Friday, October 6, 2017

Minggu Pertama IPD 20

Bagaimana penatalaksanaan yang tepat untuk mengatasi rasa nyeri pada penderita diabetes melitus dengan komplikasi Neuropati perifer?

Neuropati adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan atau hilangnya fungsi serat saraf secara progresif. Definisi neuropati perifer diabetes secara luas adalah adanya gejala dan atau tanda-tanda disfungsi saraf perifer pada penderita diabetes setelah mengesampingkan penyebab (penyakit) lainnya.1

Pada neuropati diabetes rasa nyeri yang ditimbulkan bukan sekedar merupakan nyeri somatik (somatic pain) akibat kerusakan jaringan, akan tetapi juga nyeri neurotik (neurotic pain) yang disebabkan oleh terjadi proses abnormal pada neuron berupa hipereksitasi neuron (presynaptic) sehingga menimbulkan produksi neurotransmitter yang berlebihan. Selain itu juga terjadi kehilangan fungsi inhibisi pada saraf oleh gangguan metabolisme pada penderita diabetes. Perasaan nyeri pada nyeri neurotik bisa muncul secara spontan ataupun setelah ada rangsangan, meski inadekuat. Sensasi yang dirasakan dapat bermacam macam seperti rasa terbakar, tertusuk, dan dapat pula berupa rasa baal, kesemutan.2

Karena nyeri pada neuropati diabetes adalah nyeri somatik dan neurotik, obat anti nyeri yang digunakan tidak cukup hanya obat anti nyeri biasa yang digunakan untuk mengurangi rasa nyeri akibat penyakit lain. American Academy of Neurology (AAN), American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation (AANEM) tahun 2011 dan American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation (AAPMR) dalam pedoman untuk pengobatan Painful Diabetic Neuropathy (PDN) merekomendasikan pregabalin untuk pengobatan nyeri neuropatik diabetik. Mekanisme kerja dari obat ini adalah dengan menekan produksi dari neurotransmitter dengan cara modulasi Ca channel dari neuron sehingga pada tahap selanjutnya akan mengurangi produksi neurotransmitter yang menyebabkan rasa nyeri akibat hipereksitasi neuron. Selain itu, sejumlah obat, termasuk gabapentin dan antidepresan trisiklik, juga disarankan sebagai pilihan pengobatan lini pertama untuk nyeri neuropatik.3

Penggunaan antidepresan seperti amitriptilin, venlafaxin, dan duloxetine untuk pengobatan PDN didasarkan pada fakta bahwa permasalahan lain yang hampir selalu menyertai nyeri pada neuropathic pain adalah gangguan tidur dan gangguan kejiwaan berupa anxiety dan depresi yang secara keseluruhan menurunkan kualitas hidup pasien. Belum ada data pasti yang menunjukkan efikasi dari ketiga obat tersebut akan tetapi berdasarkan studi meta analisis oleh Chou dkk, ditemukan bahwa baik gabapentin maupun antidepresan trisiklik menimbulkan efek yang sama dalam menghilangkan rasa sakit neuropati diabetes ataupun neuralgia postherpetik.4
Pada kasus kasus yang lanjut dimana kebanyakan sel serabut saraf telah mengalami  disintegrasi, respons terhadap pengobatan semakin kurang. Oleh sebab itulah, selain berbagai macam obat yang digunakan untuk mengurangi rasa nyeri diatas, kontrol glikemik yang ketat merupakan terapi yang paling penting untuk memperlambat perkembangan neuropati karena peningkatan gula darah yang sangat tinggi merupakan penyebab dari stres metabolik yang sedang berlangsung.  Selain itu, pada kasus kasus yang lanjut, dimana kebanyakan sel serabut saraf telah mengalami  disintegrasi, respons terhadap pengobatan semakin kurang. 5

