Sunday, February 3, 2013

Suzanna Ndraha Penelitian: TES CRITICAL FLICKER FREQUENCY PADA SIROSIS HATI DI RSUD KOJA


TES CRITICAL FLICKER FREQUENCY
PADA SIROSIS HATI
DI RSUD KOJA
                                                                                     
1Suzanna Ndraha, 2Marshell Tendean, 2Fendra Wician,
3Surjadi Sujana, 2Mardi Santoso
1SMF Penyakit Dalam RSUD Koja, Jakarta
2Staf Pengajar SMF Penyakit Dalam FK UKRIDA
3SMF Radiologi FK UKRIDA
Alamat Korespondensi Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510


ABSTRAK
Latar Belakang. Ensefalopati hepatikum minimal (EHM) adalah keadaan dimana secara klinis tidak terdapat tanda gangguan mental namun pada tes psikometrik sudah ditemukan kelainan. EHM sulit didiagnosis karena tes psikometrik tidak mudah dilakukan, hasilnya dipengaruhi usia dan tingkat pendidikan, serta memakan banyak waktu. Belakangan ini tes critical flicker frequency (CFF) telah dikembangkan untuk diagnosis EHM. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi hasil tes critical flicker frequency pada pasien sirosis hati di RSUD Koja.
Metoda. Semua pasien sirosis hati yang datang ke RSUD Koja selama Juni-Agustus 2009 dievaluasi. Tes CFF dilakukan dengan menggunakan alat HEPAtonormTM Analyzer. Pasien sirosis dengan frekuensi kritis < 39 Hz digolongkan kedalam ensefalopati.
Hasil. Didapatkan 38 penderita sirosis hati yang datang berkunjung. Tigapuluh empat subjek (89,5%) tergolong ensefalopati berdasarkan tes CFF.
Kesimpulan: Dari pemeriksaan CFF, didapatkan 89,5% dari penderita sirosis hati tergolong EHM.

Keywords: Sirosis hati, Ensefalopati hepatikum minimal (EHM), Critical Flicker Frequency (CFF)

ABSTRACT
Introduction. Minimal hepatic encephalopathy (MHE) is a term in liver cirrhosis with abnormal psychometric test while mental status examination still normal. MHE is difficult to investigate clinically, while psychometric tests were not easy and time consuming. Recently, the critical flicker frequency (CFF) test has been developed for the diagnosis of MHE. Aim of this study was to evaluate the critical flicker frequency in liver cirrhosis
Method. All liver cirrhosis patients visited Koja Hospital during June - August 2009 was evaluated. The distributions of age, gender, and Child Pugh classification were assessed. The CFF test was evaluated using HEPAtonormTMAnalyzer. Cirrhotic patients who had critical frequency measurement less than 39 Hz was classified as having hepatic encephalopathy.
Results. There were 38 liver cirrhosis patients fit the criteria. Thirty-four (89.5%) cases were classified as minimal encephalopathy according to CFF.
ConclusionIn our study we found 89.5% of liver cirrhosis patients were minimal encephalopathy according to CFF.

