon antidiuretik tidak adekuat (SIADH) adalah penyebab kemungkinan pada pasien hiponatremia selama rawat inap.  SIADH biasanya berhubungan dengan penyakit paru dan intrakranial, seperti pneumonia pneumosistis, toksoplasmosis, dan TB (Rudolph A dkk).11 Hubungan antara SIADH dan TB juga disokong oleh  Rakel ER dkk.12 Satu  studi tentang hiponatremia dilakukan pada  pasien TB  terlepas dari obat apapun yang diambil pasien. Studi  ini dibuat oleh eHealthMe pada pasien Tuberkulosis dari FDA dan komunitas pengguna. Hasil studi dilaporkan pada tanggal 6 Agustus 2012. Didapatkan  dari 1 853 pasien  22 (1.19%) mengalami hiponatremia (lihat gambar 1).13 Pada kasus ini, hiponatremia terjadi kemungkinan karena muntah. Tapi SIADH sebagai etiologi hiponatremia belum tersingkirkan. Pemeriksaan lebih lanjut hormon anti diuretik bisa dilakukan. Untuk penanganan saat ini, pasien diberikan ondansetron injeksi 4mg dan infus Nacl 0,9% per 12 jam. Setelah 2 hari, hiponatremia membaik dimana kadar natrium serum meningkat dari 125 mmol/L menjadi 136 mmol/L. Menurut hyponatremia treatment guidelines 2007, rekomendasi vasopresin antagonis reseptor telah lama diantisipasi sebagai metode yang lebih efektif untuk mengobati hiponatremia berdasarkan efek uniknya yang selektif meningkatkan ekskresi air bebas zat terlarut oleh ginjal.14


Gambar satu: trend of hyponatremia in TB reports

SIMPULAN
Kombinasi gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang mendukung diagnosis pasti TB. Anemia penyakit kronik yang dialami masih belum mendapat penanganan khusus anemia karena belum ada alasan yang kuat untuk memulai pengobatan. Penyebab hiponatremia saat ini duduga karena kehilangan volume cairan, namum SIADH masih belum tersingkirkan. Penanganan hiponatremia dengan infus Nacl 0,9%/12 jam terbukti berhasil. Kombinasi obat ARV dan OAT sudah benar dan hanya perlu evaluasi efek samping dan keberhasilan terapi.


DAFTAR PUSTAKA

No comments:

Post a Comment