BAB II
TINJAUAN PUSTAKA,
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP
II.1 Tinjauan
Pustaka
Sirosis hati merupakan penyakit
hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat nodul.
Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati
akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur
akibat penambahan jaringan ikat dan nodul.6,7
Etiologi dari sirosis hati di
Indonesia adalah virus hepatitis B sebesar 40-50% dan virus hepatitis C sebesar
30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui (Nurdjanah). Di luar
negeri khususnya Amerika penyebab terbesar dari sirosis hati adalah hepatitis
sebesar 26% dan alkohol sebesar 21%.6,7
Patogenesis sirosis hepatis berawal dari
infeksi virus hepatitis B dan C yang menimbulkan peradangan sel hati.
Peradangan ini menyebabkan nekrosis yang meliputi daerah yang luas, terjadi
kolaps lobulus hati dan hal tersebut akan memacu
timbulnya jaringan kolagen. Tahap
awal yang terjadi adalah septa pasif yang dibentuk oleh jaringan retikulum
penyangga yang mengalami kolaps dan kemudian berubah bentuk menjadi
jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah porta yang satu
dengan lainnya atau porta dengan sentral (bridging necrosis). Pada tahap
berikutnya,
kerusakan parenkim dan peradangan yang terjadi pada sel duktulus, sinusoid dan
sel-sel retikuloendotelial di
dalam hati akan memacu terjadinya fibrogenesis yang akan menimbulkan septa
aktif. Sel limfosit T dan makrofag juga mungkin berperan dengan sekresi
limfokin yang dianggap sebagai mediator dari fibrogenesis. Septa aktif ini akan
menjalar menuju kedalam parenkim hati dan berakhir di daerah portal.
Pembentukan septa tingkat kedua ini yang sangat menentukan progresifitas sirosis
hati. Pada tingkat yang bersamaan nekrosis jaringan parenkim akan memicu proses
regenerasi sel-sel hati. Regenerasi yang timbul akan mengganggu pembentukan
susunan jaringan ikat tadi. Keadaan ini,
yaitu fibrogenesis dan regenerasi sel yang terjadi terus menerus dalam
hubungannya dengan
peradangan dan perubahan vaskular intrahepatik serta gangguan kemampuan faal hati,
pada akhirnya menghasilkan susunan hati yang dapat dilihat pada sirosis hati.
Walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologis sirosis hati sama atau hampir sama.6,8
Secara
klinis, sirosis hati dibagi atas dua
tipe yaitu,
sirosis kompensata atau latent chirrosis tanpa
gejala apapun, tapi
ditemukan secara kebetulan pada hasil biopsi atau pemeriksaan laparoskopi, dan
sirosis dekompensata atau active
chirrosis hepaticdengan kegagalan faal hati dan hipertensi portal.7 Pada
kegagalan hati (hepatoselular) dijumpai gejala subjektif berupa lemah, berat
badan menurun, kembung, mual, cepat lelah dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai spider nevi, muehrke nail, glossy tounge, eritema
palmaris, gatal-gatal, teleangektasia, asites, pertumbuhan rambut yang
berkurang, atrofi testis dan ginekomastia pada pria, ikterus dan ensefalopati
hepatik. Sedangkan pada hasil laboratorium didapatkan hipoalbuminemia disertai
terbaliknya ratio albumin dan globulin serum7,8
Spider nevi adalah lesi vaskular
dimana terdapat arteriol di sentral yang di kelilingi pembuluh-pembuluh darah
kecil. Spider nevi disebabkan oleh peningkatan estradiol. Keluhan ini timbul
pada 1/3 kasus sirosis hati.9 Eritema
palmaris yaitu warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak
tangan disebabkan perubahan metabolisme hormon seks
diakibatkan gangguan hepatoseluler. Muehrke nail berupa kelainan warna pada
kuku dimana terdapat warna putih pada bagian ujung kuku yang berbatas tegas
dengan bagian kuku yang berwarna normal. Hal ini disebabkan hipoalbuminemia
akibat produksi albumin oleh hati yang tidak adekuat. Ginekomastia ditemukan pada pasien laki-laki akibat
peningkatan estradiol dan dapat terjadi pada 66% pasien sirosis hati.