1. Juster-Switlyk K, Smith AG. Updates in diabetic peripheral neuropathy. F1000Res. 2016. 5. Diakses dari: http://reference.medscape.com/medline/abstract/27158461, 29 Septemebr 2017.
2. Pourmand R. Diabetic neuropathy. Neurol Clin. 1997 Aug. 15(3):569-76.
3. Dworkin RH, O'Connor AB, Backonja M, Farrar JT, Finnerup NB, Jensen TS, Kalso EA, Loeser JD, Miaskowski C, Nurmikko TJ, Portenoy RK, Rice AS, Stacey BR, Treede RD, Turk DC, Wallace MS Pain. 2007 Dec 5; 132(3):237-51.
4. Chou R, Carson S, Chan BK. Gabapentin versus tricyclic antidepressants for diabetic neuropathy and post-herpetic neuralgia: discrepancies between direct and indirect meta-analyses of randomized controlled trials. J Gen Intern Med. 2009 Feb. 24(2):178-88. 
5. Skyler JS. Diabetic complications. The importance of glucose control. Endocrinol Metab Clin North Am. 1996 Jun. 25(2):243-54.

Kapan pasien Infeksi Saluran Kemih harus di rawat inap?

Infeksi saluran kemih atau ISK merupakan istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin. Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria) menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari sama dengan 105 colony forming units pada biakan urin.1

ISK terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan sejauh mana infeksi banteri mengenai keterlibatan traktus urinarius, yaitu ISK atas dan bawah yang dibatasi oleh valvula uretovesika. ISK Bawah pada perempuan adalah sistitis dan Sindrom Uretra Akut (SUA) sedangkan pada laki-laki adalah sistitis, prostatitis, epididymitis, dan uretitis.  Tidak semua ISK menunjukan presentasi klinis (asimtomatik) terutama pada ISK bawah yang lebih sering dialami oleh perempuan.1

Pada ISK atas, penyebab utamanya adalah infeksi bakteri yang terjadi secara ascending dan tidak jarang merupakan komplikasi dari ISK bawah. ISK atas atau yang secara spesifik disebut pielonefritis dapat terjadi secara akut dan kronik. Pielonefritis akut diakibatkan oleh invasi bakteri pada parenkim ginjal. Selain karena infeksi secara ascending, bakteri juga bisa mencapai ginjal melalui aliran darah. 

Kuman-kuman yang sering adalah Escheria coli,Proteus, Klebsiella spp, dan kokus gram positif.1
Presentasi klasik pada pasien dengan pielonefritis akut adalah demam tinggi, nyeri perut hingga pinggang (sudut costovertebral), mual dan atau muntah bahkan anoreksia. Selain itu, penderita juga dapat mengalami disuria, hematuria, dan urgensi. Oleh sebab itu, banyak pasien dengan pielonefritis akut yang memerlukan penanganan secara cepat. Presentasi klinis tersebut lebih sering dialami oleh orang dewasa dan jarang dialami oleh anak-anak, terutama pada anak usia 2 tahun atau lebih muda.2

Pielonefritis kronis ditandai dengan adanya peradangan ginjal dan terbentuknya fibrosis yang disebabkan oleh infeksi ginjal berulang atau persisten, refluks vesikoureteral, atau penyebab penyumbatan saluran kemih lainnya. Pada pielonefritis kronik, manifestasi klinis tidak muncul dengan jelas seperti pada keadaan akut, dan terjadi pada pasien dengan anomali anatomi mayor, paling sering pada anak kecil terutama yang berusia dibawah 2 tahun, dengan vesicourethral reflux (VUR).3

Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan adalah hematologi lengkap dan analisa urin. Secara khusus, adanya nitrit dan sel darah putih pada strip tes urin pada pasien dengan gejala khas cukup untuk diagnosis pielonefritis, dan merupakan indikasi untuk pengobatan empiris. Kultur mikrobiologi urin dan uji sensitivitas antibiotik, dengan atau tanpa kultur mikrobiologi darah harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan menentukan antibiotik yang paling tepat sebagai terapi. Selain pemeriksaan lab, pemeriksaan imaging berupa CT scan dan USG juga dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dan membantu menegakkan diagnosis.4

