Monday, September 2, 2013

Bimbingan Penelitian IPD FK UKRIDA: LAPORAN PENELITIAN (BAB II)


BAB II  
TINJAUAN  PUSTAKA,
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

II.1      Tinjauan Pustaka

Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul.6,7
Etiologi dari sirosis hati di Indonesia adalah virus hepatitis B sebesar 40-50% dan virus hepatitis C sebesar 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui (Nurdjanah). Di luar negeri khususnya Amerika penyebab terbesar dari sirosis hati adalah hepatitis sebesar 26% dan alkohol sebesar 21%.6,7
Patogenesis sirosis hepatis berawal dari infeksi virus hepatitis B dan C yang menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan ini menyebabkan nekrosis yang meliputi daerah yang luas, terjadi kolaps lobulus hati dan  hal tersebut akan memacu timbulnya jaringan kolagen. Tahap awal yang terjadi adalah septa pasif yang dibentuk oleh jaringan retikulum penyangga yang mengalami kolaps dan kemudian berubah bentuk menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah porta yang satu dengan lainnya atau porta dengan sentral (bridging necrosis). Pada tahap berikutnya, kerusakan parenkim dan peradangan yang terjadi pada sel duktulus, sinusoid dan sel-sel retikuloendotelial di dalam hati akan memacu terjadinya fibrogenesis yang akan menimbulkan septa aktif. Sel limfosit T dan makrofag juga mungkin berperan dengan sekresi limfokin yang dianggap sebagai mediator dari fibrogenesis. Septa aktif ini akan menjalar menuju kedalam parenkim hati dan berakhir di daerah portal. Pembentukan septa tingkat kedua ini yang sangat menentukan progresifitas sirosis hati. Pada tingkat yang bersamaan nekrosis jaringan parenkim akan memicu proses regenerasi sel-sel hati. Regenerasi yang timbul akan mengganggu pembentukan susunan jaringan ikat tadi. Keadaan ini, yaitu fibrogenesis dan regenerasi sel yang terjadi terus menerus dalam hubungannya dengan peradangan dan perubahan vaskular intrahepatik serta gangguan kemampuan faal hati, pada akhirnya menghasilkan susunan hati yang dapat dilihat pada sirosis hati. Walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologis sirosis hati sama atau hampir sama.6,8
Secara klinis, sirosis hati dibagi atas dua tipe yaitu, sirosis kompensata atau latent chirrosis tanpa gejala apapun, tapi ditemukan secara kebetulan pada hasil biopsi atau pemeriksaan laparoskopi, dan sirosis dekompensata atau active chirrosis hepaticdengan kegagalan faal hati dan hipertensi portal.7 Pada kegagalan hati (hepatoselular) dijumpai gejala subjektif berupa lemah, berat badan menurun, kembung, mual, cepat lelah dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik dijumpai spider nevi, muehrke nail, glossy tounge, eritema palmaris, gatal-gatal, teleangektasia, asites, pertumbuhan rambut yang berkurang, atrofi testis dan ginekomastia pada pria, ikterus dan ensefalopati hepatik. Sedangkan pada hasil laboratorium didapatkan hipoalbuminemia disertai terbaliknya ratio albumin dan globulin serum7,8
Spider nevi adalah lesi vaskular dimana terdapat arteriol di sentral yang di kelilingi pembuluh-pembuluh darah kecil. Spider nevi disebabkan oleh peningkatan estradiol. Keluhan ini timbul pada 1/3 kasus sirosis hati.9 Eritema palmaris yaitu warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan disebabkan perubahan metabolisme hormon seks diakibatkan gangguan hepatoseluler. Muehrke nail berupa kelainan warna pada kuku dimana terdapat warna putih pada bagian ujung kuku yang berbatas tegas dengan bagian kuku yang berwarna normal. Hal ini disebabkan hipoalbuminemia akibat produksi albumin oleh hati yang tidak adekuat. Ginekomastia ditemukan pada pasien laki-laki akibat peningkatan estradiol dan dapat terjadi pada 66% pasien sirosis hati. Gatal-gatal atau itching dapat disebabkan oleh deposit produksi garam empedu pada kulit. Ikterus atau jaundice akan terjadi bila terdapat peningkatan bilirubin sekurang-kurangnya 2-3 mg/dL atau 30 mmol/L. Ensefalohepatika adalah komplikasi sirosis hati yang angka mortalitasnya sangat tinggi. Akibat kegagalan hepatoseluler, hati tidak dapat mengeliminasi ammonia dan subtansi nitrogen sehingga zat tersebut sampai ke otak. Efek ammonia pada otak dapat menyebabkan pasien menjadi mudah lupa, sukar konsentrasi, gelisah, susah tidur sehingga akhirnya jatuh pada gangguan kesadaran.10