Gatal-gatal atau itching dapat
disebabkan oleh deposit
produksi garam empedu pada kulit. Ikterus atau jaundice akan terjadi bila terdapat peningkatan bilirubin
sekurang-kurangnya 2-3 mg/dL atau 30 mmol/L. Ensefalohepatika adalah komplikasi
sirosis hati yang angka mortalitasnya sangat tinggi. Akibat kegagalan
hepatoseluler, hati tidak dapat mengeliminasi ammonia dan subtansi nitrogen sehingga zat tersebut sampai ke otak. Efek ammonia pada otak dapat menyebabkan pasien
menjadi mudah lupa, sukar konsentrasi, gelisah, susah tidur sehingga akhirnya
jatuh pada gangguan kesadaran.10
Hipertensi
portal pada sirosis hati dihubungkan dengan sirkulasi hiperdinamik yang
ditandai dengan penurunan tahanan arterial, vasodilatasi perifer dan regional.
Vasodilatasi yang disertai dengan peningkatan kardiak indeks dan aliran darah
regional. Aliran darah yang hiperkinetik dijumpai pada daerah splanknik dan
sirkulasi sistemik dengan aliran darah ke intestinal, lambung, limpa dan
pankreas meningkat lebih 50% diatas nilai kontrol. Sirkulasi hiperdinamik
splanknik adalah konstribusi yang utama menyebabkan gejala hipertensi portal.
Meskipun sistem kolateral sistemik terbentuk untuk mengurangi sirkulasi portal
akan tetapi komplikasi hipertensi portal masih dapat terjadi dan yang paling
penting adalah timbulnya varises esofagus dan
perdarahan varises.8 Muntah darah
berwarna hitam biasanya disebabkan oleh pecahnya varises esofagus. Manifestasi sirkulasi kolateral
lain seperti asites dapat dianggap sebagai manifestasi gagal hepatoseluler dan
hipertensi portal yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan osmotik akibat
hipoalbuminemia dan bendungan vena kolateral pada mesenterika yang menyebabkan
penumpukan cairan pada rongga abdomen.11
Diagnosis
pada penderita suspek sirosis hati dekompensata tidak begitu sulit, gabungan
dari kumpulan gejala yang dialami pasien dan tanda yang diperoleh dari
pemeriksaan fisik
sudah cukup mengarahkan kita pada diagnosis. Namun jika
dirasakan diagnosis masih belum pasti, maka USG Abdomen dan tes-tes
laboratorium dapat membantu.8,11 Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan
adanya pembesaran hati dan terasa keras, namun pada stadium yang lebih lanjut
hati justru mengecil dan tidak teraba. Untuk memeriksa derajat asites dapat
menggunakan tes-tes puddle sign, shifting dullness, atau fluid wave. Tanda-tanda klinis lainnya
yang dapat ditemukan pada sirosis yaitu, spider nevi, teleangektasis, muehrke nail, eritema palmaris dan ikterus.7,8
Tes
laboratorium juga dapat digunakan untuk membantu diagnosis, fungsi hati kita
dapat menilainya dengan memeriksa kadar aminotransferase, alkali fosfatase, gamma
glutamil transpeptidase, serum albumin, masa
prothrombin, dan bilirubin. Serum glutamil oksaloasetat (SGOT) dan serum
glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak begitu tinggi dan
juga tidak spesifik.7,8 Kadar aminotransferase biasanya sedikit
meningkat namun bila kadar aminotranferase tidak meningkat tidak menutup
kemungkinan sirosis hati. Alkali fosfatase biasanya meningkat. Begitu juga
gamma glutamil transpeptidase yang biasa ikut meningkat bila alkali fosfatase
meningkat. Kadar albumin serum biasanya semakin menurun sesuai progresifitas
sirosis hati sedangkan kadar bilirubin darah semakin meningkat. Masa protrombin
menjadi memanjang disebabkan hati mensintesis faktor-faktor pembekuan darah.
Globulin akan ikut meningkat supaya antigen-antigen bakteri tidak memperberat
infeksi pada hati.10
Pemeriksaan
radiologis seperti USG abdomen,
sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya noninvasif dan mudah
dilakukan. Pemeriksaan USG meliputi sudut hati, permukaan hati,
ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan
noduler, permukaan irreguler, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati.
Selain itu USG juga dapat menilai asites, splenomegali, thrombosis vena porta,
pelebaran vena porta, dan skrining karsinoma hati pada pasien sirosis. Diagnosa
pasti pada sirosis hati dapat ditegakkan dengan biopsi hati.8,11
Prognosis dari sirosis hati
tergantung dari beberapa hal dan tidak selamanya buruk.