Pada pasien pielonefritis akut yang disertai demam tinggi dan leukositosis biasanya dirawat di rumah sakit untuk diberikan hidrasi intravena dan perawatan antibiotik intravena. Pengobatan biasanya dimulai dengan fluoroquinolone intravena, aminoglikosida, penisilin spektrum luas, sefalosporin, atau karbapenem. Kombinasi terapi antibiotik sering dilakukan. Regimen pengobatan dipilih berdasarkan data resistensi lokal dan profil kerentanan organisme perusak spesifik.5

Karena kebanyakan kasus pielonefritis disebabkan oleh infeksi bakteri, antibiotik merupakan pengobatan utama. Pilihan antibiotik tergantung pada profil spesies bakteri dan profil sensitivitas antibiotik. Beberapa golongan yang sering digunakan untuk mengeradikasi bakteri penyebab pielonefritis adalah florokuinolon, sefalosporin, aminoglikosida, atau trimetoprim / sulfametoksazol, baik tunggal atau kombinasi. Untuk ISK bawah, dan pielonefritis kronik tampa komplikasi, terapi yang digunakan adalah antibiotik oral sehingga pasien tidak perlu dirawat dirumah sakit.5

1. Tanagho, Emil A. Smith's General Urology. Mc Graw Hill Medical. 2008. 
2. Cabellon, MCL. Chapter 8: Urinary Tract Infections. In Starlin, R. The Washington Manual: Infectious diseases subspecialty consult (1st ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2005. pp. 95–108.
3. Guarino N, Casamassima MG, Tadini B, et al. Natural history of vesicoureteral reflux associated with kidney anomalies. Urology. 2005 Jun. 65(6):1208-11.
4. Ramakrishnan K, Scheid DC. Diagnosis and management of acute pyelonephritis in adults. American Family Physician. 2005; 71 (5): 933–42.
5. Gupta K, Hooton TM, et al. International Clinical Practice Guidelines for the Treatment of Acute Uncomplicated Cystitis and Pyelonephritis in Women: A 2010 Update by the Infectious Diseases Society of America and the European Society for Microbiology and Infectious Diseases. Clinical Infectious Diseases. 2011; 52 (5): e103–20.

Mengapa terapi cairan intravena pada pasien lansia perlu diperhatikan?

Penuaan dikaitkan dengan penurunan fungsi fisiologis dan terganggunya kemampuan seseorang untuk mengkompensasi fluktuasi kondisi lingkungan. Perubahan pada oorgan tertentu seperti  jantung dan ginjal mengakibatkan lansia lebih rentan terhadap perubahan volume cairan dalam tubuh maupun ketidakseimbangan elektrolit. Terapi cairan yang berlebihan (hipervolemia) dapat menyebabkan komplikasi yaitu gagal jantung kongestif atau chronic heart failure (CHF) yang juga berkorelasi dengan hiponatremia.1

Pada lansia, perubahan struktural maupun fungsional terjadi pada organ jantung. Perubahan struktural yang terjadi adalah kekakuan vaskular, peningkatan ketebalan dinding ventrikel (dalam batas normal) dan fibrosis. Pada tahap selanjutnya keadaan tersebut akan menyebabkan disfungsi diastolik, peningkatan afterload, dan Heart Failure with preserved ejection fraction (HFPEF).2

Perubahan Fungsional yang terjadi pada jantung meliputi perubahan denyut jantung maksimal, volume sistolik akhir (end-systolic volume / ESV), volume diastolik akhir (end-dyastolic volume / EDV), kontraktilitas, kontraksi sistolik yang berkepanjangan, relaksasi diastolik yang berkepanjangan, sinyal simpatik, dll. Keadaan tersebut menyebabkan turunnya daya kompensasi jantung usia untuk merespons peningkatan beban kerja.2

Terapi cairan intravena yang berlebihan akan meningkatkan preload. Pada lansia dengan perubahan struktural dan fungsional jantung, preload yang berlebihan ini akan menjadi penyebab terjadinya gagal jantung kongestif karena jantung gagal untuk mengkompensasi keadaan tersebut. Oleh sebab itulah, pemberian cairan intraven apada lansia terutama pada pasien sengan penyakit degeneratif atau yang mempunyai riwayat penyakit ginjal maupupn jantung harus dimonitoring secara intensif guna mencegah terjadinya kelebihan pemberian cairan.