            Hipertensi portal pada sirosis hati dihubungkan dengan sirkulasi hiperdinamik yang ditandai dengan penurunan tahanan arterial, vasodilatasi perifer dan regional. Vasodilatasi yang disertai dengan peningkatan kardiak indeks dan aliran darah regional. Aliran darah yang hiperkinetik dijumpai pada daerah splanknik dan sirkulasi sistemik dengan aliran darah ke intestinal, lambung, limpa dan pankreas meningkat lebih 50% diatas nilai kontrol. Sirkulasi hiperdinamik splanknik adalah konstribusi yang utama menyebabkan gejala hipertensi portal. Meskipun sistem kolateral sistemik terbentuk untuk mengurangi sirkulasi portal akan tetapi komplikasi hipertensi portal masih dapat terjadi dan yang paling penting adalah timbulnya varises esofagus dan perdarahan varises.8  Muntah darah berwarna hitam biasanya disebabkan oleh pecahnya varises esofagus. Manifestasi sirkulasi kolateral lain seperti asites dapat dianggap sebagai manifestasi gagal hepatoseluler dan hipertensi portal yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan osmotik akibat hipoalbuminemia dan bendungan vena kolateral pada mesenterika yang menyebabkan penumpukan cairan pada rongga abdomen.11
Diagnosis pada penderita suspek sirosis hati dekompensata tidak begitu sulit, gabungan dari kumpulan gejala yang dialami pasien dan tanda yang diperoleh dari pemeriksaan fisik sudah cukup mengarahkan kita pada diagnosis. Namun jika dirasakan diagnosis masih belum pasti, maka USG Abdomen dan tes-tes laboratorium dapat membantu.8,11 Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan adanya pembesaran hati dan terasa keras, namun pada stadium yang lebih lanjut hati justru mengecil dan tidak teraba. Untuk memeriksa derajat asites dapat menggunakan tes-tes puddle sign, shifting dullness, atau fluid wave. Tanda-tanda klinis lainnya yang dapat ditemukan pada sirosis yaitu, spider nevi, teleangektasis, muehrke nail, eritema palmaris dan ikterus.7,8
Tes laboratorium juga dapat digunakan untuk membantu diagnosis, fungsi hati kita dapat menilainya dengan memeriksa kadar aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, serum albumin, masa prothrombin, dan bilirubin. Serum glutamil oksaloasetat (SGOT) dan serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak begitu tinggi dan juga tidak spesifik.7,8 Kadar aminotransferase biasanya sedikit meningkat namun bila kadar aminotranferase tidak meningkat tidak menutup kemungkinan sirosis hati. Alkali fosfatase biasanya meningkat. Begitu juga gamma glutamil transpeptidase yang biasa ikut meningkat bila alkali fosfatase meningkat. Kadar albumin serum biasanya semakin menurun sesuai progresifitas sirosis hati sedangkan kadar bilirubin darah semakin meningkat. Masa protrombin menjadi memanjang disebabkan hati mensintesis faktor-faktor pembekuan darah. Globulin akan ikut meningkat supaya antigen-antigen bakteri tidak memperberat infeksi pada hati.10
Pemeriksaan radiologis seperti USG abdomen, sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya noninvasif dan mudah dilakukan. Pemeriksaan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan noduler, permukaan irreguler, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga dapat menilai asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta, dan skrining karsinoma hati pada pasien sirosis. Diagnosa pasti pada sirosis hati dapat ditegakkan dengan biopsi hati.8,11
Prognosis dari sirosis hati tergantung dari beberapa hal dan tidak selamanya buruk. Sampai saat ini yang paling populer dipakai sebagai parameter dalam upaya menentukan prognostik sirosis hati adalah kriteria Child Pugh (tabel 1).7