Sampai saat ini yang paling populer dipakai sebagai parameter dalam upaya menentukan
prognostik sirosis hati adalah kriteria Child Pugh (tabel 1).7
Tabel
1. Klasifikasi Child-Pugh pada Sirosis Hati (Dikutip dari7
)
Parameter
|
Ringan (1 point)
|
Sedang (2 point)
|
Berat (3 point)
|
Bilirubin
serum (mg/dl)
|
< 2
|
2-3
|
>3
|
Albumin
serum (g/dl)
|
> 3,5
|
< 3
|
|
Masa
protrombin (detik)
|
0-4
|
4-6
|
>6
|
Asites
|
-
|
Terkontrol
|
Tidak terkontrol
|
Ensefalopati
|
-
|
Minimal
|
Berat
|
Skor berjumlah 5-6 masuk ke Child Pugh klas A, 7-9 klas B, 10-15 klas C
Malnutrisi
pada sirosis hati berkisar antara 65-90%. Keadaan ini antara lain
disebabkan oleh asupan yang kurang akibat anoreksia, adanya asites,
ensefalopati, disamping pembatasan protein yang memang diberikan untuk mencegah
perburukan ensefalopati.12 Di lain pihak, malnutrisi dihubungkan
dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit hati
kronik. Pasien dengan malnutrisi telah terbukti mempunyai angka survival yang
lebih rendah 13,14
Pemeriksaan
antropometrik banyak digunakan sebagai tolok ukur yang praktis dan objektif
dari menurunnya status gizi pada penyakit hati kronik. Namun pemeriksaan indeks
massa tubuh (IMT) yang menggunakan alat ukut timbangan dan pita meter bisa
tidak akurat pada pasien sirosis dengan edema dan asites. Karena itu lebih
dipilih TSF dan MAMC.15,16 TSF dam MAMC dapat diukur secara akurat
dengan pengaruh minimal dari edema atau asites. MAMC dihitung dengan rumus:
MAMC = MUAC – [3,14 x TSF(cm)].15 MUAC adalah muscle upper arm circumference. Pasien
dengan sirosis hati dinyatakan malnutrisi bila TSF dan/atau MAMC dibawah
persentil 5 (malnutrisi berat) atau antara persentil 5,1-15 (malnutrisi ringan)
dari data referensi Frisancho (NHANES I dan II) dan/atau IMT <20 kg/m2
dan/atau ada kehilangan berat badan ≥5–10% dalam 3–6 bulan terakhir.16 Kelemahan lain dari pemeriksaan
antropometrik khusus untuk subjek Asia
termasuk Indonesia adalah belum ada referensi nilai persentil untuk TSF, MUAC
dan MAMC. Yang hingga kini masih digunakan sebagai acuan adalah data dari the United
States Health and Nutrition Examination Survey I of 1971 to 1974.17,18
Banyak
cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui status nutrisi dari seorang pasien
yang menderita sirosis hepatis. Berat badan, protein serum, dan tes imunologik
banyak dipengaruhi oleh banyak faktor non-nutrisional sehingga pendekatan
dengan cara ini dinilai kurang akurat. Oleh dasar tersebut, maka
parameter antropometri lebih dipercaya untuk menilai status nutrisi pada
sirosis.. Parameter antropometri yang paling umum digunakan adalah indeks massa
tubuh (IMT). Dinyatakan gizi kurang bila IMT <18.5 kg/m2, normal bila IMT 18.5–24.9 kg/m2,
gizi lebih bila 25–29.9 kg/m2 dan obes bila ≥ 30 kg/m2.18 Cara
penilaian lain ialah dengan trisep
skinfold thickness TSF dan mid-arm
muscle circumference MAMC, karena kedua nilai ini dianggap dapat mengukur
status nutrisi pasien dengan penyakit liver stadium lanjut secara akurat dan
nilainya hanya dipengaruhi sedikit oleh retensi cairan.17 Pasien
dikatakan malnutrisi bila [1] Triceps skin-fold thickness (TSF) dibawah persentil ke – 5, dan
atau [2] mid-arm muscle circumference
(MAMC) dibawah persentil ke-15, dan
atau [3] IMT < 20 kg/m2 , dan atau [4] terjadi
penurunan berat badan ≥ 5–10 % dalam 3- 6 bulan terakhir.17 Triceps
skin fold (TSF) yang diukur oleh pengukur yang sama dengan caliper Corona pada
