Monday, June 19, 2017

BIMBINGAN IPD 18 - SIROSIS HEPATIS DAN KOMPLIKASINYA
Jumat, 2 Juni 2017
Disampaikan oleh:
dr. Suzanna Ndraha, Sp.PD, KGEH, FINASIM

Diringkas oleh:
Cicilia Desynta


Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis merupakan keadaan patologik yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Sirosis hati dapat tidak menimbulkan gejala bila tanpa hipertensi portal, tetapi bila disertai dengan hipertensi portal maka berbagai komplikasi akan muncul. Selain akibat alkohol dan infeksi, sirosis hati sebenarnya dapat disebabkan oleh berbagai macam diantaranya yaitu penyakit billiaris, bendungan hati kronik, gangguan metabolic, zat hepatotoksik, maupun faktor keturunan. Berdasarkan morfologinya, sirosis dibedakan menjadi mikronoduler, makronoduler, dan campuran antara mikronoduler dan makronoduler. Pada sirosis mikronoduler, nodul uniform dengan diameter kurang dari 3mm dan penyebabnya karena alcohol, hemokromatosis, obstruksi bilier maupun vena. Sedangkan pada sirosis makronoduler, nodul bervariasi dengan diameter lebih dari 3mm dan biasanya karena hepatitis B atau C kronik, defisiensi alfa-1-antitripsin, dan sirosis bilier primer.
       Gejala awal yaitu berupa gejala ringan seperti keluhan lemas, mudah lelah, nafsu makan berkurang, kembung, mual, dan berat badan menurun. Pada tahap lebih lanjut yaitu rambut berkurang, gangguan tidur, demam ringan, perdarahan gusi/ atau mimisan atau hematemesis melena, asites, ikterus, dan gangguan mental. Seseorang dengan sirosis hati memiliki tanda patognomonik diantaranya dapat ditemukan spider naevi, vena kolateral, caput medusa, asites, terry’s nails (white nails), muehcrhe’s nails, maupun palmar erythema pada pemeriksaan fisik. Stadium sirosis hati menurut konsensus Baveno IV yaitu:
KOMPENSATA
DEKOMPENSATA
Stadium 1: varises (-), asites (-)
Stadium 2: varises (+), asites (-)
Stadium 3: asites (+), varises (+/-)
Stadium 4: perdarahan (+), asites (+/-)
            Pada pemeriksaan laboratorium akan ditemukan peningkatan SGOT dan SGPT ringan, alkali fosfatase meningkat ringan, bilirubin normal (meningkat bila dekompensata), albumin turun dan globulin meningkat, masa protrombin memanjang karena hati tidak dapat memproduksi faktor pembekuan, dan natrium menurun bila terjadi asites. Selain pemeriksaan laboratorium, dapat dilakukan USG rutin untuk pemeriksaan awal didapatkan hati mengecil dengan permukaan yang tidak rata. Biopsi hati dilakukan untuk diagnosis secara pasti, dan barium meal (OMD) atau esofago-gastro-duodenoskopi (EGD) untuk mendeteksi adanya varises pada pasien dengan hematemesis melena. Sirosis hati dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi diantaranya asites, peritonitis bacterial spontan, sindroma hepatorenal, hematemesis melena akibat pecahnya varises esophagus, ensefalopati hepatikum, dan sindrom hepatorenal. 
           Untuk penatalaksanaan pada sirosis hati yang kompensata (yaitu yang tidak terdapat komplikasi) berupa diet 35-40 kkal/kgBB, protein 1,2gr/kgBB pada seseorang dengan gizi baik dan 1,5g/kgBB pada malnutrisi, hindari bahan-bahan yang menambah kerusakan hati seperti alkohol. Pada pasien sirosis karena hepatitis B dapat diberikan antiviral bila HBV DNA >2.000 IU/mL (>104 copy /mL), atau apabila disebabkan oleh hepatitis C kompensata dapat diberi sofosbuvir 400mg dan daclatasvir 60mg oral selama 6 bulan, atau diberikan steroid bila sirosis karena hepatitis autoimun. Sedangkan penatalaksanaan sirosis hati dekompensata dilakukan sesuai dengan komplikasinya. Prognosis pasien dengan sirosis hati dapat dinilai berdasarkan pada kriteria Child-Pugh dimana bila skor berjumlah 5-6 termasuk dalam kelas A, skor 7-9 yaitu kelas B, dan skor 10-15 yaitu kelas C.