Tabel 1. Klasifikasi Child-Pugh pada Sirosis Hati (Dikutip dari7 )
 Parameter
Ringan (1 point)
Sedang  (2 point)
Berat (3 point)
Bilirubin serum (mg/dl)
< 2
2-3
>3
Albumin serum (g/dl)
> 3,5
< 3
Masa protrombin (detik)
0-4
4-6
>6
Asites
-
Terkontrol
Tidak terkontrol
Ensefalopati
-
Minimal
Berat
             Skor berjumlah 5-6 masuk ke Child Pugh klas A, 7-9 klas B, 10-15 klas C

Malnutrisi pada sirosis hati berkisar antara 65-90%. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh asupan yang kurang akibat anoreksia, adanya asites, ensefalopati, disamping pembatasan protein yang memang diberikan untuk mencegah perburukan ensefalopati.12 Di lain pihak, malnutrisi dihubungkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit hati kronik. Pasien dengan malnutrisi telah terbukti mempunyai angka survival yang lebih rendah 13,14
Pemeriksaan antropometrik banyak digunakan sebagai tolok ukur yang praktis dan objektif dari menurunnya status gizi pada penyakit hati kronik. Namun pemeriksaan indeks massa tubuh (IMT) yang menggunakan alat ukut timbangan dan pita meter bisa tidak akurat pada pasien sirosis dengan edema dan asites. Karena itu lebih dipilih TSF dan MAMC.15,16 TSF dam MAMC dapat diukur secara akurat dengan pengaruh minimal dari edema atau asites. MAMC dihitung dengan rumus: MAMC = MUAC – [3,14 x TSF(cm)].15 MUAC adalah muscle upper arm circumference. Pasien dengan sirosis hati dinyatakan malnutrisi bila TSF dan/atau MAMC dibawah persentil 5 (malnutrisi berat) atau antara persentil 5,1-15 (malnutrisi ringan) dari data referensi Frisancho (NHANES I dan II) dan/atau IMT <20 kg/m2 dan/atau ada kehilangan berat badan ≥5–10% dalam 3–6 bulan terakhir.16  Kelemahan lain dari pemeriksaan antropometrik khusus untuk subjek  Asia termasuk Indonesia adalah belum ada referensi nilai persentil untuk TSF, MUAC dan MAMC. Yang hingga kini masih digunakan sebagai acuan adalah data dari the United States Health and Nutrition Examination Survey I of 1971 to 1974.17,18 
       Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui status nutrisi dari seorang pasien yang menderita sirosis hepatis. Berat badan, protein serum, dan tes imunologik banyak dipengaruhi oleh banyak faktor non-nutrisional sehingga pendekatan dengan cara ini dinilai kurang akurat. Oleh dasar tersebut, maka parameter antropometri lebih dipercaya untuk menilai status nutrisi pada sirosis.. Parameter antropometri yang paling umum digunakan adalah indeks massa tubuh (IMT). Dinyatakan gizi kurang bila IMT <18.5 kg/m2, normal bila IMT 18.5–24.9 kg/m2, gizi lebih bila 25–29.9 kg/m2 dan obes bila ≥ 30 kg/m2.18 Cara penilaian lain ialah dengan trisep skinfold thickness TSF dan mid-arm muscle circumference MAMC, karena kedua nilai ini dianggap dapat mengukur status nutrisi pasien dengan penyakit liver stadium lanjut secara akurat dan nilainya hanya dipengaruhi sedikit oleh retensi cairan.17 Pasien dikatakan malnutrisi bila [1] Triceps skin-fold thickness (TSF) dibawah persentil ke – 5, dan atau [2] mid-arm muscle circumference (MAMC) dibawah  persentil ke-15, dan atau [3] IMT < 20 kg/m2 , dan atau [4] terjadi penurunan berat badan ≥ 5–10 % dalam 3- 6 bulan terakhir.17 Triceps skin fold (TSF) yang diukur oleh pengukur yang sama dengan caliper Corona pada titik pertengahan antara akromion dengan olekranon dari lengan yang tidak dominan. Mid Arm Muscle Circumference (MAMC) dihitung berdasarkan rumus: MAMC(cm) = MUAC-[3.14 x TSF(cm)], dimana MUAC adalah Mid Upper Arm Circumference.19
            Status nutrisi bisa juga kita tentukan dengan menggunakan SGA ( Subjective Global Assessment). SGA merupakan suatu teknik penentuan status nutrisi yang baru ditemukan.prosedurnya mudah untuk dipelajari dan mudah untuk dilaksanakan. SGA tidak memerlukan data laboratorium untuk penentuannya. SGA ditentukan berdasarkan riwayat medis, dan pemeriksaan fisik.19,20
Komplikasi lain dari sirosis hati adalah terjadinya DM. Diperkirakan sekitar 60% - 80% penderita sirosis hati (SH)  juga menderita gangguan toleransi glukosa  termasuk diabetes melitus (DM) dan TGT (toleransi glukosa terganggu). Hingga kini masih diperdebatkan mana yang timbul lebih dahulu, DM ataukah SH. Masih menjadi pertanyaan apakah penderita DM tanpa obesitas atau hipertrigliseridemia tetap menjadi faktor risiko untuk menjadi SH. DM sebagai komplikasi sirosis hati dikenal sebagai ’hepatogenous diabetes’ atau ’DM tipe sirosis’.1,2 Resistensi insulin pada otot dan jaringan lemak serta hiperinsulinemia diduga berperan dalam patofisiologinya. Gangguan fungsi sel beta pankreas dan resistensi insulin hepatik juga turut berperan. ’Hepatogenous diabetes’ atau ’DM tipe sirosis’ merupakan penyakit yang secara klinis berbeda dengan DM tipe 2 (DMT2), karena komplikasi makroangiopati jarang terjadi dan pasien lebih sering terkena komplikasi kronik dari sirosisnya. DM mempertinggi angka kematian pada sirosis hati.
Tidak banyak peneliti menulis tentang DM tipe sirosis ini. Di awal tahun 80-an, Budisantoso2 mendapatkan pada populasi DM di tahun 1981, 25% mengalami toleransi glukosa terganggu, dan 32% mengalami diabetes mellitus.  Di tahun 1985  Budisantoso3,4 mendapatkan  34,7% mengalami toleransi glukosa terganggu, dan 48,6% mengalami diabetes mellitus tipe sirosis. Namun selanjutnya publikasi mengenai DM tipe sirosis sulit didapatkan.
American Diabetes Association (ADA) 20055 mengklasifikasikan DM dalam 4 kelompok, yaitu [1] Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/ IDDM, [2] Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/ NIDDM [3] Diabetes Melitus Tipe Lain dan [4] Diabetes Melitus Gestasional. Diabetes Melitus Tipe Lain yang dimaksud dalam klasifikasi ADA 2005 adalah defek genetik fungsi sel, defek genetik  kerja insulin, penyakit kelenjar eksokrin pankreas, endokrinopati, obat atau bahan kimia, infeksi, uncommon forms of immune-mediated diabetes dan sindrom genetik lain yang berhubungan dengan diabetes. Dalam klasifikasi ini tidak lagi terdapat DM tipe sirosis (tabel 2). Timbul pertanyaan, bagaimana keberadaan DM tipe sirosis dalam klasifikasi diabetes mellitus sekarang ini.