titik pertengahan antara akromion dengan olekranon dari lengan yang tidak
dominan. Mid Arm Muscle Circumference
(MAMC) dihitung berdasarkan rumus: MAMC(cm) = MUAC-[3.14 x TSF(cm)], dimana
MUAC adalah Mid Upper Arm Circumference.19
Status nutrisi bisa juga kita
tentukan dengan menggunakan SGA ( Subjective Global Assessment). SGA merupakan
suatu teknik penentuan status nutrisi yang baru ditemukan.prosedurnya mudah
untuk dipelajari dan mudah untuk dilaksanakan. SGA tidak memerlukan data
laboratorium untuk penentuannya. SGA ditentukan berdasarkan riwayat medis, dan
pemeriksaan fisik.19,20
Komplikasi lain dari sirosis hati
adalah terjadinya DM. Diperkirakan sekitar 60% - 80%
penderita sirosis hati (SH) juga
menderita gangguan toleransi glukosa
termasuk diabetes melitus (DM) dan TGT (toleransi glukosa terganggu). Hingga
kini masih diperdebatkan mana yang timbul lebih dahulu, DM ataukah SH. Masih
menjadi pertanyaan apakah penderita DM tanpa obesitas atau hipertrigliseridemia
tetap menjadi faktor risiko untuk menjadi SH. DM sebagai komplikasi sirosis
hati dikenal sebagai ’hepatogenous diabetes’ atau ’DM tipe sirosis’.1,2 Resistensi
insulin pada otot dan jaringan lemak serta hiperinsulinemia diduga berperan
dalam patofisiologinya. Gangguan fungsi sel beta pankreas dan resistensi
insulin hepatik juga turut berperan. ’Hepatogenous
diabetes’ atau ’DM tipe sirosis’ merupakan penyakit yang secara klinis
berbeda dengan DM tipe 2 (DMT2), karena komplikasi makroangiopati jarang
terjadi dan pasien lebih sering terkena komplikasi kronik dari sirosisnya. DM
mempertinggi angka kematian pada sirosis hati.
Tidak
banyak peneliti menulis tentang DM tipe sirosis ini. Di awal tahun 80-an,
Budisantoso2 mendapatkan pada populasi DM di tahun 1981, 25% mengalami toleransi
glukosa terganggu, dan 32% mengalami diabetes mellitus. Di tahun 1985 Budisantoso3,4 mendapatkan 34,7%
mengalami toleransi glukosa terganggu, dan 48,6% mengalami diabetes mellitus
tipe sirosis. Namun selanjutnya publikasi mengenai DM tipe sirosis sulit
didapatkan.
American
Diabetes Association
(ADA) 20055 mengklasifikasikan DM dalam 4 kelompok, yaitu [1]
Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin
Dependent Diabetes Mellitus/ IDDM, [2] Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/
NIDDM [3] Diabetes Melitus Tipe Lain dan [4] Diabetes Melitus Gestasional.
Diabetes Melitus Tipe Lain yang dimaksud dalam klasifikasi ADA 2005 adalah defek genetik fungsi sel, defek
genetik kerja insulin, penyakit kelenjar
eksokrin pankreas, endokrinopati, obat atau bahan kimia, infeksi, uncommon forms of immune-mediated diabetes
dan sindrom genetik lain yang berhubungan dengan diabetes. Dalam klasifikasi
ini tidak lagi terdapat DM tipe sirosis (tabel 2). Timbul pertanyaan, bagaimana
keberadaan DM tipe sirosis dalam klasifikasi diabetes mellitus sekarang ini.
Tabel
2. Klasifikasi Diabetes Melitus menurut ADA 20055
Klasifikasi etiologi diabetes melitus
|
I.
Type 1 diabetes (b-cell
destruction, usually leading to absolute insulin deficiency)
a.
Immune mediated
b.
Idiopathic
II.
Type 2 diabetes (may range from predominantly insulin
resistance with relative insulin deficiency to a predominantly secretory
defect with insulin resistance)
III.
Other specific types
A.
Genetic defects ofb-cell
function
a.
Chromosome 12, HNF-1a(MODY3)
b.
Chromosome 7, glucokinase (MODY2)
c.
Chromosome 20, HNF-4a(MODY1)
d.
Chromosome 13, insulin promoter factor-1 (IPF-1;
MODY4)
e.
Chromosome 17, HNF-1b(MODY5)
f.