1. Allison SP, Dileep NL. Fluid and electrolytes in the elderly. In : Clinical Nutrition and Metabolic Care. PubMed. February 2004. Diakses dari: https://www.researchgate.net/publication/8612561_Fluid_and_electrolytes_in_the_elderly, 1 oktober 2017.
2. Strait JB, Lakatta EG. Aging-associated cardiovascular changes and their relationship to heart failure. Heart Fail Clin. 2012 Jan; 8(1): 143–164.

Kapan transfusi darah dapat diberikan pada pasien dengan anemia?

Anemia merupakan penurunan massa sel darah merah atau red blood cells (RBC). Fungsi RBC adalah mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru. Fungsi tersebut difasilitasi oleh hemoglobin (Hb), protein tetramer yang terdiri dari heme dan globin. Pada anemia, terjadi penurunan jumlah sel darah merah yang mengangkut oksigen dan karbon dioksida.1

Oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1968, anemia didefinisikan sebagai penurunan kadar hemoglobin (Hb) di bawah 13 g / dl pada pria dan di bawah 12 g / dl pada wanita.2
Anemia merupakan salah satu akibat dari berbagai macam penyakit dan kondisi tubuh. Secara umum, tiga penyebab utama anemia adalah perdarahan, penurunan produksi eritrosit, dan peningkatan destruksi eritrosit. Penyebab perdarahan meliputi trauma dan perdarahan gastrointestinal, penyebab penurunan produksi meliputi kekurangan zat besi, kekurangan vitamin B12, talasemia, dan sejumlah neoplasma sumsum tulang. Sedangkan penyebab peningkatan destruksi mencakup sejumlah kondisi genetik seperti anemia sel sabit, infeksi seperti malaria, dan penyakit autoimun tertentu.3

Terapi anemia disesuaikan dengan penyebab anemia itu sendiri. Salah satu terapi umum anemia adalah transfusi darah atau Packed Red Cell (PRC). Indikasi transfusi darah adalah jika kadar hemoglobin ≤7 g / dL untuk orang dewasa yang memiliki status hemodinamik stabil, termasuk untuk mereka yang sedang berada dalam keadaan kritis,  dan ≤8 g / dL untuk pasien dengan penyakit kardiovaskular atau pasien yang akan menjalani operasi jantung atau ortopedi. Target transfusi darah adalah hb ≥10 g / dL.4

Pada praktik klinis, penurunan Hb tidak perlu secara terburu-buru dikoreksi dengan transfusi darah terutama apabila penyebab dari anemia itu sendiri belum diketahui (bukan karena perdarahah atau syok hypovolemia) dan keadaan klinis pasien tidak terlalu buruk. Hal tersebut dikarenakan pemberian transfusi darah yang terlalu dini dapat “menutupi” anemia untuk sementara waktu (meningkatkan Hb darah) akan tetapi penyebab sesungguhnya tidak tertanggulangi sehingga kemungkinan terjadinya anemia berulang juga semakin besar.

Berdasarkan protokol transfusi darah oleh WHO, obat-obatan atau cairan lainnya tidak boleh disuntikkan ke dalam saluran yang sama dengan saluran transfusi darah dan komponen darah. Pengecualiannya adalah garam normal (natrium klorida 0,9%) yang dapat digunakan dalam keadaan khusus, misalnya jika pada saat transfusi darah alirannya lambat karena terjadi peningkatan hemtokrit atau pada saat menunggu ketersediaan kantung darah.5

Jika transfusi diindikasikan, pasien geriatri harus ditransfusi dengan kecepatan yang lebih lambat daripada orang dewasa muda dan dianjurkan untuk diberikan premedikasi diuretik, dapat berupa furosemid sebanyak 1 ampul.6