Parameter
Ringan (1 poin)
Sedang (2 poin)
Berat (3 poin)
Bilirubin serum (mg/dl)
<2
2-3
>3
Albumin serum (g/dl)
>3,5
2,8-3,5
<2,8
MAsa protrombin (detik)
<3,5
4-6
>6
INR
<1,7
1,8-2,3
>2,3
Asites
-
Terkontrol
Tidak terkontrol
Ensefalopati
-
Minimal
Berat

KOMPLIKASI SIROSIS HEPATIS:
Asites
            Asites adalah penimbunan cairan abnormal di peritoneum dimana hal ini terjadi akibat fungsi hati yang menurun sehingga produksi albumin juga menjadi menurun. Kadar albumin yang rendah ini menyebabkan mudah terjadinya ekstravasasi cairan. dimana fungsi albumin salah satunya yaitu untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma. Ekstravasasi cairan juga terjadi akibat hipertensi porta yang menyebabkan tekanan hidrostatik intravaskuler meningkat. Pada sirosis hati dan hipertensi portal, penimbunan cairan yang terjadi yaitu berupa transudate sedangkan pada keganasan dan tuberculosis yaitu berupa eksudat.
            Klasifikasi asites dibagi dalam 3 tingkatan diantaranya grade 1 (mild) dimana asites hanya diketahui dengan pemeriksaan USG dan pada pemeriksaan shifting dullness hasil negatif, grade 2 (moderate) yaitu asites menyebabkan distensi abdomen yang simetris, dan pada grade 3 (large) asites menyebabkan distensi abdomen yang khas. Selain melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, untuk menegakkan diagnosis asites pada sirosis hati dapat dilakukan parasintese dengan hasil cairan berwarna kuning jernih lalu cairan pungsi tersebut selanjutnya diperiksa di laboratorium. Bila sel PMN meningkat artinya terjadi peritonitis bacterial spontan tetapi bila sel MN meningkat penyebabnya karena tuberculosis. Lalu pemeriksaan Serum Ascites Albumin Gradient (SAAG) untuk membedakan apakah asites yang dialami disebabkan oleh penyakit non-peritoneal seperti hipertensi portal, hipoalbuminemia, tumor ovarium atau penyakit peritoneum seperti keganasanan, peritonitis-tuberculosis dan lain-lain. Penatalaksanaan asites yaitu pertama tirah baring, dimana pada tirah baring aktivitas simpatis dan sistem RAA akan menurun dan terjadi perbaikan aliran darah ginjal sehingga diuretika akan membaik. Kedua yaitu diet rendah garam 2 gram per hari dan batasi cairan 1000cc per hari. Pemberian obat seperti spironolakton (anti aldosteronisme) 100-200 mg pada asites yang disebabkan oleh sirosis hati, dimana asites terjadi karena reabsorbsi Na dan air akibat hiperaldosteronisme, bila perlu ditambah dengan furosemid 20-40 mg bila ada edema tungkai. Hal ini dilakukan sampai target tercapai yaitu penurunan berat badan 0,5kg per hari pada pasien tanpa edema atau 1kg per hari pada pasien dengan edema. Sedangkan pada asites masif, perlu dilakukan parasintesis sebanyak lebih dari 5 liter disertai dengan pemberian albumin karena resiko terjadinya sindrom hepatorenal. Setiap liter yang dikeluarkan diganti dengan 6-8 gram albumin parenteral dan parasinetesis ini tidak dianjurkan pada pasien dengan prognosis child-pugh kelas C.

Peritonitis Bakterial Spontan
            Peritonitis bacterial spontan pada sirosis hati terjadi karena cairan yang terkumpul di peritoneum tidak mampu menghambat invasi bakteri gram negatif dari usus sehingga terjadilah infeksi. Infeksi ini dapat tidak menimbulkan keluhan tetapi sebagian mengeluh demam, menggigil, nyeri tekan abdomen, rasa tidak enak di perut, maupun diare. Peritonitis bacterial spontan ini mudah terjadi pada pasien asites dengan kadar albumin yang rendah, dimana pasien dengan peritonitis bacterial spontan memiliki resiko sindrom hepatorenal yang berujung pada gagal ginjal. Tatalaksananya yaitu dilakukan parasentesis dan juga pemberian antibiotic meropenem atau imipenem (golongan sefalosporin generasi IV). Selain itu, pemberian albumin juga penting untuk mencegah terjadinya sindrom hepatorenal.