KeywordsLiver cirrhosis, encephalopathythe Critical Flicker Frequency

Pendahuluan
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan salah satu komplikasi sirosis hati yang membawa dampak morbiditas dan mortalitas yang tinggi.1,2 Angka kejadian EH pada sirosis hati di negara barat bervariasi dari 30-45% (USA)3 dan 50-70% (UK)4, dimana sebagian besar diantaranya adalah EH minimal. Data di Asia juga bervariasi. Di India didapatkan kejadian EH sebesar 62,4%. Penelitian yang dilakukan di Poliklinik rawat jalan RSCM dan RSUD Koja menunjukkan angka EH minimal sebesar masing-masing  75,8 % dan 94,4%.6,7
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis antara lain : [1]Tes elektrofisiologik. Tes elektrofisiologik yang meliputi visual-evoked, somatosensory-evoked, dan brain stem auditoryevoked potentials ternyata tidak mudah dilakukan dalam praktek karena mahal, memerlukan peralatan canggih dan kemudian ternyata sensitivitasnya masih dibawah tes psikometrik.8  [2]. Tes Psikometri. Tes psikometrik yang meliputi 5 tes yaitu  the digit symbol test (DST), the number connection test A (NCTA), the number connection test B (NCT-B), the serial dotting test (SDT), dan the line drawing test (LDT) direkomendasi sebagai baku emas diagnosis EHM dalam konsensus di Viena tahun 1998.9 Kelima tes yang dinamakan PHES (The psychometric hepatic hncephalopathy score) ini ternyata tidak mudah dalam pelaksanaannya karena memakan waktu lama dan sangat dipengaruhi oleh tingkat edukasi dan usia penderitanya.8,9 [3]. Tes Critical Flicker Frequency (CFF)Kesulitan dalam tes psikometrik dan elektrofisiologik membuat EHM sulit didiagnosis.8,9,10,11, Hal ini mendorong para ahli untuk mencari alat diagnosis lain yang lebih mudah namun akurat dalam mendiagnosis EHM. Kircheis (2002)  mulai memperkenalkan tes CFF untuk diagnosis EHM. Berdasarkan hipotesis bahwa gliopati retina dapat dijadikan petanda adanya gliopati serebral, maka gangguan fungsi visual dapat menjadi dasar diagnosis EHM. Kircheis menggunakan cut off  39 Hz, dengan sensitivitas 76,2% dan spesifisitas 61,4%. Karena tes CFF kurang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan usia, dan mempunyai sensitivitas serta spesifisitas yang baik, maka Kircheis menyimpulkan bahwa tes CFF dapat digunakan untuk mendiagnosis dan memonitor EHM.8 Di Indonesia, juga telah dilakukan penelitian untuk menilai presisi tes CFF. Penelitian yang dilakukan terhadap pasien sirosis hati di RSCM dan RS Koja ini mendapatkan bahwa tes ini mempunyai presisi yang baik. Berdasarkan  uji validasi CFF di Spanyol dan India yang mendapatkan hasil baik, dan uji presisi CFF di Indonesia yang juga mendapatkan hasil baik, maka tes CFF dapat dilakukan sebagai alat diagnostik EHM di Indonesia.6,12
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi hasil tes CFF pada pasien sirosis hati di RSUD Koja
.
Material dan Metode
                 Gambar 1: Pemeriksaan hepatonorm
Penelitian bersifat observasional, cross sectionaldilakukan di RSUD Koja di bulan Juni 2009 – Juli 2009, pada pasien sirosis hati yang mengunjungi poli Penyakit Dalam. Pasien dieksklusi bila ada infeksi akut, gangguan neurologis dan gangguan penglihatan. Pada semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan tes CFF dengan menggunakan alat HEPAtonormTMAnalyzer. Pada tes ini dinilai frekuensi sumber cahaya yang dapat diinterpretasi oleh korteks serebri saat berubah menjadi suatu kedipan. Sebelum tes dilakukan, diberi penjelasan kepada pasien mengenai tujuan tes, langkah prosedur tes, dan pasien diminta menekan tombol bila melihat cahaya merah mulai redup dan berkedip-kedip. Tes dilakukan di Ruang Prosedur Penyakit Dalam, dalam kamar gelap, pasien posisi duduk. Headset dipasang di posisi kepala pasien, kemudian pasien diberi tombol untuk dipegang (gambar 1). Saat pemeriksa mengoperasikan hand-held controller yang dihubungkan dengan komputer, pasien akan melihat cahaya merah muncul dan dalam beberapa detik cahaya tersebut akan redup dan berkedip-kedip. Saat itulah pasien diminta menekan tombol, dan di layar komputer akan muncul angka hasil pengukuran tes CFF. Pengukuran dilakukan 9 kali dan diambil nilai rata-ratanya. Nilai CFF < 39 Hz menunjukkan EH.8  Analisis data bivariat dilakukan dengan menggunakan SPSS 15, dan disajikan dalam tabel.