Tabel 2. Klasifikasi Diabetes Melitus menurut ADA 20055
Klasifikasi etiologi diabetes melitus
        I.            Type 1 diabetes (b-cell destruction, usually leading to absolute insulin deficiency)
a.       Immune mediated
b.       Idiopathic
      II.            Type 2 diabetes (may range from predominantly insulin resistance with relative insulin deficiency to a predominantly secretory defect with insulin resistance)
   III.            Other specific types
A.      Genetic defects ofb-cell function
a.       Chromosome 12, HNF-1a(MODY3)
b.       Chromosome 7, glucokinase (MODY2)
c.        Chromosome 20, HNF-4a(MODY1)
d.       Chromosome 13, insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY4)
e.        Chromosome 17, HNF-1b(MODY5)
f.        Chromosome 2,NeuroD1(MODY6)
g.        Mitochondrial DNA
h.       Others
B.      Genetic defects in insulin action
a.       Type A insulin resistance
b.       Leprechaunism
c.        Rabson-Mendenhall syndrome
d.       Lipoatrophic diabetes
e.        Others
C.      Diseases of the exocrine pancreas
a.       Pancreatitis
b.       Trauma/pancreatectomy
c.        Neoplasia
d.       Cystic fibrosis
e.        Hemochromatosis
f.        Fibrocalculous pancreatopathy
g.        Others
D.      Endocrinopathies
a.       Acromegaly
b.       Cushing’s syndrome
c.        Glucagonoma
d.       Pheochromocytoma
e.        Hyperthyroidism
f.        Somatostatinoma
g.        Aldosteronoma
h.       Others
E.       Drug- or chemical-induced
a.       Vacor
b.       Pentamidine
c.        Nicotinic acid
d.       Glucocorticoids
e.        Thyroid hormone
f.        Diazoxide
g.        b-adrenergic agonists
h.       Thiazides
i.         Dilantin
j.         a-Interferon
k.       Others
F.       Infections
a.       Congenital rubella
b.       Cytomegalovirus
c.        Others
G.      Uncommon forms of immune-mediated diabetes
a.       “Stiff-man” syndrome
b.       Anti–insulin receptor antibodies
c.        Others
H.      Other genetic syndromes sometimes associated with diabetes
a.       Down’s syndrome
b.       Klinefelter’s syndrome
c.        Turner’s syndrome
d.       Wolfram’s syndrome
e.        Friedreich’s ataxia
f.        Huntington’s chorea
g.        Laurence-Moon-Biedl syndrome
h.       Myotonic dystrophy
i.         Porphyria
j.         Prader-Willi syndrome
k.       Others
    IV.            Gestational diabetes mellitus (GDM)