1. National Heart, Lung, and Blood Institute. "What Is Anemia? – NHLBI, NIH". Diakses dari: https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/anemia/, pada 29 September 2017.
2. Beutler E, Waalen J. The definition of anemia: What is the lower limit of normal of the blood hemoglobin concentration?. Blood Journal. 2006; 107: 1747-50.
3. Janz TG, Johnson RL, Rubenstein SD. Anemia in the emergency department: evaluation and treatment. Emergency medicine practice. 2013 Nov. 15 (11): 1–15; quiz 15–6.
4. Carson JL, Guyatt G, Heddle NM, Grossman BJ, Cohn CS, Fung MK, et al. Clinical Practice Guidelines From the AABB: Red Blood Cell Transfusion Thresholds and Storage. JAMA. 2016 Nov 15;316(19):2025-2035.
5. Clinical transfusion practice: Guidelines for medical Interns. Diakses dari: http://www.who.int/bloodsafety/transfusion_services/ClinicalTransfusionPracticeGuidelinesforMedicalInternsBangladesh.pdf, 29 September 2017.
6. Beyer I, Compté N, Busuioc A, Cappelle S, Lanoy C, Cytryn E. Anemia and transfusions in geriatric patients: a time for evaluation. Hematology. 2010 Apr;15(2):116-21.

CRP vs PCT?.

Baik CRP (C- Reactive Protein) maupun PCT (Procalcitonin) merupakan protein yang meningkat ketika terjadi inflamasi akut.CRP adalah suatu protein yang diproduksi di hati dan akan meningkat pada kondisi inflames. Tidak jarang CRP diperiksa sebagai pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis penyakit-penyakit seperti Rheumatoid Arthritis (RA), Chron’s disease, Acute Miocardial Infark, dan lainnya. CRP juga diperiksan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi antibiotik, karena CRP serum akan menurun seiring dengan pemulihan sepsis, meskipun CRP itu sendiri merupakan penanda yang sangat tidak spesifik untuk sepsis. Pemeriksaan kadar CRP serum membutuhkan biaya yang relatif murah.1 Nilai normal CRP adalah 0-10 mg/L, sedangkan nilai normal high sensitivity CRP (hs-CRP) adalah < 3 mg/L.2  Karena tingkat CRP awal sering meningkat sebagai akibat dari kondisi inflamasi kronis pada pasien dengan penyakit komorbid tertentu, pemeriksaan CRP dianjurkan untuk dilakukan sebanyak beberapa kali.3

Procalcitonin (PCT) adalah prekursor peptida untuk hormon kalsitonin, yang terlibat dalam homeostasis kalsium. PCT terdiri dari 116 asam amino dan diproduksi oleh sel parafollikular (sel C) tiroid dan oleh sel neuroendokrin paru-paru dan usus.4

Pengukuran procalcitonin dapat digunakan sebagai penanda terjadinya sepsis berat yang disebabkan oleh bakteri dan umumnya dapat menilai dengan tingkat keparahan sepsis, walaupun kadar prokalsitonin dalam darah sangat rendah. PCT memiliki sensitivitas sebesar (85%) dan spesifisitas (91%) untuk membedakan pasien dengan sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) pada pasien sepsis.5

Peningkatan PCT ringan (0,15-2 ng/mL) dapat mrnunjukan adanya infeksi bakteri yang ringan-sedang dan terlokalisir,  dan gagal ginjal terminal. Sedangkan peningkatan PCT serum >2 ng/mL menunjukkan terjadinya bacterial sepsis maupun infeksi bakteri tingkat parah yang terlokalisir seperti pneumonia, meningitis dan peritonitis.