Chromosome 2,NeuroD1(MODY6)
g.
Mitochondrial DNA
h.
Others
B.
Genetic defects in insulin action
a.
Type A insulin resistance
b.
Leprechaunism
c.
Rabson-Mendenhall syndrome
d.
Lipoatrophic diabetes
e.
Others
C.
Diseases of the exocrine pancreas
a.
Pancreatitis
b.
Trauma/pancreatectomy
c.
Neoplasia
d.
Cystic fibrosis
e.
Hemochromatosis
f.
Fibrocalculous pancreatopathy
g.
Others
D.
Endocrinopathies
a.
Acromegaly
b.
Cushing’s syndrome
c.
Glucagonoma
d.
Pheochromocytoma
e.
Hyperthyroidism
f.
Somatostatinoma
g.
Aldosteronoma
h.
Others
E.
Drug- or chemical-induced
a.
Vacor
b.
Pentamidine
c.
Nicotinic acid
d.
Glucocorticoids
e.
Thyroid hormone
f.
Diazoxide
g.
b-adrenergic
agonists
h.
Thiazides
i.
Dilantin
j.
a-Interferon
k.
Others
F.
Infections
a.
Congenital rubella
b.
Cytomegalovirus
c.
Others
G.
Uncommon forms of immune-mediated diabetes
a.
“Stiff-man” syndrome
b.
Anti–insulin receptor antibodies
c.
Others
H.
Other genetic syndromes sometimes associated with
diabetes
a.
Down’s syndrome
b.
Klinefelter’s syndrome
c.
Turner’s syndrome
d.
Wolfram’s syndrome
e.
Friedreich’s ataxia
f.
Huntington’s chorea
g.
Laurence-Moon-Biedl syndrome
h.
Myotonic dystrophy
i.
Porphyria
j.
Prader-Willi syndrome
k.
Others
IV.
Gestational diabetes mellitus (GDM)
|
’Hepatogenous diabetes’ atau ’DM
tipe sirosis’ merupakan penyakit yang secara klinis berbeda dengan DM tipe 2
(DMT2). Sebuah studi membandingkan DM tipe sirosis dengan DMT2. Didapatkan
rasio glukosa darah 2 jam postprandial (GDPP)/GD puasa (GDP) = 2,27 pada DM
tipe sirosis, dan 1,69 pada DMT2. Insulin puasa pada DM tipe sirosis 23,2
µIU/mL, dan 11,6 µIU/mL pada DMT2. Indeks Homa IR pada DM tipe sirosis 8,38,
dan 3,52 pada DMT2.6 Komplikasi
makroangiopati pada DM tipe sirosis jarang terjadi karena pasien lebih dahulu
terkena komplikasi kronik dari sirosisnya. DM mempertinggi angka kematian pada
sirosis hati. Hanya sedikit studi yang mempelajari DM tipe sirosis. Diduga DM
memperburuk perjalanan penyakit sirosis hati dan peningkatkan kejadian
karsinoma hepatoseluler.6
Tatalaksana DM tipe sirosis
menjadi kompleks karena harus memperhitungkan kerusakan hati dan
kepatotoksisitas obat hipoglikemik oral (OHO) nya.1,6 Tatalaksana
penyakit ini tidak sama dengan DM tipe 2 karena [1] Hampir separuh pasien
malnutrisi. [2] Saat DM tipe sirosis terdiagnosis, pasien sudah dalam penyakit
hati stadium lanjut. [3] Hampir semua OHO dimetabolisme di hati. [4] Pasien
sering jatuh dalam hipoglikemia.6 Lebih jauh, pemberian insulin
eksogen dan sulfonilurea disinyalir dapat memicu terjadinya hepatoma pada sirosis
hati, sebaliknya metformin menurunkan risiko terjadinya hepatoma.21 Di pihak lain, ada anggapan yang beredar di
masyarakat bahwa penyakit hati memerlukan asupan gula yang tinggi. Hal ini
membuat pasien dengan gangguan hati kronis akan mempertinggi asupan gulanya.
Bahkan sekalipun pasien tersebut telah diketahui menderita DM, mereka tetap
memilih asupan glukosa tinggi untuk upaya perbaikan penyakit hatinya. Hal ini
seringkali luput dari perhatian medik, dan mungkin saja merupakan faktor lain
yang mempersulit tatalaksana DM pada penyakit hati.
No comments:
Post a Comment