’Hepatogenous diabetes’ atau ’DM tipe sirosis’ merupakan penyakit yang secara klinis berbeda dengan DM tipe 2 (DMT2). Sebuah studi membandingkan DM tipe sirosis dengan DMT2. Didapatkan rasio glukosa darah 2 jam postprandial (GDPP)/GD puasa (GDP) = 2,27 pada DM tipe sirosis, dan 1,69 pada DMT2. Insulin puasa pada DM tipe sirosis 23,2 µIU/mL, dan 11,6 µIU/mL pada DMT2. Indeks Homa IR pada DM tipe sirosis 8,38, dan 3,52 pada DMT2.6  Komplikasi makroangiopati pada DM tipe sirosis jarang terjadi karena pasien lebih dahulu terkena komplikasi kronik dari sirosisnya. DM mempertinggi angka kematian pada sirosis hati. Hanya sedikit studi yang mempelajari DM tipe sirosis. Diduga DM memperburuk perjalanan penyakit sirosis hati dan peningkatkan kejadian karsinoma hepatoseluler.6
Tatalaksana DM tipe sirosis menjadi kompleks karena harus memperhitungkan kerusakan hati dan kepatotoksisitas obat hipoglikemik oral (OHO) nya.1,6 Tatalaksana penyakit ini tidak sama dengan DM tipe 2 karena [1] Hampir separuh pasien malnutrisi. [2] Saat DM tipe sirosis terdiagnosis, pasien sudah dalam penyakit hati stadium lanjut. [3] Hampir semua OHO dimetabolisme di hati. [4] Pasien sering jatuh dalam hipoglikemia.6 Lebih jauh, pemberian insulin eksogen dan sulfonilurea disinyalir dapat memicu terjadinya hepatoma pada sirosis hati, sebaliknya metformin menurunkan risiko terjadinya hepatoma.21  Di pihak lain, ada anggapan yang beredar di masyarakat bahwa penyakit hati memerlukan asupan gula yang tinggi. Hal ini membuat pasien dengan gangguan hati kronis akan mempertinggi asupan gulanya. Bahkan sekalipun pasien tersebut telah diketahui menderita DM, mereka tetap memilih asupan glukosa tinggi untuk upaya perbaikan penyakit hatinya. Hal ini seringkali luput dari perhatian medik, dan mungkin saja merupakan faktor lain yang mempersulit tatalaksana DM pada penyakit hati.



No comments:

Post a Comment