1. Vincent JL, Donadello K, Schmit X. Biomarkers in the critically ill patient: C-reactive protein. Crit. Care Clin. 2011; 27(2), 241–251.
2.  McPherson RA, Matthew R. Pincus MR. Henry's Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 22nd ed. Elsevier Saunders: Philadelphia; 2011. 254-5.
3. Póvoa P, Coelho L, Almeida E et al. C-reactive protein as a marker of infection in critically ill patients. Clin. Microbiol. Infect. 2005; 11(2), 101–108.
4. Deftos LJ, Roos BA, Parthemore JG. "Calcium and skeletal metabolism.. Western Journal of Medicine. 1975-12-0; 123 (6): 447–458.
5. Meisner M, Tschaikowsky K, Palmaers T, Schmidt J. Comparison of Procalcitonin (PCT) and C-reactive Protein (CRP) plasma concentrations at different SOFA scores during the course of sepsis and MODS. Critical Care. 1999; 3 (1): 45–50.
6. Simon L, Gauvin F, Amre DK, Saint-Louis P, Lacroix J, et al. Serum procalcitonin and C-reactive protein levels as markers of bacterial infection: a systematic review and meta-analysis. Clinical Infectious Diseases. 2004; 39:206-17.



Mengapa Allopurinol tidak dapat digunakan pada serangan akut artritis gout?
 Artritis gout adalah bentuk arthritis inflamasi yang ditandai dengan serangan berulang pada sendi dimana sendi berwarna kemerahan, terasa nyeri, teraba hangat, dan bengkak. Predileksi artritis gout adalah Sendi metatarsal I (jempol kaki).1
Artritis gout disebabkan oleh peningkatan kadar asam urat dalam darah yang diperngaruhi oleh faktor diet dan genetik. Pada tingkat tertentu, asam urat dalam darah akan mengkristal dan kristal tersebut akan terdeposit pada sendi, tendon dan jaringan sekitarnya, mengakibatkan artritis gout.2
Pada serangan akut, gout diterapi dengan kolkisin. Kolkisin akan menghambat respons inflamasi akut dengan cara menghambat adhesi, motilitas, dan kemotaksis neutrofil, menghambat aktivasi fosfolipase A2, penjabaran faktor pengaktifan platelet dan leukotrien B4, menghambat pelepasan histamin oleh sel mast, dan mengganggu fungsi reseptor Tumor Necrosis Factor (TNF) - α pada makrofag dan sel endotel sehingga akan mencegah proses infalmasi lokal lebih lanjut pada sendi yang terkena. Dosis awal kolkisin adalah 0,5 - 1,2 mg diikuti dengan 0,5 mg tiap 2 jam sampai nyeri mereda. Profilaksis jangka pendek selama awal terapi dengan alopurinol dan obat orikusurik : satu kali seminggu atau satu kali sehari 0,5 mg.3
Obat asam urat lain yaitu Allopurinol, akan diubah ke dalam bentuk aktif menjadi oxypurinol. Oxypurinol akan menghambat enzim xanthin oxidase sehingga mengurangi terbentuknya asam urat. Obat ini digunakan untuk menurunkan kadar asam urat darah yang tinggi. Dosis maksimum allopurinol adalah 800 mg per hari.4
Pada serangan akut, allopurinol tidak dianjurkan untuk dikomsumsi. Penurunan urat serum secara mendadak setelah pemakaian allopurinol sering memicu artritis gout akut. Kolkisin profilaksis atau NSAID direkomendasikan, dimulai 2 minggu sebelum pemakaian allopurinol bila memungkinkan, dan berlanjut dengan pemakaian allopurinol selama 3-6 bulan untuk mencegah serangan. Alternatif lain adalah dengan memulai allopurinol pada 50-100 mg / hari dan meningkat dengan penambahan yang sama setiap minggu sampai target asam urat serum tercapai.4
1. Chen LX, Schumacher HR (October 2008). "Gout: an evidence-based review". J Clin Rheumatol. 14 (5 Suppl): S55–6.
2. Richette P, Bardin T. Gout. Lancet. January 2010; 375(9711): 318–28.
3. Molad Y. Update on colchicine and its mechanism of action. 2002. Curr Rheum Rep 4: 252–256.
4. Pacher P, Nivorozhkin A, Szabó C . Therapeutic effects of xanthine oxidase inhibitors: renaissance half a century after the discovery of allopurinol. Pharmacological Reviews. 2006; 58 (1): 87–114.
5. Burns CM, Wortmann R. Latest evidence on gout management: what the clinician needs to know. Ther Adv Chronic Dis. 2012 Nov; 3(6): 271–286.

No comments:

Post a Comment