Sindrom Hepatorenal
Sindroma Hepatorenal (SHR) adalah gangguan fungsi ginjal sekunder pada penyakit hati berat, baik akut maupun kronik. Sindrom hepatorenal pada sirosis hati terjadi karena hipertensi portal lalu terjadi vasodilatasi arteri splankik sehingga terjadi hipovolemi arteri sentral. Keadaan hipovolemi ini akan mengaktivasi saraf simpatis, RAA sistem, dan hormon anti diuretik sehingga vasokonstriksi renal meningkat.
Pasien dengan sindrom hepatorenal tipe 1 perjalanan penyakitnya sangat progresif dimana terjadi penurunan kreatinin dua kali lipat dan peningkatan creatinine clearance test (CCT) 50% mecapai 20 ml per menit dalam 2 minggu. Sedangkan pada tipe 2 perjalanan penyakit lebih kronik, penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) lebih lambat dan angka harapan hidup lebih lama dibanding tipe 1. Penatalaksanaannya yaitu hindari diuretic yang agresif, parasintesis asites, dan restriksi cairan berlebihan. Yang perlu dilakukan adalah diet tinggi kalori rendah protein, koreksi keseimbangan asam basa, hindari OAINS, cegah ensefalopati hepatikum, dan apabila ada peritonitis bacterial spontan segera atasi sedini dan seadekuat mungkin disertai dengan pemberian albumin. Sedangkan tindakan invasive yang dapat dilakukan yaitu transplantasi hati dan ginjal karena prognosis umumnya buruk dan dapat berujung pada kematian.

Ensefalopati Hepatikum
Ensefalopati hepatikum adalah sindrom neuropsikiatri yang dijumpai pada gagal fungsi hati baik akut maupun kronik. Ensefalopati ini dapat berubah menjadi koma dimana pada koma hepatik akut terjadi kerusakan parenkim hati yang fulminan tanpa faktor pencetus, yang disebabkan oleh hepatitis virus akut, hepatitis toksik obat, dan perlemakan hati akut pada kehamilan. Sedangkan pada koma hepatik kronik (koma portosistemik) terjadi kerusakan parenkim hati yang fulminan dengan faktor pencetus antara lain azotemia, sedatif, analgetik, perdarahan gastrointestinal, infeksi, obstipasi, diuretik, dan lain-lain. Ada beberapa teori patogenesis terjadinya ensefalopati hepatikum dimana yang sering digunakan adalah teori hipotesis amoniak yang menyebutkan degradasi protein oleh bakteri usus akan diubah menjadi ammonia lalu oleh sel hati akan diubah menjadi urea dan glutamin. Tetapi pada sirosis hati kadar ammonia dalam darah akan meningkat karena sel hati tidak dapat mengubah ammonia. Ammonia yang bersifat neurotoksin ini akan menyebabkan edema otak lalu menimbulkan ensefalopati hepatikum.
Gejala pada fase awal, akan terjadi perubahan pola tidur dengan keluhan lain seperti mudah tersinggung, penurunan konsentrasi dan kemampuan berhitung, kehilangan memori, bingung, dan terjadi penurunan kesadaran secara bertahap yang pada fase lanjut akan terjadi koma dan kematian. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran menurun mulai dari apatis-delirium-somnolen-sopor-koma, dan flapping tremor. Tingkat derajat ensefalopati diantaranya yaitu:
Tingkat
Gejala
Tanda
EEG
Prodromal
Afektif hilang, euphoria, depresi, apati, kelakuan tidak wajar, perubahan kebiasaan tidur
Asteriksis, kesulitan bicara dan menulis
(+)
Koma mengancam
Kebingungan, disorientasi, mengantuk
Asteriksis, fetor hepatik
(++)
Koma ringan
Kebingungan nyata, dapat bangun dari tidur, bereaksi terhadap rangsangan
Asteriksis, fetor hepatic, lengan kaku, hipereflek, klonus, reflek menggenggam, menghisap
(+++)
Koma dalam
Tidak sadar, hilang reaksi rangsangan
Fetor hepatic, tonus otot hilang
(++++)


Diagnosis ensefalopati hepatikum ditegakkan apabila klinis didapatkan kesadaran menurun dan flapping tremor, dan hasil pemeriksaan yang positif pada EEG, tes psikometri dan kadar ammonia darah tinggi. Tatalaksananya yaitu atasi faktor pencetus lalu untuk menurunkan pembentukan toksin nitrogen ke jaringan otak dengan pemberian protein 10 gram per hari lalu dinaikkan menjadi 20 gram, 40 gram, dan 60 gram. Dapat juga diberi laktulosa 60-120 ml per hari dimana laktulosa akan terhidrolisa menjadi asam organic dan pH yang asam ini akan menghambat penyerapan ammonia, pemberian antibiotic (nemoisin, metronidazole), klisma, dan L-Ornitin L-aspartat untuk menurunkan kadar ammonia darah sebanyak 20 gram drip intravena pada fase akut lalu diganti oral 3 kali sehari 3 gram.

No comments:

Post a Comment