Hasil Penelitian

Telah dilakukan penelitian pada 38 pasien sirosis hati, dengan hasil sebagaimana disajikan pada tabel 1. Didapatkan 31 laki-laki dan 7 perempuan. Rerata usia adalah 48 ± 24 tahun, terbanyak pada kelompok usia 40-60 tahun (72%). Sebagian besar mempunyai skor Child Pugh B (54,2%). Dari 38 subyek, didapatkan sebanyak 34 orang (89,5%) tergolong ensefalopati hepatic berdasarkan hasil tes Flicker (gambar 2).

 Tabel 1. Karakteristik 38 pasien sirosis hati
         Karakteristik
n
%
1.       Jenis kelamin


a.       Laki-laki
31
83.3
b.       Perempuan
7
16.7
2.       Usia                                               


Rata-rata (mean ± SD)
48
24
a.       < 40 tahun
6
15.3
b.       40-60 tahun
28
72.2
c.        > 60 tahun
4
12.5
3.       Skor Child Pugh


a.       Child Pugh A
13
36.1
b.       Child Pugh B
21
54.2
c.        Child Pugh C
4
9.7
4.       Hasil Fliker pada pasien
-         >39
-         <39

4
34

10,5
89,5
data kategori disajikan dalam n (%),data numerik  dalam mean (SD)

Gambar 2. Ensefalopati hepatik sebanyak 89,5%

Pembahasan
Dari 38 pasien yang diteliti, didapatkan 83,3% laki-laki dan 16,7% perempuan. Dari literatur didapatkan bahwa prevalensi sirosis hati memang terbanyak pada laki-laki.5,13 Yun dkk mendaparkan prevalensi 86% laki-laki dan 14% perempuan, dengan rata-rata usia 43,6±10,4. Penemuan ini tidak jauh berbeda dari penelitian kami.14
Angka kejadian EH pada sirosis hati di negara barat bervariasi dari 30-45% (USA)2 dan 50-70% (UK)3, dimana sebagian besar diantaranya adalah EH minimal. Data di Asia juga bervariasi. Di India didapatkan kejadian EH sebesar 62,4%.4 Penelitian yang dilakukan di Poliklinik rawat jalan RSCM menunjukkan angka EH minimal sebesar 75,8 %.5
Penelitian di RSUD Koja mendapatkan angka prevalensi EHM  sebesar 89,5%, lebih tinggi dari negara barat maupun Asia. Bahkan juga lebih tinggi dari RSCM Jakarta. Tingginya prevalensi EHM pada populasi kami antara lain disebabkan: [1] Perbedaan metoda yang digunakan, dimana kami menggunakan metoda pemeriksaan dengan tes CFF dengan cut-off 39 Hz, sedangkan studi RSCM menggunakan cut-off 38 Hz.
[2] Pengunjung RS Koja umumnya berasal dari kalangan sosial ekonomi yang lebih rendah sehingga angka komplikasi penyakit kronik termasuk sirosis menjadi lebih tinggi.
Kelemahan studi ini adalah jumlah sampel sedikit dan jangka waktu pelaksanaannya hanya 3 bulan. Studi ini juga tidak membedakan angka EHM pada masing-masing kelas Child Pugh, juga tidak membedakan penderita sirosis hati dengan gizi cukup maupun gizi kurang.


Kesimpulan
Dari pemeriksaan CFF, didapatkan 89,5% dari penderita sirosis hati tergolong ensefalopati hepatikum minimal.


Daftar Pustaka
On request

Publikasi: 
Penelitian ini dipublikasi di Jurnal Kedokteran Meditek vol 16, No 42A, Januari-April 2010
Jurnal Kedokteran Meditek diterbitkan oleh: Unit Penelitian, Publikasi dan Pelatihan
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta


No comments:

Post a Comment